Jakarta (ANTARA) - Arab Saudi memiliki jumlah penduduk sebanyak 34,71 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, Indonesia membidik tiga sasaran pasar ekspor yaitu pasar reguler sebesar 21 juta jiwa atau 70 persen, pasar ekspatriat sebanyak 14 juta jiwa serta pasar haji dan umroh.

Pasar reguler merupakan penduduk asli, yang menjadi tujuan utama produk Indonesia. Artinya, ketika produk Indonesia diterima di pasar reguler, konsumsi produk Indonesia akan berjalan stabil dan berkesinambungan.

Selain itu, pasar haji dan umroh menjadi peluang pasar yang besar untuk memperkenalkan produk Indonesia di Arab Saudi. Untuk itu, Indonesia melalui Kementerian Perdagangan berupaya menangkap sebesar-besarnya peluang ekspor yang ada di Arab Saudi. Salah satu cara yang dilakukan yakni mengedukasi peluang ekspor ke pasar Arab Saudi dan Uni Emirat Arab sebagai upaya mendorong pasar ekspor ke kawasan Timur Tengah.

Di tengah pandemi, Kemendag melaksanakan kegiatan seminar web bertajuk Potensi Dagang Indonesia-Timur Tengah "From Jeddah To Dubai" untuk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang digelar oleh Sekolah Ekspor.

Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) Jeddah Arab Saudi Muhammad Rivai Abbas mengatakan Kemendag mendorong pelaku UMKM untuk terlibat memanfaatkan peluang pasar ekspor yang sangat besar tersebut.

Beberapa produk Indonesia yang memiliki potensi untuk kebutuhan haji dan umroh di antaranya adalah pakaian, perhotelan, makanan, kosmetik, tas, dan sepatu.

Pada 2020, ditandatangani nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Agama, Kementerian Koperasi dan UKM, dan Kadin. MoU tersebut terkait optimalisasi pemenuhan kebutuhan jamaah haji Indonesia di Arab Saudi.

Dalam MoU itu, penyedia produk atau jasa terkait kebutuhan haji dan umroh jemaah Indonesia diwajibkan menggunakan produk Indonesia, khususnya produk UMKM.

Secara umum, produk yang masuk ke Arab Saudi harus terdaftar. Untuk produk makanan dan obat-obatan harus melalui sertifikasi Saudi Food and Drugs Authority (SFDA) sedangkan di luar produk tersebut harus teregistrasi Saudi Arabian Standards Organization (SASO).

Selain itu, hal yang perlu diperhatikan ketika memasuki pasar Arab Saudi, yaitu mengenai hak kekayaan intelektual tentang merek dagang sehingga tidak terjadi sengketa di negara tersebut.

Saat ini, Arab Saudi sedang menjalankan program Saudi Vision 2030. Kebijakan tersebut merupakan kerangka strategis untuk mengurangi ketergantungan Arab Saudi pada minyak, mendiversifikasi ekonomi, dan mengembangkan sektor layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, infrastruktur, rekreasi, dan pariwisata.

Pasar Arab Saudi merupakan pasar yang terbuka, artinya produk harus berkompetisi dari segi harga, kualitas, dan keberlanjutan, karena seluruh negara di dunia mencoba memasuki pasar Arab Saudi.

Dengan demikian, para eksportir Indonesia harus mempersiapkan produknya agar dapat bersaing di pasar Arab Saudi untuk jangka panjang.

Pada 2020, Arab Saudi merupakan negara peringkat ke-21 sebagai negara tujuan ekspor Indonesia dengan nilai 1,34 miliar dolar AS. Sedangkan, sebagai negara asal impor Indonesia, Arab Saudi menempati posisi ke 14 dengan nilai 2,61 miliar dolar AS.

Produk ekspor utama Indonesia ke Arab Saudi di antaranya adalah mobil penumpang, minyak kelapa sawit, ikan, kayu lapis, dan kain. Sedangkan impor utama Indonesia dari Arab Saudi di antaranya plastik, kimia organik, kacang-kacangan, produk kimia, dan produk susu.


Bidik pasar UEA

Sementara itu, UEA memiliki penduduk sekitar 9,83 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 11 persen di antaranya adalah penduduk asli UEA yang disebut emirati, sementara sisanya adalah penduduk pendatang.

Secara umum perdagangan di UEA masih dikenakan bea masuk sekitar 5 persen. Saat ini, Indonesia dan UEA sedang melakukan perundingan Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUAE-CEPA).

Salah satu dari perundingan tersebut berfokus pada pengurangan hambatan tarif, yang diharapkan menekan bea masuk dari 5 persen hingga ke angka terendah. Kedua negara berkomitmen perundingan IUAE-CEPA dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun sejak diluncurkan di Bogor, September lalu.

Dengan adanya perundingan itu, diharapkan neraca perdagangan Indonesia dengan UEA dapat naik dua hingga tiga kali lipat.

UEA memiliki lembaga standardisasi nasional yaitu, Emirates Authority for Standardization and Metrology (ESMA). Lembaga ini berfungsi untuk mengembangkan dan mengadopsi standar yang disiapkan komite teknis sesuai standar internasional dan regional. Pada 2018, lembaga tersebut membuat MoU dengan Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Dalam MoU itu, setiap lembaga yang menerbitkan sertifikat halal yang diakui oleh KAN seperti MUI, sertifikat tersebut juga akan diakui oleh ESMA. Artinya produk yang telah mendapat sertifikat halal oleh MUI dapat dengan mudah memasuki pasar UEA.

Produk tersebut hanya perlu memenuhi syarat-syarat registrasi dari UEA. Produk yang memasuki pasar UEA juga harus menggunakan dua bahasa yaitu inggris dan arab karena kedua bahasa tersebut yang digunakan sehari-hari.

Kepala ITPC Dubai UEA Muhammad Khomaini mengatakan UEA khususnya Dubai, merupakan hub wilayah timur tengah dan Afrika bagian utara. Pada Januari–April 2021 data perdagangan UEA menunjukkan nilai re-ekspor hampir 50 persen dibanding impor. Hal tersebut menggambarkan besarnya potensi UEA, khususnya Dubai sebagai hub kawasan.

Adapun produk ekspor utama Indonesia ke UEA di antaranya adalah minyak kelapa sawit, perhiasan, monitor, kendaraan, dan papan kertas. Sementara impor utama Indonesia dari UEA di antaranya bensin, besi, aluminium tidak ditempa, kimia organik, dan plastik.

Baca juga: Kemarin, komitmen investasi RI-UEA hingga Kementan catat royalti
Baca juga: Garuda angkut komoditas ekspor unggulan ke UEA dan China
Baca juga: WIKA ungkap sejumlah rencana ekspansi ke UEA, Afrika, dan Filipina