Jakarta (ANTARA) - Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (DGB UI) berharap pimpinan kampus segera meratifikasi Permendikbudristek No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi dengan peraturan rektor.

Alasannya, UI belum memiliki ketentuan internal yang mengatur pencegahan, penanggulangan, dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus, meskipun DGB UI telah berinisiatif menyerahkan draf peraturan rektor terkait masalah itu kepada Rektorat UI pada Mei 2021.

“Kita ingin ini (peraturan rektor tentang penanganan kasus kekerasan seksual, red.) segera diselesaikan. Sayangnya, ini sudah November, 4 sampai 5 bulan kami belum mendengar kabar dari eksekutif (pimpinan kampus, red.),” kata Ketua DGB UI Prof. Harkristuti Harkrisnowo saat membuka sesi seminar virtual yang diikuti di Jakarta, Sabtu.

Baca juga: Peneliti: Permendikbudristek 30/2021 cegah kekerasan seksual di kampus

Menurut dia, pihak rektorat dapat menggunakan isi dari Permendikbud No.30 Tahun 2021 sehingga peraturan rektor bisa lebih cepat keluar.

“Kami lebih detail menyusun (draf peraturan rektor, red.), kita bukan membentuk satuan tugas, tetapi gugus tugas yang terdiri atas teman-teman Fakultas Hukum, Psikologi, Kesehatan Masyarakat, Kedokteran, Keperawatan, dan lain-lain semua ikut terlibat untuk menunjukkan (kekerasan seksual) ini masalah bersama,” terang Prof. Harkristuti.

Ia menilai Permendikbud Nomor 30 yang diteken oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim merupakan pencerahan bagi seluruh civitas akademika karena kekerasan seksual merupakan masalah yang harus menjadi perhatian kampus dan pemerintah, mengingat persoalan itu telah menjadikan mahasiswa sebagai korban.

Baca juga: Bamsoet minta Kemdikbudristek terima kritikan Permendikbudristek PPKS

Dewan Guru Besar UI berpandangan pemerintah, kampus, dan para pemangku kepentingan harus dapat menjamin keselamatan dan keamanan mahasiswa, termasuk dari ancaman kekerasan seksual.

“Ini memang isu yang sudah sangat lama dan banyak korban berjatuhan tanpa ada penyelesaian,” sebut Harkristuti.

Ia menerangkan kasus kekerasan seksual yang tidak dapat diselesaikan itu berdampak fatal pada korban serta efek jera pelaku.

Baca juga: Anggota DPR: Perlu aturan cegah kekerasan seksual di perguruan tinggi

“Korban tidak dapat mendapat pemulihan yang diperlukan, baik itu medis, sosial psikologis, dan berbagai macam terapi, karena tidak ada pengakuan dari universitas bahwa dia korban,” katanya.

Sisi lain, ujarnya, pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus itu merasa dapat terbebas dari aturan hukum.

“Dia merasa mendapat imunitas (kekebalan, red.) dan melakukan lagi (kejahatannya, red.),” ujar dia.