Padang (ANTARA) - Akademisi Universitas Dharma Andalas Padang Defika Yufiandra mendukung Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat (Sumbar) mengusut tuntas dugaan korupsi pengadaan lahan tol Padang-Sicincin.

Sejak proses kasus dinaikkan ke penyidikan pada Juni 2021, pihak Kejati Sumbar telah menetapkan 13 orang sebagai tersangka dari berbagai latar belakang.

"Kami mendukung Kejati Sumbar untuk mengusut tuntas kasus ini, jerat semua yang terlibat dan perlu dimintai pertanggungjawaban hukum," kata Defika Yufiandra, di Padang, Kamis.

Kandidat doktor di Fakultas Hukum Universitas Andalas itu menilai bahwa belasan tersangka yang ditetapkan sejauh ini belum menyentuh level pejabat utama, melainkan baru selevel staf.

Para tersangka diketahui berlatar belakang warga penerima uang ganti rugi, aparatur pemerintahan daerah, aparatur pemerintahan nagari, serta dari pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Kelompok tersangka sebagai penerima ganti rugi sebanyak delapan orang berinisial BK, MR, SP, KD, AH, SY, RF, dan SA yang diketahui juga merupakan perangkat pemerintahan nagari.

Sementara lima tersangka lainnya adalah SS yang berlatar belakang perangkat pemerintahan nagari, YW Aparatur Pemerintahan Padangpriaman, kemudian J, RN, US dari BPN selaku panitia pengadaan tanah.

"Jika ditemukan alat bukti yang cukup untuk menjerat pejabatnya, maka mereka harus dimintai pertanggungjawaban hukum, kami percaya Kejati Sumbar tidak akan tembang-pilih," katanya lagi.

Namun mantan Ketua KNPI Sumbar itu, tetap mengapresiasi proses kasus yang telah dilakukan oleh kejati hingga ditetapkan belasan tersangka pada Jumat (29/10).

Penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembayaran ganti rugi lahan tol Padang-Sicincin itu dilakukan oleh Kejati Sumbar pada 29 Oktober 2021.

Asisten Pidana Khusus Kejati Sumbar Suyanto membeberkan dari penghitungan sementara perkara itu telah merugikan keuangan negara mencapai jumlah Rp28 miliar.

Kerugian itu muncul, karena diduga uang pembayaran ganti rugi lahan tol yang telah digelontorkan oleh negara diklaim secara melawan hukum oleh orang yang tidak berhak sebagai penerima ganti rugi.

Ia menuturkan persoalan itu berawal saat adanya proyek pembangun tol Padang-Sicincin pada 2020, sehingga negara menyiapkan uang sebagai ganti rugi bagi lahan yang terdampak pembangunan.

Salah satu lahan yang terdampak adalah Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati) di Paritmalintang, Kabupaten Padangpariaman, dengan uang ganti rugi diterima oleh orang per orang.

Setelah diusut lebih lanjut oleh kejaksaan ternyata diketahui bahwa Taman Kehati statusnya masuk dalam aset daerah dan tercatat pada bidang aset Badan Pengelolaan Keuangan Daerah Padangpariaman. Karena lahan itu termasuk dalam objek ketika Kabupaten Padangpariaman mengurus pemindahan ibu kota Kabupaten (IKK) ke Parit Malintang pada 2007.

Pengadaan tanah dalam kegiatan pemindahan IKK saat itu dilengkapi dengan surat pernyataan pelepasan hak dari para penggarap tanah serta dilakukan ganti rugi.

Lahan akhirnya dikuasai oleh Pemkab Padangpariaman dengan membangun kantor bupati (2010), hutan kota (2011), ruang terbuka hijau (2012), Kantor Dinas Pau (2014), termasuk Taman Kehati (2014) berdasarkan SK Bupati seluas 10 hektare.

Pembangunan dan pemeliharaan Taman Kehati saat itu menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) Kementerian Lingkungan Hidup serta APBD Padangpariaman.

Pada bagian lain, Asintel Mustaqpirin menegaskan penyidikan kasus saat ini murni terkait pembayaran ganti rugi lahan saja, bukan pengerjaan fisik proyek tol, sehingga tidak akan berdampak pada pengerjaan proyek tol, apalagi menghambat pengerjaan.

"Pemrosesan ini bagian dari upaya kejaksaan dalam mendukung proyek tol sebagai proyek strategis nasional, jangan sampai ada pihak tak bertanggung jawab yang mengambil keuntungan pribadi dan merugikan keuangan negara," katanya lagi.
Baca juga: Kejati Sumbar periksa 6 pejabat kasus ganti rugi lahan tol
Baca juga: Kejati Sumbar usut penyimpangan ganti rugi lahan tol