Jakarta (ANTARA) - Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) mengeluarkan draf kesepakatan iklim dari Conference of Parties 26 (COP26) yang memberi penekanan agar negara para pihak dan pemangku kepentingan melakukan aksi lebih kuat mengatasi perubahan iklim.

Salah satu poin imbauan agar negara para pihak mempercepat penghapusan bertahap batu bara dan subsidi bahan bakar fosil dalam draf kesepakatan iklim yang masih dinegosiasikan di Glasgow, Skotlandia itu, kata Manager Kampanye Keadilan Iklim WALHI Yuyun Harmono di Jakarta, Rabu, patut diapresiasi meski tidak tercantum tenggat waktu pelaksanaannya.

"Soal batu bara dan penghapusan subsidi bahan bakar fosil ini juga belum tentu bertahan di dokumen final. Tentu ini adalah perkembangan yang diapresiasi bahwa phase out batu bara secara resmi masuk dalam teks negosiasi," kata Yuyun.

Sebelumnya, komitmen negara para pihak untuk meninggalkan penggunaan energi kotor yang berasal dari batu bara hanya bersifat sukarela di luar negosiasi.

Maka, menurut dia, jika poin mempercepat penghapusan bertahap batu bara dan subsidi bahan bakar fosil disebutkan dalam kesepakatan iklim itu, Indonesia yang sudah meratifikasi Paris Agreement juga harus mengikutnya karena mandatori.

Persoalannya tidak disebutkan secara pasti kapan harus benar-benar sudah meninggalkan batu bara dan menghentikan subsidi bahan bakar fosil, kata Yuyun, dan itu menjadi kekurangannya. Negosiasi COP26 akan berakhir dalam dua hari ke depan, dan biasanya Arab Saudi dan Rusia yang akan alot menyetujui isu tersebut.

"Rekomendasi IPCC saja mereka tolak masuk teks negosiasi," ujar Yuyun menyoal rekomendasi yang dikeluarkan Panel Antarpemerintahan untuk Perubahan Iklim (IPCC) dalam draf kesepakatan iklim.

UNFCCC mengeluarkan draf kesepakatan iklim pada hari Rabu (10/11), 2 hari menjelang berakhirnya COP26. Konsep kesepakatan itu berisi 71 poin yang terbagi dalam delapan pokok permasalahan, yakni sains, adaptasi, pendanaan adaptasi, mitigasi, keuangan-transfer teknologi dan pengembangan kapasitas untuk mitigasi dan adaptasi, kerugian dan kerusakan, penerapan, dan kolaborasi.

Draf kesepakatan iklim tersebut mengakui pula dampak buruk dari pandemi COVID-19 dan pentingnya memastikan pemulihan global secara berkelanjutan, tangguh, dan inklusif, menunjukkan solidaritas khususnya kepada negara berkembang.

Selain juga mengakui krisis global yang saling terkait perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, serta peran penting solusi berbasis alam dan pendekatan berbasis ekosistem dalam memberikan manfaat untuk adaptasi dan mitigasi iklim.

Tercantum pula dalam draf tersebut penghargaan kepada para kepala negara dan pemerintahan yang berpartisipasi dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim di Glasgow dan atas peningkatan target serta aksi yang diumumkan di sana, dengan catatan bahwa beberapa pihak memilih untuk mendukung Deklarasi Pemimpin Glasgow tentang Hutan dan Penggunaan Lahan.

Peran penting masyarakat sipil, termasuk pemuda dan masyarakat adat dalam menangani dan menanggapi perubahan iklim mendapat pengakuan di dalam draf tersebut. Sekaligus menyoroti kebutuhan mendesak untuk bertindak mengatasi perubahan iklim.

Baca juga: Kadin: Swasta siap dukung akselerasi transisi energi Indonesia

Baca juga: Pertamina ingin optimalkan pemanfaatan panas bumi di Indonesia