Artikel
Beda generasi tak jadi halangan guru ciptakan generasi bangsa unggul
Oleh Hreeloita Dharma Shanti
18 November 2021 14:39 WIB
Siswa Sekolah Dasar didampingi orang tua melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dengan sistem daring pada hari pertama tahun ajaran baru 2020-2021 di Palembang, Sumsel, Senin (13/7/2020). Pemerintah Kota Palembang melalui dinas pendidikan setempat menginstruksikan sekolah untuk melakukan sistem PJJ di awal tahun ajaran baru hingga September mendatang sebagai antisipasi penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah. ANTARA /Feny Selly.
Jakarta (ANTARA) - Hampir dua tahun sudah, sejak 16 Maret 2020 pemerintah memutuskan semua warga sekolah menjalankan pembelajaran dari rumah akibat merebaknya wabah virus SARS-CoV-2 di seluruh dunia.
Ketakutan akan hilangnya minat belajar pada siswa sekaligus kurangnya pemahaman mengenai penggunaan teknologi digital, amat sangat dirasakan tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga seluruh guru yang ada di Indonesia.
Seorang guru sejarah dari SMA Terpadu Krida Nusantara di Bandung, Jawa Barat Dede Heryana mengaku syok ketika dituntut untuk memahami dan mempelajari dunia digitalisasi.
Tak pernah terlintas bahwa akan datang hari di mana ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar dalam dunia maya.
Dede mengatakan, berbagai aplikasi tatap muka berbasis online seperti Zoom dan Google Meets, merupakan hal yang asing dan agak sulit dimengerti untuk digunakan saat dirinya sudah berumur.
“Jujur saja, kami semua teh kaget. Enggak semua guru yang masih mengajar itu generasinya sama, mungkin bapak generasi X, tapi guru-guru yang sebelum generasi itu, yang tertinggal saja, itu menjadi kesulitan,” kata Dede mengungkapkan banyak kekhawatiran selama menjalankan pembelajaran tatap muka terbatas ini.
Sempat terbersit kejenuhan. Sama seperti para siswa karena hanya harus duduk terpaku di depan layar. Dirinya juga pernah memikirkan, sampai kapan mata guru dan siswa mampu bertahan terkena cahaya layar gawai tersebut.
Timbul rasa miris dalam dirinya, ketika menyadari bahwa pendidikan di Indonesia belum semaju negara lain dengan adanya kapasitas guru yang terbatas dan kemajuan pengetahuan akan teknologi di berbagai provinsi yang berbeda-beda.
Tak hanya secara nasional, dirinya yang bekerja di salah satu sekolah berasrama yang berada di kaki Bukit Manglayang yang lumayan jauh dari keramaian Kota Bandung itu, mengaku cuaca ekstrem seperti hujan petir, sering kali menyebabkan terhalangnya jaringan dan menyebabkan kontak pembelajaran jadi terputus.
Hampir dua tahun sudah, dirinya juga melihat secara nyata nilai anak-anak tak lagi beragam. Ketidaktahuan akan kerja sama maupun tugas yang dikerjakan oleh orang lain, menjadi keraguan tersendiri dalam benaknya.
Selama itu pula dirasa tak adanya kedekatan emosional dengan para siswa, akibat terhalang jarak dan waktu untuk melakukan pembelajaran. Intinya, Dede merasa belum bisa menemukan faktor kendali untuk bisa memantau aktivitas siswa di luar pembelajaran seperti di sekolah secara langsung.
Namun, Pria yang berasal dari daerah Kopo, Jawa Barat itu tetap optimistis menggelorakan semangat untuk mengajarnya, meskipun pandemi COVID-19, alam maupun teknologi akan memberinya beban berkali-kali lipat kendala tiada batas, demi menciptakan pemimpin bangsa yang unggul, berkarakter dan berakhlak mulia di tengah semua keterbatasan.
Baca juga: Survei: 76 persen guru khawatir kembali ke sekolah
Baca juga: 205 guru terlibat pembuatan 750 video pembelajaran sistem daring
Berbagai upaya ditempuh
Meskipun ia mengakui bahwa kendala cuaca menjadi penyebab pembelajaran tidak berjalan secara optimal namun berbagai macam cara baik menggunakan teknologi maupun memanfaatkan imajinasi siswa telah Dede coba.
Ia tahu, siswa adalah anak muda yang berapi-api dan tidak suka hanya berdiam diri terpaku pada satu hal. Dalam hal ini menjadi guru sejarah, kata dia, punya keuntungan ruang imajinasi yang lebih luas, karena banyak jejak sejarah dapat ditampilkan baik secara tidak langsung maupun secara langsung.
Untuk mengatasi rasa jenuh dan menghindari wajah muram para siswa, dirinya tak hanya memainkan materi pembelajaran melalui power point saja, tetapi juga memanfaatkan film yang berhubungan dengan sejarah.
Setelah semua peserta didik menonton film yang dia berikan, siswa akan diminta menemukan nilai-nilai luhur di dalamnya. Siswa juga dilatih mempertajam ingatan melalui pertanyaan ulang mengenai kronologi peristiwa tersebut. Ia bahkan meminta siswa untuk menghubungkannya dengan fenomena sosial yang ada saat ini.
“Untuk literasi tambahan, siswa itu enggak hanya menganut atau mengikuti teacher center. Tidak hanya terpusat pada guru. Siswa harus mau mengolaborasikan, melek dan mencari sumber lain. Kalau bapak, di dalam film ada sejarah sebagai seni,” ujar ayah dari dua anak itu.
“Kenapa bapak selalu kadang menyuruh nonton film? untuk menambah wawasan secara audio visual, supaya mereka tidak hanya dalam takaran fiktif atau membayangkan aja ya. tapi kalau film itu sudah bergerak dan diperankan. Minimal dia bisa menyaksikan rekonstruksi bagaimana tampilan sejarah yang pernah terjadi,” ujarnya.
Dede tak mau kehabisan akal, untuk memicu tumbuhnya rasa percaya diri juga stimulus siswa dalam menjawab pertanyaan, ia suka tak membiarkan siswa untuk mengumpulkan tugas melalui tulisan saja. Saat pembelajaran, siswa akan menjawab tugas secara langsung.
Sebagai antisipasi nilai menjadi homogen katanya, juga supaya dapat melatih literasi siswa menghadapi suatu permasalahan. Tetapi, makalah juga dikumpulkan mengingat waktu mata pelajaran yang terbatas.
“Kalau produknya anak membuat bisa berbentuk tulisan. Jadi melatih anak bagaimana menulis mulai dari dia melihat contoh, meniru dan membuat hasil pikiran sendiri. Amati, tiru, modifikasi sampai membentuk pemikiran baru yang siswa bisa lakukan itu kalau makalah ya teh,”
Dede turut memanfaatkan berbagai macam aplikasi di luar Zoom ataupun Google Class Room (GCR) seperti Whatsapp untuk mengirim tugas maupun materi dan menggunakan kanal Youtube agar siswa dapat melihat kembali ilmu yang diberikan. Dia tak mau, ada ruang yang menyebabkan para siswa tertinggal.
Berbagai macam upaya untuk menciptakan generasi unggul tak hanya sampai di situ. Baginya, tak adil bila hanya siswa yang dibebankan untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul.
Oleh sebab itulah Dede bersama teman guru lainnya, juga mengikuti pelatihan-pelatihan yang diberikan pemerintah supaya kemampuan dirinya ikut terasah bersama para siswa khususnya dalam menggunakan teknologi.
Dirinya juga rajin memperkaya ilmu dengan melihat Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Profesional Berkelanjutan (SIM PKB) untuk melengkapi pengetahuan dan lebih menguasai cara pembuatan soal.
Selain melalui SIM PKB, semua rekam jejak proses belajar mengajar juga turut dia masukkan dalam akun Belajar.id dari pemerintah yang memiliki kapasitas besar dan tidak berbayar untuk memantau sejauh mana kreativitas mengajarnya. Demi siswa dan tanggung jawab, kata dia.
Baca juga: Guru di Borobudur rela datangi siswa terkendala pembelajaran daring
Baca juga: Guru lakukan inovasi atasi kebosanan siswa saat pandemi COVID-19
Adanya rasa rindu
Dalam mengasah kualitas diri bersama para siswa, mau tak mau dia harus mengakui. Ada rasa rindu di dalam dirinya yang berteriak ingin segera bertemu kembali dengan para siswa.
Dia ingin kembali melihat langsung segala bentuk kejahilan, senyum dan tawa siswa saat memasuki ruang kelas. Bahkan ada sisi di mana dia rindu memarahi dan menghukum siswa yang tidak taat menjalankan peraturan di sekolah.
Pandemi COVID-19, benar-benar menjauhkan dirinya dengan putra-putri bangsa tidak hanya secara tatap fisik tetapi juga batin. Dede bilang, meski bisa berjumpa secara tidak langsung, ada rasa berbeda karena tak bisa berbicara langsung dengan anak-anak.
Segala bentuk hukuman, teguran dan sapaan hanya bisa dilakukan secara lisan untuk menakut-nakuti tanpa tindakan berarti.
Belum lagi saat pembelajaran, dia mengaku sedih ketika sedang asyik berbicara dengan para siswa tiba-tiba siswa keluar dari ruang pembelajaran karena terhalang sinyal. Mengakibatkan rasa rindu sulit untuk diobati.
“Sekolah itu membentuk perilaku, tempat memperbaiki perilaku. Kalau di rumah bagaimana? kita hanya bisa menggertak saja dengan tujuannya hanya menakuti nakuti,” kata Dede.
Dede sangat berharap, masa pandemi dapat cepat usai sehingga semua komponen pendidikan dapat bertemu dan menjalankan pembelajaran tatap muka dapat berjalan seperti biasanya dengan penuh canda tawa.
“Pesan bapak teh bagi para siswa kalian itu pasti besar di rumah. Kalau sekarang kalian memutuskan untuk tidak belajar dan senang-senang saja, ingat generasi bangsa ditentukan oleh kalian. Jika malas, kalian akan kalah dengan generasi bangsa lain, jadi akan kalah bersaing. Tolong bertahan sebentar lagi,” ucap dia.
Pandemi COVID-19 saat ini masih terus berlangsung. Penggunaan teknologi, ke depannya akan terus ditingkatkan dan digunakan sebagai wadah seluruh satuan pendidikan menjalankan kegiatan pembelajaran.
Baca juga: Rindu sekolah tatap muka di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Galih bantu guru hadirkan pembelajaran daring efektif melalui medsos
Ketakutan akan hilangnya minat belajar pada siswa sekaligus kurangnya pemahaman mengenai penggunaan teknologi digital, amat sangat dirasakan tidak hanya oleh pemerintah, tapi juga seluruh guru yang ada di Indonesia.
Seorang guru sejarah dari SMA Terpadu Krida Nusantara di Bandung, Jawa Barat Dede Heryana mengaku syok ketika dituntut untuk memahami dan mempelajari dunia digitalisasi.
Tak pernah terlintas bahwa akan datang hari di mana ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk berselancar dalam dunia maya.
Dede mengatakan, berbagai aplikasi tatap muka berbasis online seperti Zoom dan Google Meets, merupakan hal yang asing dan agak sulit dimengerti untuk digunakan saat dirinya sudah berumur.
“Jujur saja, kami semua teh kaget. Enggak semua guru yang masih mengajar itu generasinya sama, mungkin bapak generasi X, tapi guru-guru yang sebelum generasi itu, yang tertinggal saja, itu menjadi kesulitan,” kata Dede mengungkapkan banyak kekhawatiran selama menjalankan pembelajaran tatap muka terbatas ini.
Sempat terbersit kejenuhan. Sama seperti para siswa karena hanya harus duduk terpaku di depan layar. Dirinya juga pernah memikirkan, sampai kapan mata guru dan siswa mampu bertahan terkena cahaya layar gawai tersebut.
Timbul rasa miris dalam dirinya, ketika menyadari bahwa pendidikan di Indonesia belum semaju negara lain dengan adanya kapasitas guru yang terbatas dan kemajuan pengetahuan akan teknologi di berbagai provinsi yang berbeda-beda.
Tak hanya secara nasional, dirinya yang bekerja di salah satu sekolah berasrama yang berada di kaki Bukit Manglayang yang lumayan jauh dari keramaian Kota Bandung itu, mengaku cuaca ekstrem seperti hujan petir, sering kali menyebabkan terhalangnya jaringan dan menyebabkan kontak pembelajaran jadi terputus.
Hampir dua tahun sudah, dirinya juga melihat secara nyata nilai anak-anak tak lagi beragam. Ketidaktahuan akan kerja sama maupun tugas yang dikerjakan oleh orang lain, menjadi keraguan tersendiri dalam benaknya.
Selama itu pula dirasa tak adanya kedekatan emosional dengan para siswa, akibat terhalang jarak dan waktu untuk melakukan pembelajaran. Intinya, Dede merasa belum bisa menemukan faktor kendali untuk bisa memantau aktivitas siswa di luar pembelajaran seperti di sekolah secara langsung.
Namun, Pria yang berasal dari daerah Kopo, Jawa Barat itu tetap optimistis menggelorakan semangat untuk mengajarnya, meskipun pandemi COVID-19, alam maupun teknologi akan memberinya beban berkali-kali lipat kendala tiada batas, demi menciptakan pemimpin bangsa yang unggul, berkarakter dan berakhlak mulia di tengah semua keterbatasan.
Baca juga: Survei: 76 persen guru khawatir kembali ke sekolah
Baca juga: 205 guru terlibat pembuatan 750 video pembelajaran sistem daring
Berbagai upaya ditempuh
Meskipun ia mengakui bahwa kendala cuaca menjadi penyebab pembelajaran tidak berjalan secara optimal namun berbagai macam cara baik menggunakan teknologi maupun memanfaatkan imajinasi siswa telah Dede coba.
Ia tahu, siswa adalah anak muda yang berapi-api dan tidak suka hanya berdiam diri terpaku pada satu hal. Dalam hal ini menjadi guru sejarah, kata dia, punya keuntungan ruang imajinasi yang lebih luas, karena banyak jejak sejarah dapat ditampilkan baik secara tidak langsung maupun secara langsung.
Untuk mengatasi rasa jenuh dan menghindari wajah muram para siswa, dirinya tak hanya memainkan materi pembelajaran melalui power point saja, tetapi juga memanfaatkan film yang berhubungan dengan sejarah.
Setelah semua peserta didik menonton film yang dia berikan, siswa akan diminta menemukan nilai-nilai luhur di dalamnya. Siswa juga dilatih mempertajam ingatan melalui pertanyaan ulang mengenai kronologi peristiwa tersebut. Ia bahkan meminta siswa untuk menghubungkannya dengan fenomena sosial yang ada saat ini.
“Untuk literasi tambahan, siswa itu enggak hanya menganut atau mengikuti teacher center. Tidak hanya terpusat pada guru. Siswa harus mau mengolaborasikan, melek dan mencari sumber lain. Kalau bapak, di dalam film ada sejarah sebagai seni,” ujar ayah dari dua anak itu.
“Kenapa bapak selalu kadang menyuruh nonton film? untuk menambah wawasan secara audio visual, supaya mereka tidak hanya dalam takaran fiktif atau membayangkan aja ya. tapi kalau film itu sudah bergerak dan diperankan. Minimal dia bisa menyaksikan rekonstruksi bagaimana tampilan sejarah yang pernah terjadi,” ujarnya.
Dede tak mau kehabisan akal, untuk memicu tumbuhnya rasa percaya diri juga stimulus siswa dalam menjawab pertanyaan, ia suka tak membiarkan siswa untuk mengumpulkan tugas melalui tulisan saja. Saat pembelajaran, siswa akan menjawab tugas secara langsung.
Sebagai antisipasi nilai menjadi homogen katanya, juga supaya dapat melatih literasi siswa menghadapi suatu permasalahan. Tetapi, makalah juga dikumpulkan mengingat waktu mata pelajaran yang terbatas.
“Kalau produknya anak membuat bisa berbentuk tulisan. Jadi melatih anak bagaimana menulis mulai dari dia melihat contoh, meniru dan membuat hasil pikiran sendiri. Amati, tiru, modifikasi sampai membentuk pemikiran baru yang siswa bisa lakukan itu kalau makalah ya teh,”
Dede turut memanfaatkan berbagai macam aplikasi di luar Zoom ataupun Google Class Room (GCR) seperti Whatsapp untuk mengirim tugas maupun materi dan menggunakan kanal Youtube agar siswa dapat melihat kembali ilmu yang diberikan. Dia tak mau, ada ruang yang menyebabkan para siswa tertinggal.
Berbagai macam upaya untuk menciptakan generasi unggul tak hanya sampai di situ. Baginya, tak adil bila hanya siswa yang dibebankan untuk menjadi sumber daya manusia yang unggul.
Oleh sebab itulah Dede bersama teman guru lainnya, juga mengikuti pelatihan-pelatihan yang diberikan pemerintah supaya kemampuan dirinya ikut terasah bersama para siswa khususnya dalam menggunakan teknologi.
Dirinya juga rajin memperkaya ilmu dengan melihat Sistem Informasi Manajemen Pengembangan Profesional Berkelanjutan (SIM PKB) untuk melengkapi pengetahuan dan lebih menguasai cara pembuatan soal.
Selain melalui SIM PKB, semua rekam jejak proses belajar mengajar juga turut dia masukkan dalam akun Belajar.id dari pemerintah yang memiliki kapasitas besar dan tidak berbayar untuk memantau sejauh mana kreativitas mengajarnya. Demi siswa dan tanggung jawab, kata dia.
Baca juga: Guru di Borobudur rela datangi siswa terkendala pembelajaran daring
Baca juga: Guru lakukan inovasi atasi kebosanan siswa saat pandemi COVID-19
Adanya rasa rindu
Dalam mengasah kualitas diri bersama para siswa, mau tak mau dia harus mengakui. Ada rasa rindu di dalam dirinya yang berteriak ingin segera bertemu kembali dengan para siswa.
Dia ingin kembali melihat langsung segala bentuk kejahilan, senyum dan tawa siswa saat memasuki ruang kelas. Bahkan ada sisi di mana dia rindu memarahi dan menghukum siswa yang tidak taat menjalankan peraturan di sekolah.
Pandemi COVID-19, benar-benar menjauhkan dirinya dengan putra-putri bangsa tidak hanya secara tatap fisik tetapi juga batin. Dede bilang, meski bisa berjumpa secara tidak langsung, ada rasa berbeda karena tak bisa berbicara langsung dengan anak-anak.
Segala bentuk hukuman, teguran dan sapaan hanya bisa dilakukan secara lisan untuk menakut-nakuti tanpa tindakan berarti.
Belum lagi saat pembelajaran, dia mengaku sedih ketika sedang asyik berbicara dengan para siswa tiba-tiba siswa keluar dari ruang pembelajaran karena terhalang sinyal. Mengakibatkan rasa rindu sulit untuk diobati.
“Sekolah itu membentuk perilaku, tempat memperbaiki perilaku. Kalau di rumah bagaimana? kita hanya bisa menggertak saja dengan tujuannya hanya menakuti nakuti,” kata Dede.
Dede sangat berharap, masa pandemi dapat cepat usai sehingga semua komponen pendidikan dapat bertemu dan menjalankan pembelajaran tatap muka dapat berjalan seperti biasanya dengan penuh canda tawa.
“Pesan bapak teh bagi para siswa kalian itu pasti besar di rumah. Kalau sekarang kalian memutuskan untuk tidak belajar dan senang-senang saja, ingat generasi bangsa ditentukan oleh kalian. Jika malas, kalian akan kalah dengan generasi bangsa lain, jadi akan kalah bersaing. Tolong bertahan sebentar lagi,” ucap dia.
Pandemi COVID-19 saat ini masih terus berlangsung. Penggunaan teknologi, ke depannya akan terus ditingkatkan dan digunakan sebagai wadah seluruh satuan pendidikan menjalankan kegiatan pembelajaran.
Baca juga: Rindu sekolah tatap muka di masa pandemi COVID-19
Baca juga: Galih bantu guru hadirkan pembelajaran daring efektif melalui medsos
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2021
Tags: