Pemerintah petakan kesiapan pengiriman bahan bakar kapal sulfur rendah
9 November 2021 21:54 WIB
Pekerja menurunkan BBM jenis solar ke kapal nelayan di Pelabuhan Pendaratan Ikan (PPI) Donggala, Sulawesi Tengah, Selasa (1/6/2021). ANTARAFOTO/Basri Marzuki/rwa.
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memetakan kesiapan upaya pengurangan emisi karbon (dekarbonisasi) melalui penggunaan bahan bakar kapal (marine fuel oil/MFO) sulfur rendah di wilayah Selat Sunda dan Selat Malaka.
Dalam rapat koordinasi secara daring, Selasa, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo mengatakan dekarbonisasi dalam kegiatan pengiriman dan pelabuhan (decarbonizing shipping and port) itu dilakukan guna mempercepat upaya pengurangan emisi menjadi net-zero dan implementasi green port.
"Pada tahun 2021 ini, seluruh negara di dunia kembali menegaskan komitmen dan meningkatkan perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Krakatau-Pertamina jual perdana BBM kapal rendah sulfur
Pada 1 Januari 2020, Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO) telah memberlakukan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak yang digunakan di kapal.
Aturan yang dikenal sebagai "IMO 2020" tersebut membatasi sulfur hingga 0,50 persen m/m dari batas sebelumnya sebesar 3,5 persen. Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).
Pada tingkat nasional, pengaturan tersebut dituangkan dalam SE Nomor 35 tahun 2019 Dirjen Hubla Kemenhub tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang Dari Kapal.
"Dalam SE Nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m," jelas Basilio.
Baca juga: Indonesia buka jasa layanan "bunkering marine fuel oil" di Selat Sunda
Selain mendorong kapal-kapal agar menggunakan bahan bakar sulfur rendah, dekarbonisasi dalam kegiatan pengiriman dan pelabuhan dinilai juga dapat menambah pendapatan untuk negara jika Indonesia dapat menjual bahan bakar sulfur rendah kepada kapal yang melintas.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa sekitar 90.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya. Sementara itu, ada sekitar 53.068 kapal melewati Selat Sunda setiap tahunnya, dan sekitar 36.773 kapal melewati Selat Lombok setiap tahunnya.
"Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan Pemerintah Indonesia perlu untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m," ujarnya.
Pertamina sendiri telah meluncurkan bahan bakar kapal (MFO) sulfur rendah dan telah melakukan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) dengan PT Patra Niaga Pertamina pada 4 Agustus 2021 lalu untuk kegiatan bunkering low sulphur MFO atau pemuatan bahan bakar kapal sulfur rendah.
"Penjualan perdana Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) juga sudah dilakukan di Dermaga KIP Cilegon pada tanggal 27 Agustus 2021 kepada kapal asing MV Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO," ungkapnya.
Lebih lanjut, Basilio menekankan perlunya dukungan para pemangku kepentingan baik dari kementerian/lembaga, BUMN, swasta, pemilik kapal, galangan kapal serta Organisasi Internasional seperti IMO, UNCTAD, dan Bank Dunia untuk meningkatkan upaya dekarbonisasi serta mendorong pendapatan negara dari kegiatan bunkering.
IMO, menurut Basilio, dapat membantu upaya mempromosikan teknologi rendah karbon dengan memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerja sama teknis, serta peningkatan efisiensi energi kapa.
"Sementara World Bank dapat membantu negara-negara berkembang dengan produksi dan pasokan bahan bakar nol-karbon yang akan diterapkan pada industri perkapalan di Indonesia," pungkas Basilio.
Dalam rapat koordinasi secara daring, Selasa, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kemenko Marves Basilio Dias Araujo mengatakan dekarbonisasi dalam kegiatan pengiriman dan pelabuhan (decarbonizing shipping and port) itu dilakukan guna mempercepat upaya pengurangan emisi menjadi net-zero dan implementasi green port.
"Pada tahun 2021 ini, seluruh negara di dunia kembali menegaskan komitmen dan meningkatkan perhatiannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan dan isu perubahan iklim," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.
Baca juga: Krakatau-Pertamina jual perdana BBM kapal rendah sulfur
Pada 1 Januari 2020, Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO) telah memberlakukan batasan baru kandungan sulfur dalam bahan bakar minyak yang digunakan di kapal.
Aturan yang dikenal sebagai "IMO 2020" tersebut membatasi sulfur hingga 0,50 persen m/m dari batas sebelumnya sebesar 3,5 persen. Batas baru ini diwajibkan setelah amandemen Lampiran VI Konvensi Internasional untuk Pencegahan Polusi dari Kapal (MARPOL).
Pada tingkat nasional, pengaturan tersebut dituangkan dalam SE Nomor 35 tahun 2019 Dirjen Hubla Kemenhub tentang Kewajiban Penggunaan Bahan Bakar Low Sulfur dan Larangan Mengangkut atau Membawa Bahan Bakar Yang Tidak Memenuhi Persyaratan Serta Pengelolaan Limbah Hasil Resirkulasi Gas Buang Dari Kapal.
"Dalam SE Nomor 35 tahun 2019, tertuang bahwa kapal berbendera Indonesia dan kapal berbendera asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia wajib menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m," jelas Basilio.
Baca juga: Indonesia buka jasa layanan "bunkering marine fuel oil" di Selat Sunda
Selain mendorong kapal-kapal agar menggunakan bahan bakar sulfur rendah, dekarbonisasi dalam kegiatan pengiriman dan pelabuhan dinilai juga dapat menambah pendapatan untuk negara jika Indonesia dapat menjual bahan bakar sulfur rendah kepada kapal yang melintas.
Berdasarkan informasi dari Kementerian Perhubungan, diketahui bahwa sekitar 90.000 kapal melewati Selat Malaka setiap tahunnya. Sementara itu, ada sekitar 53.068 kapal melewati Selat Sunda setiap tahunnya, dan sekitar 36.773 kapal melewati Selat Lombok setiap tahunnya.
"Banyaknya kapal yang melintasi perairan Indonesia menjadikan Pemerintah Indonesia perlu untuk mendorong dan memastikan kapal-kapal tersebut menggunakan bahan bakar dengan kandungan sulfur dengan nilai maksimal 0,5 persen m/m," ujarnya.
Pertamina sendiri telah meluncurkan bahan bakar kapal (MFO) sulfur rendah dan telah melakukan Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PT Krakatau Bandar Samudera (Krakatau International Port/KIP) dengan PT Patra Niaga Pertamina pada 4 Agustus 2021 lalu untuk kegiatan bunkering low sulphur MFO atau pemuatan bahan bakar kapal sulfur rendah.
"Penjualan perdana Bunkering Low Sulphur Marine Fuel Oil (LS MFO) juga sudah dilakukan di Dermaga KIP Cilegon pada tanggal 27 Agustus 2021 kepada kapal asing MV Alona berbendera Siprus sejumlah 160 MT atau setara 175.000 liter LS MFO," ungkapnya.
Lebih lanjut, Basilio menekankan perlunya dukungan para pemangku kepentingan baik dari kementerian/lembaga, BUMN, swasta, pemilik kapal, galangan kapal serta Organisasi Internasional seperti IMO, UNCTAD, dan Bank Dunia untuk meningkatkan upaya dekarbonisasi serta mendorong pendapatan negara dari kegiatan bunkering.
IMO, menurut Basilio, dapat membantu upaya mempromosikan teknologi rendah karbon dengan memfasilitasi kemitraan publik-swasta dan pertukaran informasi, transfer teknologi, pengembangan kapasitas dan kerja sama teknis, serta peningkatan efisiensi energi kapa.
"Sementara World Bank dapat membantu negara-negara berkembang dengan produksi dan pasokan bahan bakar nol-karbon yang akan diterapkan pada industri perkapalan di Indonesia," pungkas Basilio.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: