Jakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (Unair), Santi Martini menyampaikan bahwa penanganan stunting penting dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif.

"Penanganan stunting secara garis besar dilakukan melalui intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif yang difokuskan pada 1.000 hari pertama kehidupan," ujarnya dalam seminar bertema "Konvergensi Intervensi Spesifik dan Sensitif Menuju Indonesia Bebas Stunting" yang diikuti secara daring di Jakarta, Senin.

Ia mengemukakan, intervensi gizi spesifik, yakni intervensi yang berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan. Sementara intervensi gizi sensitif, yakni intervensi pendukung untuk penurunan kecepatan stunting, seperti penyediaan air bersih dan sanitasi.

"Berdasarkan berbagai literatur maupun studi, komponen intervensi sensitif memiliki proporsi yang besar, yakni 70 persen," paparnya.

Baca juga: BKKBN sebut dua juta balita miliki bakat stunting selama pandemi
Baca juga: Menko PMK: BKKBN perlu sentuh mahasiswa dahulu untuk cegah stunting

Ia mengatakan, intervensi stunting harus dilakukan multi sektoral, maka kolaborasi menjadi kunci keberhasilan dalam percepatan penurunan stunting, baik intervensi gizi spesifik maupun gizi sensitif.

"Itu merupakan bagian dari program kementerian atau lembaga sesuai dengan tugas pokoknya masing-masing, bahkan pemerintah daerah, institusi pendidikan, dan masyarakat," katanya.

Ia mengharapkan adanya kolaborasi multi sektoral, baik antar institusi pendidikan dan lembaga pemerintah dapat mewujudkan konvergensi yang baik demi pencegahan dan penurunan stunting di Indonesia.

Baca juga: Persepsi dan budaya jadi tantangan utama atasi stunting
Baca juga: Perlu turunkan tiga persen per tahun untuk capai target stunting

Dalam kesempatan itu, Santi Martini mengakui bahwa pandemi COVID-19 menjadi tantangan tersendiri bagi upaya percepatan penurunan stunting, capaian yang telah baik selama tujuh tahun terakhir harus dapat dipertahankan.

"Indonesia telah berhasil menurunkan prevalensi stunting dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 27,7 persen pada 2019. Ini tentunya membutuhkan upaya yang harus dipertahankan dan bisa mencapai target 2024 menjadi 14 persen," tuturnya.

Dalam upaya penurunan percepatan stunting, ia menyampaikan, pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

"Perpres itu memberikan penguatan kerangka intervensi yang harus dilaksanakan oleh kelembagaan yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan percepatan penurunan stunting, salah satunya institusi pendidikan dan lembaga terkait seperti BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional)," katanya.

Baca juga: BKKBN: Stunting turun tingkatkan kualitas generasi muda Indonesia
Baca juga: Program "Jago Centing" untuk cegah stunting digalakkan di Surabaya