Surabaya (ANTARA News) - Kawasan pantai barat Sumatera dan pantai selatan Jawa-Bali-Nusa Tenggara-Kepulauan Maluku-Maluku Utara, pantai utara dan timur Sulawesi, serta pantai utara Papua merupakan kawasan yang rawan tsunami.

"Itu karena kawasan-kawasan itu terletak di kawasan tektonik aktif seperti di Jepang, karena itu kita dapat belajar pada Jepang tentang cara siaga tsunami," kata Geolog ITS Surabaya Dr Amien Widodo kepada ANTARA di Surabaya, Selasa, ketika menanggapi pelajaran penting dari tsunami dan ledakan reaktor nuklir di Jepang.

Menurut peneliti bencana dari ITS Surabaya itu, Jepang merupakan negara yang rawan tsunami dan gempa karena terletak di kawasan geologi tektonik aktif yaitu di kawasan tumbukan lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik dengan jarak tumbukan lempeng kurang dari 100 kilometer.

"Indonesia juga rawan tsunami di kawasan barat Sumatera dan selatan Jawa, Nusa Tenggara, Maluku, serta utara Papua, karena ditekan oleh tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik di bagian Timur," paparnya.

Selain itu, sejumlah daerah di Indonesia juga terletak dekat dengan zona patahan aktif yakni daerah sepanjang Bukit Barisan di Pulau Sumatera, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua.

"Bedanya, Jepang menyadari akan kondisi yang dihadapi dan mereka tidak punya pilihan lain. Karena itu mereka meneliti, mengembangkan teknologi konstruksi, sistem peringatan dini, mengembangkan bangunan tahan gempa, dan melatih serta memahamkan kepada seluruh rakyat," tuturnya.

Bahkan, mereka melakukan gladi atau simulasi menghadapi gempa secara rutin dalam jangka waktu tertentu. Karena sosialisasi sudah berlangsung lama maka masyarakat Jepang sudah terbangun budaya keselamatan.

"Sosialisasi yang terus menerus hingga melahirkan budaya keselamatan itu, terlihat saat terjadi gempa 11 Maret 2011 yakni masyarakat Jepang tidak panik. Mereka reflek bersembunyi di bawah meja sampai getaran selesai, lalu mereka keluar ruangan antre satu persatu tanpa berebut," ujarnya.

Demikian pula saat evakuasi naik kendaraan merekapun tetap antre satu persatu, dan tidak ada keluhan trauma akibat gempa.

"Yang menarik, berita-berita media di Jepang lebih banyak mendorong untuk bangkit dan bukan berita rebutan dan atau merampok bantuan/makanan, atau berita belum mendapatkan bantuan dan lain sebagainya," katanya.

Ia menegaskan bahwa pelajaran juga bisa diperoleh dari masyarakat Pulau Simeuleu, Aceh, ketika terjadi gempa besar yang memicu tsunami pada 26 Desember 2004.

Masyarakat Pulau Simelue Aceh yang aktif dan selalu belajar dari kejadian gempa dan tsunami yang pernah terjadi telah mengembangkan sistem deteksi dini dengan teriakan "semong" yang berarti air laut surut dan semua orang harus segera lari menuju ke bukit.

"Istilah semong selalu disosialisasikan dengan dongeng legenda oleh tokoh masyarakat setempat secara turun temurun, sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati setiap penduduk Pulau Simeuleu. Istilah semong ini dikembangkan sejak tahun 1900 dan istilah ini pula yang menyelamatkan hampir seluruh rakyat Pulau Simelue dari amukan tsunami," ucapnya.
(E011/C004)