Di forum COP, DEN paparkan komitmen RI bangun energi bersih
15 November 2021 08:32 WIB
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha (dua dari kanan) bersama Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI Mercy Chriesty Barends (dua dari kiri), Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Sitti Rohmi Djalilah (kanan), dan Kepala Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan KLHK Noer Adi Wardojo di sela kegiatan COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia. ANTARA/HO-Dokumentasi pribadi.
Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha memaparkan komitmen Indonesia dalam pembangunan rendah karbon dan energi bersih dalam forum Conference of the Parties (COP) ke-26 yang diselenggarakan di Glasgow, Skotlandia.
"Komitmen RI tersebut sejalan dengan Sustainable Deveopment Goals (SDGs) yaitu affordable & clean energy, climate actions, dan decent work & economic growth," katanya saat menjadi pembicara pada forum COP26 UNFCCC dengan tema "Green Economy and Infrastructure Development: A High Call For Urgency" tersebut, seperti disampaikan dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Kegiatan tersebut juga dihadiri Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI Mercy Chriesty Barends, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Sitti Rohmi Djalilah, dan Anggota Parlemen Denmark Ida Auken.
Satya juga menjelaskan komitmen Presiden Joko Widodo pada COP26 khususnya sektor energi, melalui pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan PLTS terbesar di Asia Tenggara, penggunaan EBT, dan pengembangan industri berbasis energi bersih termasuk pembangunan salah satu kawasan industri hijau terbesar di dunia yakni di Kalimantan Utara.
"Hal ini membutuhkan dukungan dan kontribusi internasional dari negara-negara maju dan Indonesia akan terus mendukung climate finance dan inovasinya serta pembiayaan hibrida, green bonds, dan green sukuk," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pembiayaan iklim dengan pendanaan dari negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara berkembang dan Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat terhadap net zero emission.
Satya juga menegaskan bahwa dalam rangka penurunan emisi karbon tidak saja melalui mekanisme green economy, tetapi juga blue economy, yakni bagaimana menurunkan karbon sekaligus menyejahterakan rakyatnya.
Menurut dia, DEN memonitor pembangunan infrastruktur ekonomi hijau dengan mengawasi implementasi dari RUED sebagai turunan dari RUEN. "Untuk itu, ke depan perlu diselaraskan dengan tujuan transisi energi menuju net zero emission," pungkas Satya.
Sementara itu, Mercy Chriesty mengungkapkan langkah percepatan dalam pencapaian EBT antara lain dengan melakukan penambahan kapasitas EBT untuk memenuhi permintaan baru yang tidak hanya yang tercantum dalam RUPTL dan substitusi energi menggunakan teknologi eksisting seperti B30, co-firing, dan pemanfaatan RDF.
Sitti Rohmi menyampaikan zero waste milestone untuk NTB pada 2023 dengan pencapaian target pengurangan 30 persen dan penanganan 70 persen melalui pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pengembangan kerja sama pengelolaan sampah, penerapan extended producer responsibility (EPR), dan industrialisasi pengolahan, serta daur ulang sampah.
Sedangkan, Ida Auken menjelaskan Denmark melakukan pengembangan energi bersih untuk keberlanjutan hidup manusia dan dirinya mendorong pelaksanaan new green economy untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia.
"Komitmen RI tersebut sejalan dengan Sustainable Deveopment Goals (SDGs) yaitu affordable & clean energy, climate actions, dan decent work & economic growth," katanya saat menjadi pembicara pada forum COP26 UNFCCC dengan tema "Green Economy and Infrastructure Development: A High Call For Urgency" tersebut, seperti disampaikan dalam keterangannya di Jakarta, Senin.
Kegiatan tersebut juga dihadiri Ketua Kaukus Ekonomi Hijau DPR RI Mercy Chriesty Barends, Wakil Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Sitti Rohmi Djalilah, dan Anggota Parlemen Denmark Ida Auken.
Satya juga menjelaskan komitmen Presiden Joko Widodo pada COP26 khususnya sektor energi, melalui pengembangan ekosistem mobil listrik, pembangunan PLTS terbesar di Asia Tenggara, penggunaan EBT, dan pengembangan industri berbasis energi bersih termasuk pembangunan salah satu kawasan industri hijau terbesar di dunia yakni di Kalimantan Utara.
"Hal ini membutuhkan dukungan dan kontribusi internasional dari negara-negara maju dan Indonesia akan terus mendukung climate finance dan inovasinya serta pembiayaan hibrida, green bonds, dan green sukuk," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pembiayaan iklim dengan pendanaan dari negara maju merupakan game changer dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara berkembang dan Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat terhadap net zero emission.
Satya juga menegaskan bahwa dalam rangka penurunan emisi karbon tidak saja melalui mekanisme green economy, tetapi juga blue economy, yakni bagaimana menurunkan karbon sekaligus menyejahterakan rakyatnya.
Menurut dia, DEN memonitor pembangunan infrastruktur ekonomi hijau dengan mengawasi implementasi dari RUED sebagai turunan dari RUEN. "Untuk itu, ke depan perlu diselaraskan dengan tujuan transisi energi menuju net zero emission," pungkas Satya.
Sementara itu, Mercy Chriesty mengungkapkan langkah percepatan dalam pencapaian EBT antara lain dengan melakukan penambahan kapasitas EBT untuk memenuhi permintaan baru yang tidak hanya yang tercantum dalam RUPTL dan substitusi energi menggunakan teknologi eksisting seperti B30, co-firing, dan pemanfaatan RDF.
Sitti Rohmi menyampaikan zero waste milestone untuk NTB pada 2023 dengan pencapaian target pengurangan 30 persen dan penanganan 70 persen melalui pengelolaan sampah berbasis masyarakat, pengembangan kerja sama pengelolaan sampah, penerapan extended producer responsibility (EPR), dan industrialisasi pengolahan, serta daur ulang sampah.
Sedangkan, Ida Auken menjelaskan Denmark melakukan pengembangan energi bersih untuk keberlanjutan hidup manusia dan dirinya mendorong pelaksanaan new green economy untuk mendukung pengembangan EBT di Indonesia.
Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: