Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menyatakan keberadaan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba, Sumut, perlu diatur supaya ada keseimbangan antara aspek ekosistem dan ekonomi.

Saat ini, jumlah KJA di Danau Toba telah melebihi enam kali dari daya dukung sumber daya airnya.

"Ini harus diatur karena keseimbangan ekosistem dan kualitas air Danau Toba menjadi prioritas. Kita sudah sepakat Danau Toba adalah sebuah destinasi pariwisata superprioritas," ujar Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Kemenko Marves Kosmas Harefa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, hal itu bukan alasan untuk terus mengeksplorasi habis-habisan Danau Toba, sehingga airnya tidak bisa dipertahankan kualitasnya.

"Untuk itu, harus diatur budi daya perikanan di kawasan danau ini, supaya ada keseimbangan kepentingan yang kita inginkan," katanya.

Saat ini, pemerintah sedang melaksanakan penertiban KJA milik masyarakat dan swasta yang tersebar di tujuh kabupaten kawasan Danau Toba . Ditargetkan penataan dan penertiban KJA akan terus dilakukan sampai 2023 untuk mencapai daya tampung maksimal Danau Toba

Penertiban dilakukan pada KJA yang tidak sesuai dengan zonasi Perpres 81 Tahun 2014 dan penyesuaian daya tampung maksimal Danau Toba sesuai SK No.188.44/213/KPTS/2017 sebesar 10.000 ton/tahun yang merupakan amanat dari Perpres 60 Tahun 2021 tentang Penyelamatan Danau Prioritas Nasional.

"Hal ini bertujuan untuk membuat status trofik Danau Toba menjadi oligotrofik serta menciptakan budi daya perikanan sebagai added value pariwisata, sehingga Danau Toba dapat menjadi destinasi pariwisata yang berkualitas dan berkelanjutan," katanya dalam webinar bertajuk "Budidaya Perikanan Berkelanjutan Di Danau Toba Penopang Perekonomian Daerah"
.
Kosmas pun meminta budi daya perikanan di KJA dapat menjadi nilai tambah terhadap pengelolaan Danau Toba sebagai sebuah destinasi pariwisata superprioritas.

Ketua Asosiasi Dearma Haranggaol Peter Damanik menuturkan masyarakat menyambut positif atas keputusan pemerintah tersebut namun demikian keberadaan KJA ikan nila sudah beroperasi sejak awal 1990-an.

Menurut dia, pemerintah semestinya memberikan ruang bagi semua elemen masyarakat tetap menjalankan usahanya.Unit usaha pendukung seperti perdagangan dan homestay.

Dia menuturkan usaha budi daya ikan dibagi tiga kelompok yakni penjualan ikan sebesar 50 ton/hari, pakan 80 ton/hari, dan bibit ikan 225.000 ekor/hari.

"Perputaran uang dari ketiga unit usaha dari KJA ini sekitar Rp2 miliar seharinya," ujarnya.

Pieter menambahkan pendapatan yang diperoleh nelayan dan pekerja melebihi UMR kabupaten dan bahkan, masyarakat mampu mengirim anak-anaknya kuliah di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Dia memperkirakan perputaran uang sekitar Danau Toba dari bisnis ikan sekitar Rp4 triliun per tahun.

"Kontribusi KJA terhadap perekonomian kita sangat baik dan pemerintah mendapatkan pajak dari situ. Kami berharap bisnis pariwisata dan budi daya KJA dapat berjalan bersama," ujarnya.

Peneliti Care Institut Penelitian Bogor (IPB) Dahri Tanjung mengatakan pencemaran KJA Danau Toba bukan menjadi satu-satunya penyebab terjadi pencemaran.

Menurutnya, sektor pertanian dan rumah tangga dan bisnis wisata juga memberikan kontribusi. Kajian terbaru ini tengah dalam proses finalisasi, apabila KJA akan ditata, maka semua elemen juga harus ditata bersama-sama.

Baca juga: KKP siap bersinergi dengan pemda tertibkan KJA Danau Toba
Baca juga: Anggota DPD RI usulkan Pemprov Sumut kurangi pengelolaan KJA
Baca juga: Pemprov Sumut tunggu putusan pusat soal keramba di Danau Toba