Baghdad (ANTARA News) - Al-Qaeda di Irak mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom bunuh diri terhadap sebuah barak militer di Irak utara yang menewaskan 11 prajurit, kata kelompok pemantau SITE, Senin.

Negara Islam Irak -- kelompok Al-Qaeda di Irak -- mengklaim dalam sebuah pernyataan yang dipasang di situs-situs jihad bahwa pangkalan di Diyala itu terlibat dalam rencana pemerintah Irak untuk membunuh orang-orang Sunni di provinsi bergolak itu, kata SITE yang berpusat di AS, seperti dilaporkan AFP.

Menurut organisasi itu, tujuan rencana tersebut adalah mengubah provinsi Diyala yang memiliki beragam agama menjadi sebuah kawasan dengan mayoritas Syiah.

"Salah satu singa Negara Islam (Irak) melakukan serangan bom mobil yang ditujukan pada markas tentara tidak beragama, yang terletak di sebuah kompleks bangunan pemerintah di daerah Kanaan di provinsi Diyalaa," kata SITE mengutip pernyataan kelompok tersebut.

"Pelaku serangan itu berhasil melewati garis keamanan, menerobos lokasi dan meledakkan kendaraannya di halaman dalam" di pangkalan tersebut, kata pernyataan itu.

Serangan 14 Maret itu menewaskan 11 prajurit dan menghancurkan bangunan-bangunan di pangkalan tersebut.

Kanaan terletak sekitar 10 kilometer sebelah timur Baquba, kota utama di provinsi Diyala, bekas pangkalan Al-Qaeda yang hingga kini tetap menjadi salah satu tempat yang dilanda kekerasan di Irak karena perbedaan-perbedaan kuat etnik dan keagamaan.

Serangan bom itu merupakan salah satu dari rangkaian kekerasan yang meningkat lagi di Irak dan terjadi beberapa bulan setelah penarikan pasukan AS.

Ratusan orang tewas dalam gelombang kekerasan terakhir di Irak, termasuk sejumlah besar polisi Irak, namun AS tetap melanjutkan penarikan pasukan dari negara itu.

Meski kekerasan tidak seperti pada 2006-2007 ketika konflik sektarian berkobar mengiringi kekerasan anti-AS, sekitar 300 orang tewas setiap bulan pada 2010, dan Juli merupakan tahun paling mematikan sejak Mei 2008.

Militer AS menyelesaikan penarikan pasukan secara besar-besaran pada akhir Agustus, yang diumumkannya sebagai akhir dari misi tempur di Irak, dan setelah penarikan itu jumlah prajurit AS di Irak menjadi sekitar 50.000.

Penarikan brigade tempur terakhir AS dipuji sebagai momen simbolis bagi keberadaan kontroversial AS di Irak, lebih dari tujuh tahun setelah invasi untuk mendongkel Saddam.

Namun, pasukan AS terus melakukan operasi gabungan dengan pasukan Irak dan gerilyawan Kurdi Peshmerga di provinsi-provinsi Diyala, Nineveh dan Kirkuk dengan pengaturan keamanan bersama di luar misi reguler militer AS di Irak.

Para pejabat AS dan Irak telah memperingatkan bahaya peningkatan serangan ketika negosiasi mengenai pembentukan pemerintah baru Irak tersendat-sendat, beberapa bulan setelah pemilihan umum parlemen di negara itu.

Jumlah warga sipil yang tewas dalam pemboman dan kekerasan lain pada Juli naik menjadi 396 dari 204 pada bulan sebelumnya, menurut data pemerintah Irak.

Sebanyak 284 orang -- 204 warga sipil, 50 polisi dan 30 prajurit -- tewas pada Juni, kata kementerian-kementerian kesehatan, pertahanan dan dalam negeri di Baghdad kepada AFP.

Menurut data pemerintah, 337 orang tewas dalam kekerasan pada Mei.

Rangkaian serangan dan pemboman sejak pasukan AS ditarik dari kota-kota di Irak pada akhir Juni 2009 telah menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan pasukan keamanan Irak untuk melindungi penduduk dari serangan-serangan gerilya seperti kelompok militan Sunni Al-Qaeda.

Gerilyawan yang terkait dengan Al-Qaeda kini tampaknya menantang prajurit dan polisi Irak ketika AS mengurangi jumlah pasukan menjadi 50.000 prajurit pada 1 September 2010, dari sekitar 170.000 pada puncaknya tiga tahun lalu. (M014/K004)