Jakarta (ANTARA) - Jenderal TNI Andika Perkasa telah resmi dilantik Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi panglima TNI dan menggantikan Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, di Istana Negara, Rabu.

Atas kehadiran panglima baru ini, berbagai politisi hingga pengamat isu-isu keamanan negara mulai menyuarakan berbagai tantangan yang akan dihadapi sang jenderal dari matra TNI AD selama menjabat sebagai panglima TNI yang secara normatif memiliki waktu 13 bulan jabatan.

Adapun dua isu yang paling vokal disuarakan adalah isu mengenai keamanan siber Indonesia dan isu geopolitik yang meliputi kedaulatan negara Indonesia di berbagai wilayah perbatasan, seperti di Laut Natuna Utara dan perbatasan Papua dengan Papua Nugini.

“Siber adalah fokus kami berikutnya,” kata dia, ketika menyampaikan visi dan misinya sebagai panglima TNI di hadapan DPR, Sabtu (6/11).

Pernyataan tersebut telah menunjukkan bahwa keamanan siber menjadi salah satu fokus utama dari TNI di bawah pimpinan dia. Menurut dia, isu-isu mengenai perang siber yang mengancam kedaulatan negara telah menjadi tren dan menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam dua dekade terakhir.

Perang siber
Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto yang juga menteri koordinator bidang ekonomi, sepakat dengan menjadikan perang siber sebagai salah satu fokus dari panglima TNI. Ia mengatakan, TNI memiliki penguasaan bidang siber akan sangat cocok dengan transformasi sosial ekonomi ke depan yang dipengaruhi Revolusi Industri 4.0.

Apalagi, akibat Covid-19, masyarakat Indonesia akan mulai melangkah menuju Society 5.0 atau Masyarakat 5.0. Peralihan ke Masyarakat 5.0 akan menjadikan dunia siber menjadi salah satu ruang krusial, dan dapat mempengaruhi keamanan nasional dari data-data masyarakat yang bergulir di dalam ruang tersebut.

Politikus ini juga menekankan tantangan berupa medan perang hibrida yakni perpaduan perang luar jaringan (nyata) dengan perang secara dalam jaringan, yang melibatkan perangkat perang siber dan perang informasi. Apabila Indonesia tidak mengarahkan fokus pertahanan pada perlindungan dan keamanan data, khususnya data rahasia negara, maka dapat menjadi ancaman bagi kedaulatan Indonesia.

Hal serupa juga disuarakan Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti. Ia mengatakan, panglima TNI harus mampu memperhitungkan kekuatan sistem kesenjataan maupun SDM yang Indonesia miliki untuk menghadapi ancaman pada era globalisasi.

“Selain perang fisik, ada juga ancaman perang siber dengan kemajuan teknologi, kecerdasan buatan, robotik, dan sejenisnya,” kata dia, yang juga berlatar pengusaha itu.

Ancaman-ancaman tersebut akan menjadi tantangan bagi Perkasa sebagai panglima TNI.

Badan Siber dan Sandi Negara, per Agustus 2021, mencatat 888 juta kali percobaan serangan siber terhadap sistem informasi pemerintah, perusahaan, dan pribadi. Peningkatan serangan siber tersebut, berdasarkan tulisan pengamat intelijen, pertahanan, dan keamanan, Ngasiman Djoyonegoro, seiring peningkatan digitalisasi pemerintahan (e-Government), pelayanan publik, dan perusahaan startup digital.

Oleh karena itu, dia berpendapat TNI perlu mendefinisikan ruang siber sebagai mandala baru peperangan dalam pertahanan. Tidak hanya sebagai wawasan, tetapi juga diturunkan dalam kebijakan dan program pengembangan teknologi sistem persenjataan, doktrin, dan organisasi TNI.

Dengan demikian, dia mengajukan tiga aspek yang perlu dilakukan TNI, yakni mengembangkan teknologi informasi dan persenjataan yang mampu menginterferensi aktor serangan siber, penguatan doktrin, serta pembentukan organisasi khusus untuk merespon insiden siber.

Selain itu, ia berharap agar TNI, sebagai garda terdepan pertahanan nasional, dapat menjalankan diplomasi siber dengan aktif, seperti membangun komunikasi dan dialog antara aktor negara dan non negara, pencegahan perlombaan senjata siber, pengembangan norma global, hingga promosi kepentingan nasional di dunia siber melalui kebijakan keamanan siber dan strategi keterlibatan.

“TNI ke depan agar lebih aktif dalam memimpin diplomasi siber,” kata dia, dalam tulisannya.

Perang siber tidak hanya menjadi tantangan bagi Indonesia. Negara lain di berbagai belahan dunia pun menjadikan keamanan siber sebagai salah satu fokus utama mereka akibat perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat.

Guna mencegah ketertinggalan teknologi keamanan siber, Indonesia harus mengambil langkah yang agresif dalam meningkatkan kapabilitas, baik secara SDM maupun infrastruktur.

Konflik Geopolitik
Adapun Ketua DPR, Puan Maharani, mengingatkan untuk dapat merespon dan mengantisipasi dinamika perkembangan geopolitik, khususnya pada wilayah-wilayah perbatasan Indonesia.

Anggota Komisi I DPR, Sukamta, mengatakan, Laut Natuna Utara dan perbatasan antara Papua dengan Papua Nugini telah menjadi perhatian dari masyarakat Indonesia dan internasional. Oleh karena itu, menurut dia, panglima TNI harus menyiapkan langkah taktis, strategis, dan humanis dalam menyelesaikan permasalahan geopolitik Indonesia.

Langkah humanis dalam menyelesaikan konflik di Papua juga menjadi harapan dari berbagai elemen masyarakat, baik dari Wakil Presiden, KH Ma’ruf Amin, Wakil Ketua Komnas HAM, Amiruddin, Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra, Ahmad Muzani, Ketua MPR, Bambang Soesatyo, hingga Kepala Divisi Hukum Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Andi Muhammad Rezaldy.

Banyaknya elemen masyarakat yang mendukung pendekatan humanis dalam penyelesaian konflik di perbatasan Papua menunjukkan masyarakat menginginkan cara lain, selain menggunakan pendekatan militer.

Menyelesaikan konflik di perbatasan Papua menggunakan pendekatan militer, menurut Rezaldy, berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, pihaknya meyakini bahwa menggunakan pendekatan humanis dapat meredam gejolak konflik yang terjadi di Papua.

Dalam keterangannya, Perkasa menyampaikan, terdapat tiga misi utama yang akan ia laksanakan, yaitu menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Menyelesaikan konflik di Papua merupakan salah satu wujud dari ketiga misi itu.

Dengan mengusung visi “TNI adalah kita”, dia berharap agar masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional melihat TNI sebagai bagian dari mereka.