Tripoli (ANTARA News/Reuters) - Libya menyatakan, Kamis, jumlah korban tewas sipil akibat serangan udara koalisi selama lima hari ini telah mencapai hampir 100 orang, dan Tripoli menuduh negara-negara Barat berperang untuk membantu pemberontak.

Mussa Ibrahim, seorang juru bicara pemerintah, juga mengatakan, Libya yakin pasukan Barat berencana menyerang prasarana siarannya, mungkin pada Kamis malam.

"Apa yang terjadi saat ini adalah negara-negara Barat berperang di pihak pemberontak. Ini tidak diizinkan oleh resolusi PBB," katanya kepada wartawan.

"Kami telah menerima informasi intelijen bahwa prasarana siaran dan komunikasi kami akan menjadi sasaran, mungkin malam ini, oleh serangan-serangan udara..." lanjut juru bicara itu.

"Ini akan, jika terjadi, sangat tidak bermoral dan ilegal. Ini adalah sasaran-sasaran sipil," tambahnya.

Ibrahim menyatakan, jumlah kematian sipil akibat serangan-serangan udara sekutu "mendekati 100".

Para pejabat militer Barat membantah ada korban tewas sipil dalam operasi menegakkan zona larangan terbang di Libya untuk melindungi penduduk sipil dari pasukan pemerintah.

"Kami memenuhi janji kami. Kami melakukan gencatan senjata. Kami hanya membalas serangan-serangan udara yang tentunya menjadi hak kami, dan pemberontak di wilayah timur menyerang militer kami dengan perlindungan serangan udara," kata Ibrahim.

Libya kini digempur pasukan internasional sesuai dengan mandat PBB yang disahkan pada Kamis lalu (17/3).

Resolusi 1973 DK PBB disahkan ketika kekerasan dikabarkan terus berlangsung di Libya dengan laporan-laporan mengenai serangan udara oleh pasukan Moamer Kadhafi, yang membuat marah Barat.

Selama beberapa waktu hampir seluruh wilayah negara Afrika utara itu terlepas dari kendali Kadhafi setelah pemberontakan rakyat meletus di kota pelabuhan Benghazi pada pertengahan Februari. Namun, kini pasukan Kadhafi dikabarkan telah berhasil menguasai lagi daerah-daerah tersebut.

Ratusan orang tewas dalam penumpasan brutal oleh pasukan pemerintah dan ribuan warga asing bergegas meninggalkan Libya pada pekan pertama pemberontakan itu.

Kadhafi (68) adalah pemimpin terlama di dunia Arab dan telah berkuasa selama empat dasawarsa. Kadhafi bersikeras akan tetap berkuasa meski ia ditentang banyak pihak.

Aktivis pro-demokrasi di sejumlah negara Arab, termasuk Libya, terinspirasi oleh pemberontakan di Tunisia dan Mesir yang berhasil menumbangkan pemerintah yang telah berkuasa puluhan tahun.

Buntut dari demonstrasi mematikan selama lebih dari dua pekan di Mesir, Presiden Hosni Mubarak mengundurkan diri Jumat (11/2) setelah berkuasa 30 tahun dan menyerahkan kekuasaan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata, sebuah badan yang mencakup sekitar 20 jendral yang sebagian besar tidak dikenal umum sebelum pemberontakan yang menjatuhkan pemimpin Mesir itu.

Sampai pemilu dilaksanakan, dewan militer Mesir menjadi badan eksekutif negara, yang mengawasi pemerintah sementara yang dipimpin perdana menteri.

Di Tunisia, demonstran juga menjatuhkan kekuasaan Presiden Tunisia Zine El Abidine Ben Ali pada Januari.

Ben Ali meninggalkan negaranya pertengahan Januari setelah berkuasa 23 tahun di tengah tuntutan yang meningkat agar ia mengundurkan diri meski ia telah menyatakan tidak akan mengupayakan perpanjangan masa jabatan setelah 2014. Ia dikabarkan berada di Arab Saudi.

Ia dan istrinya serta anggota-anggota lain keluarganya kini menjadi buronan dan Tunisia telah meminta bantuan Interpol untuk menangkap mereka.(*)

(Uu.M014)