Madani: Komoditi untuk bahan bakar nabati perlu didiversifikasi
17 November 2021 19:13 WIB
Tangkapan layar Geographic Information Systems (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal dalam sebuah webinar, Rabu (17/11/2021). ANTARA/Sanya Dinda
Jakarta (ANTARA) - Spesialis Sistem Informasi Geografis Yayasan Madani Berkelanjutan Fadli Ahmad Naufal mengatakan bahwa komoditi untuk bahan bakar nabati perlu didiversifikasi untuk memitigasi hambatan pada kelapa sawit.
Yang perlu sejak dini kita mitigasi ketika suatu komoditi terus kita kembangkan, walaupun sangat representatif tapi kita tidak tahu bagaimana tantangan ke depannya, ini harus dijawab dengan diversifikasi komoditi," kata Fadli dalam "Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati" yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan hasil penelitiannya, lahan yang telah mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit tersisa 1,16 juta hektare. Luasan ini telah dikurangi lahan yang termasuk dalam hutan alam, gambut, dan lahan habitat lebih dari 15 jenis flora dan fauna.
"Ini memang cukup besar tapi dari segi geografis, lahan ini menyebar di beberapa provinsi," kata Fadli.
Baca juga: Perusahaan energi dukung biomassa lokal untuk pembangkit listrik
Baca juga: Pelaku usaha sarankan agar pengembangan EBT tidak tiru negara lain
Karena itu, menurutnya, pemerintah sebaiknya mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) dari tanaman yang tersedia di setiap daerah. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu lagi menambah luasan perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan BBN.
"Namun demikian komoditi yang cocok dijadikan BBN tersebut harus diteliti lebih lanjut terkait kesesuaian lahannya apabila hendak diperluas guna dijadikan BBN, beserta kapasitas tanahnya seberapa besar sebetulnya," katanya.
Ia menghitung 30 kilometer dari lahan yang berpotensi menjadi perkebunan kelapa sawit itu terdapat tanaman-tanaman seperti kelapa, ubi kayu, ubi jalar, jagung, tebu, dan jarak yang juga dapat dijadikan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Dari beberapa komoditi terlihat bahwa komoditi yang paling luas potensinya adalah kelapa dengan luas lahan hampir 970 ribu hektare. Itu adalah gambaran potensi dari lahan yang tersedia," katanya.
Sebelumnya, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan luas kebun kelapa sawit Indonesia tidak perlu ditambah untuk implementasi biodiesel B40 sampai B50. Pasalnya, Indonesia bisa mengambil dari minyak kelapa sawit yang akan diekspor.
Baca juga: ESDM: 25 persen dari target EBT bersumber dari bahan bakar nabati
Baca juga: Peneliti KLHK: Perlu strategi jadikan nyamplung bahan bakar nabati
Paulus mengatakan pada 2020 produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 51,58 juta ton. Dari nilai itu sebanyak 66 persen diekspor dan 34 persen dikonsumsi di dalam negeri.
Dari jumlah kelapa sawit yang dikonsumsi di dalam negeri, sebanyak 1,69 juta ton digunakan untuk industri oleokimia dan 8,42 juta ton untuk bahan industri makanan olahan. Sementara itu, baru 7,22 juta ton atau 14 persen dari total produksi minyak kelapa sawit yang digunakan untuk bahan campuran biodiesel B30.
Baca juga: Madani: Perlu dibuat kerangka jalan bahan bakar nabati kurangi emisi
Baca juga: Aprobi sebut lahan sawit tidak perlu diperluas untuk implementasi B50
Yang perlu sejak dini kita mitigasi ketika suatu komoditi terus kita kembangkan, walaupun sangat representatif tapi kita tidak tahu bagaimana tantangan ke depannya, ini harus dijawab dengan diversifikasi komoditi," kata Fadli dalam "Tak Hanya Sawit, Indonesia Kaya Beragam Bahan Bakar Nabati" yang dipantau di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan hasil penelitiannya, lahan yang telah mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit tersisa 1,16 juta hektare. Luasan ini telah dikurangi lahan yang termasuk dalam hutan alam, gambut, dan lahan habitat lebih dari 15 jenis flora dan fauna.
"Ini memang cukup besar tapi dari segi geografis, lahan ini menyebar di beberapa provinsi," kata Fadli.
Baca juga: Perusahaan energi dukung biomassa lokal untuk pembangkit listrik
Baca juga: Pelaku usaha sarankan agar pengembangan EBT tidak tiru negara lain
Karena itu, menurutnya, pemerintah sebaiknya mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) dari tanaman yang tersedia di setiap daerah. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu lagi menambah luasan perkebunan kelapa sawit untuk dijadikan BBN.
"Namun demikian komoditi yang cocok dijadikan BBN tersebut harus diteliti lebih lanjut terkait kesesuaian lahannya apabila hendak diperluas guna dijadikan BBN, beserta kapasitas tanahnya seberapa besar sebetulnya," katanya.
Ia menghitung 30 kilometer dari lahan yang berpotensi menjadi perkebunan kelapa sawit itu terdapat tanaman-tanaman seperti kelapa, ubi kayu, ubi jalar, jagung, tebu, dan jarak yang juga dapat dijadikan sumber Energi Baru dan Terbarukan (EBT).
"Dari beberapa komoditi terlihat bahwa komoditi yang paling luas potensinya adalah kelapa dengan luas lahan hampir 970 ribu hektare. Itu adalah gambaran potensi dari lahan yang tersedia," katanya.
Sebelumnya, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia (APROBI) Paulus Tjakrawan mengatakan luas kebun kelapa sawit Indonesia tidak perlu ditambah untuk implementasi biodiesel B40 sampai B50. Pasalnya, Indonesia bisa mengambil dari minyak kelapa sawit yang akan diekspor.
Baca juga: ESDM: 25 persen dari target EBT bersumber dari bahan bakar nabati
Baca juga: Peneliti KLHK: Perlu strategi jadikan nyamplung bahan bakar nabati
Paulus mengatakan pada 2020 produksi minyak kelapa sawit Indonesia mencapai 51,58 juta ton. Dari nilai itu sebanyak 66 persen diekspor dan 34 persen dikonsumsi di dalam negeri.
Dari jumlah kelapa sawit yang dikonsumsi di dalam negeri, sebanyak 1,69 juta ton digunakan untuk industri oleokimia dan 8,42 juta ton untuk bahan industri makanan olahan. Sementara itu, baru 7,22 juta ton atau 14 persen dari total produksi minyak kelapa sawit yang digunakan untuk bahan campuran biodiesel B30.
Baca juga: Madani: Perlu dibuat kerangka jalan bahan bakar nabati kurangi emisi
Baca juga: Aprobi sebut lahan sawit tidak perlu diperluas untuk implementasi B50
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2021
Tags: