Pengamat ingatkan Polri perbaiki komunikasi ke publik kerja Densus 88
7 November 2021 20:04 WIB
Tim Densus 88 Anti Teror Mabes Polri membawa sejumlah barang bukti dari kediaman FT di Kelurahan Purwoasri, Kecamatan Metro Utara, Lampung, Sabtu (6/11/2011). Antaralampung.com/Hendra Kurniawan
Jakarta (ANTARA) - Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) perlu memperbaiki komunikasi ke publik terkait kerja Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror, sehingga masyarakat tidak lagi punya pemahaman keliru mengenai pasukan tersebut, kata pengamat terorisme dan militer Khairul Fahmi.
“Kerja penindakan memang begitu, kalau tidak hati-hati, tidak cermat, tidak menghitung dampak sosialnya, itu tentu saja akan berpotensi menyebabkan adanya penafsiran, dipersepsi keliru oleh publik,” kata Khairul Fahmi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute For Security & Strategic Studies (ISSES), saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Khairul berpendapat kepolisian perlu membuat penyegaran di struktur maupun personel Densus 88 Antiteror demi menghindari kesan fobia atau benci terhadap agama tertentu sebagaimana yang dituduhkan sejumlah pihak terhadap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
“Saya melihat struktur Densus perlu direvisi, SOP (prosedur, Red.) perlu diperbaiki, karena bagaimanapun adanya perangkat penindakan yang memadai dalam memberantas terorisme masih diperlukan,” ujar Khairul Fahmi.
Ia menyampaikan penyegaran itu, terutama pada level pimpinan, akan memberi kesan kepada kelompok tertentu bahwa kerja Densus 88 tidak berlawanan dengan agama tertentu.
Jika perubahan itu terjadi, maka diharapkan ada kesan yang berubah serta komunikasi lebih terbuka, ia menambahkan.
Menurut Khairul Fahmi, tuduhan bahwa Densus 88 Islamofobia muncul sebab ada komunikasi yang kurang lancar antara kepolisian dengan para pemangku kepentingan, termasuk DPR RI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Saya menyarankan perlu ada pembenahan orang, penyegaran personel supaya penindakan yang dilakukan bisa lebih antisipatif terhadap dampak sosial yang muncul,” kata Direktur Eksekutif ISSES ini pula.
Dalam kesempatan itu, Khairul turut mengapresiasi kerja Densus 88 yang terus membaik.
“Sekarang ini sebenarnya sudah banyak perubahan perspektif dan pendekatan dalam pemberantasan terorisme. Pendekatan yang lebih lunak juga sudah mulai dikedepankan,” kata Khairul Fahmi.
“Selain penindakan, aspek-aspek pencegahan juga berjalan,” ujar dia.
Sejumlah tuduhan dan kritik terhadap Densus 88 Antiteror disampaikan oleh sejumlah politisi dan petinggi MUI minggu ini, setelah pasukan antiteror itu menangkap tersangka serta menyita 400 kotak amal yang diduga terkait dengan jaringan terorisme di Lampung.
Usai penangkapan itu, Anggota DPR RI Fadli Zon lewat akun Twitter pribadinya, Sabtu (6/11), mengunggah cuitan, “Densus 88 versus Kotak Amal. Islamofobia akut”.
Tidak hanya Fadli, Wakil Ketua MUI Anwar Abbas juga mempertanyakan penyitaan kotak amal itu. Anwar meminta Densus 88 turut menangani kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Baca juga: MUI Lampung dukung Densus 88 tangkap pelaku terorisme
Baca juga: Pengamat: Densus 88 bekerja sesuai undang-undang
“Kerja penindakan memang begitu, kalau tidak hati-hati, tidak cermat, tidak menghitung dampak sosialnya, itu tentu saja akan berpotensi menyebabkan adanya penafsiran, dipersepsi keliru oleh publik,” kata Khairul Fahmi yang saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif Institute For Security & Strategic Studies (ISSES), saat dihubungi di Jakarta, Minggu.
Khairul berpendapat kepolisian perlu membuat penyegaran di struktur maupun personel Densus 88 Antiteror demi menghindari kesan fobia atau benci terhadap agama tertentu sebagaimana yang dituduhkan sejumlah pihak terhadap Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
“Saya melihat struktur Densus perlu direvisi, SOP (prosedur, Red.) perlu diperbaiki, karena bagaimanapun adanya perangkat penindakan yang memadai dalam memberantas terorisme masih diperlukan,” ujar Khairul Fahmi.
Ia menyampaikan penyegaran itu, terutama pada level pimpinan, akan memberi kesan kepada kelompok tertentu bahwa kerja Densus 88 tidak berlawanan dengan agama tertentu.
Jika perubahan itu terjadi, maka diharapkan ada kesan yang berubah serta komunikasi lebih terbuka, ia menambahkan.
Menurut Khairul Fahmi, tuduhan bahwa Densus 88 Islamofobia muncul sebab ada komunikasi yang kurang lancar antara kepolisian dengan para pemangku kepentingan, termasuk DPR RI dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Saya menyarankan perlu ada pembenahan orang, penyegaran personel supaya penindakan yang dilakukan bisa lebih antisipatif terhadap dampak sosial yang muncul,” kata Direktur Eksekutif ISSES ini pula.
Dalam kesempatan itu, Khairul turut mengapresiasi kerja Densus 88 yang terus membaik.
“Sekarang ini sebenarnya sudah banyak perubahan perspektif dan pendekatan dalam pemberantasan terorisme. Pendekatan yang lebih lunak juga sudah mulai dikedepankan,” kata Khairul Fahmi.
“Selain penindakan, aspek-aspek pencegahan juga berjalan,” ujar dia.
Sejumlah tuduhan dan kritik terhadap Densus 88 Antiteror disampaikan oleh sejumlah politisi dan petinggi MUI minggu ini, setelah pasukan antiteror itu menangkap tersangka serta menyita 400 kotak amal yang diduga terkait dengan jaringan terorisme di Lampung.
Usai penangkapan itu, Anggota DPR RI Fadli Zon lewat akun Twitter pribadinya, Sabtu (6/11), mengunggah cuitan, “Densus 88 versus Kotak Amal. Islamofobia akut”.
Tidak hanya Fadli, Wakil Ketua MUI Anwar Abbas juga mempertanyakan penyitaan kotak amal itu. Anwar meminta Densus 88 turut menangani kelompok kriminal bersenjata di Papua.
Baca juga: MUI Lampung dukung Densus 88 tangkap pelaku terorisme
Baca juga: Pengamat: Densus 88 bekerja sesuai undang-undang
Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021
Tags: