Wamenkeu: Biaya mitigasi perubahan iklim capai Rp3.779 triliun
16 November 2021 11:09 WIB
Tangkapan layar Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara dalam IAI Sustainability Roundtable Discussion di Jakarta, Selasa (16/11/2021). ANTARA/AstridFaidlatulHabibah.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara menyatakan estimasi biaya akumulatif yang digunakan dalam rangka memitigasi perubahan iklim sesuai target Nationally Determined Contribution (NDC) mencapai Rp3.779 triliun dari 2020 hingga 2030.
Estimasi Rp3.779 triliun itu berdasarkan referensi dari peta jalan NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi sehingga per tahun dibutuhkan Rp343,6 triliun.
“Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen kalau kita mendapatkan bantuan internasional,” katanya dalam IAI Sustainability Roundtable Discussion di Jakarta, Selasa.
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016.
Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030.
Secara rinci, kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim tersebut jika dilihat per sektor meliputi sektor kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,92 triliun, limbah Rp181,4 triliun, serta pertanian Rp4,04 triliun.
Sementara berdasarkan referensi dari Second Biennial Update Report dan KLHK pada 2018, biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC adalah sebanyak Rp3.461 triliun hingga 2030.
Biaya Rp3.461 triliun itu meliputi sektor kehutanan Rp77,82 triliun, energi dan transportasi Rp3.307,2 triliun, IPPU Rp40,77 triliun, limbah Rp30,35 triliun, serta pertanian Rp5,18 triliun.
“Kita lihat dua sektor yang besar adalah kehutanan serta energi dan transportasi,” ujarnya.
Sejumlah biaya itu akan digunakan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29 persen di sektor kehutanan sebanyak 497 Mton CO2e, energi dan transportasi 314 Mton CO2e, limbah 11 Mton CO2e, pertanian 9 Mton CO2e, serta IPPU 3 Mton CO2e.
Sedangkan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41 persen dengan biaya bantuan internasional akan dilakukan terhadap sektor kehutanan sebanyak 692 Mton CO2e, energi dan transportasi 446 Mton CO2e, limbah 40 Mton CO2e, pertanian 4 Mton CO2e, serta IPPU 3,25 Mton CO2e.
Upaya ini harus dilakukan karena sejak 2010 sampai 2018 emisi gas rumah kaca (GRK) nasional naik sekitar 4,3 persen per tahun serta dari 1981 sampai 2018 juga terjadi kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahun di Indonesia.
Selain itu, permukaan air laut turut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun sedangkan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir sehingga perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi Indonesia.
Terlebih lagi, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang saat ini mendominasi bencana di Indonesia.
“Di sisi pemerintah kami melalui APBN selalu berusaha menghitung berapa dari APBN yang merupakan dan boleh kita klaim sebagai green activities. Green untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.
Baca juga: Sri Mulyani: Penerapan nilai ekonomi karbon butuh MRV yang akuntabel
Baca juga: Indonesia dorong kerjasama berdayakan UMKM dan tangani perubahan iklim
Baca juga: Para pemimpin APEC janji atasi pemulihan ekonomi, COVID-19, dan iklim
Estimasi Rp3.779 triliun itu berdasarkan referensi dari peta jalan NDC Mitigasi Indonesia dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggunakan pendekatan biaya aksi mitigasi sehingga per tahun dibutuhkan Rp343,6 triliun.
“Indonesia berkomitmen akan menurunkan emisi CO2 pada 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen kalau kita mendapatkan bantuan internasional,” katanya dalam IAI Sustainability Roundtable Discussion di Jakarta, Selasa.
Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris atau Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC) pada 2016.
Berdasarkan dokumen NDC, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen melalui kemampuan sendiri dan 41 persen melalui dukungan internasional pada 2030.
Secara rinci, kebutuhan pendanaan mitigasi perubahan iklim tersebut jika dilihat per sektor meliputi sektor kehutanan Rp93,28 triliun, energi dan transportasi Rp3.500 triliun, IPPU Rp0,92 triliun, limbah Rp181,4 triliun, serta pertanian Rp4,04 triliun.
Sementara berdasarkan referensi dari Second Biennial Update Report dan KLHK pada 2018, biaya mitigasi perubahan iklim untuk mencapai NDC adalah sebanyak Rp3.461 triliun hingga 2030.
Biaya Rp3.461 triliun itu meliputi sektor kehutanan Rp77,82 triliun, energi dan transportasi Rp3.307,2 triliun, IPPU Rp40,77 triliun, limbah Rp30,35 triliun, serta pertanian Rp5,18 triliun.
“Kita lihat dua sektor yang besar adalah kehutanan serta energi dan transportasi,” ujarnya.
Sejumlah biaya itu akan digunakan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 29 persen di sektor kehutanan sebanyak 497 Mton CO2e, energi dan transportasi 314 Mton CO2e, limbah 11 Mton CO2e, pertanian 9 Mton CO2e, serta IPPU 3 Mton CO2e.
Sedangkan untuk menurunkan emisi CO2 sebesar 41 persen dengan biaya bantuan internasional akan dilakukan terhadap sektor kehutanan sebanyak 692 Mton CO2e, energi dan transportasi 446 Mton CO2e, limbah 40 Mton CO2e, pertanian 4 Mton CO2e, serta IPPU 3,25 Mton CO2e.
Upaya ini harus dilakukan karena sejak 2010 sampai 2018 emisi gas rumah kaca (GRK) nasional naik sekitar 4,3 persen per tahun serta dari 1981 sampai 2018 juga terjadi kenaikan suhu sekitar 0,03 derajat celcius per tahun di Indonesia.
Selain itu, permukaan air laut turut mengalami kenaikan sekitar 0,8 sampai 1,2 centimeter per tahun sedangkan 65 persen penduduk tinggal di wilayah pesisir sehingga perubahan iklim menjadi ancaman besar bagi Indonesia.
Terlebih lagi, perubahan iklim dapat meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi yang saat ini mendominasi bencana di Indonesia.
“Di sisi pemerintah kami melalui APBN selalu berusaha menghitung berapa dari APBN yang merupakan dan boleh kita klaim sebagai green activities. Green untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelasnya.
Baca juga: Sri Mulyani: Penerapan nilai ekonomi karbon butuh MRV yang akuntabel
Baca juga: Indonesia dorong kerjasama berdayakan UMKM dan tangani perubahan iklim
Baca juga: Para pemimpin APEC janji atasi pemulihan ekonomi, COVID-19, dan iklim
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: