Jakarta (ANTARA News) - Untuk melepaskan hukum dari "cengkaman" politik, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Erry Riyana Hardjapamengkas berpendapat bahwa sebaiknya memang penyimpangan dana partai politik dikategorikan ke dalam korupsi.

"Mungkin saja. Tapi tentu mereka berkeberatan karena tidak ada aturan yang mewajibkan hal itu (melaporkan pendanaan parpol kepada Komisi Pemberantasan Korupsi layaknya Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara)," kata Erry di Jakarta, Kamis.

Memungkinkan bagi seluruh partai politik (parpol) wajib melaporkan asal-usul dan pendanaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) apabila para legislator sependapat untuk membuat kebijakan yang pada akhirnya dapat membuat hukum di Indonesia benar-benar independen, ujar dia.

"Jadi jika memang para legislator sependapat (dengan kewajiban melaporkan pendanaan parpol), baik sekali bila penyimpangan pendanaan parpol dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi," lanjutnya.

Ia pun membenarkan bahwa melepaskan hukum dari "cengkraman" politik sangat penting, dan wajib bagi siapa saja secara bersama-sama untuk mengupayakan hal tersebut tersebut terjadi. Hal itu juga dapat menjadi upaya pencegahan tindak pidana korupsi.

Banyaknya kepada daerah terpillih yang terjerat kasus korupsi lebih karena mahalnya proses politik di Tanah Air. Hal tersebut yang sedikit demi sedikit ingin dirubah oleh KPK.

Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, dan UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu diatur tentang audit atas laporan keuangan partai politik. Ketentuan dalam Pasal 14 (1) UU Nomor 2 Tahun 1999 menyatakan bahwa "jumlah sumbangan dari setiap individu yang dapat diterima oleh parpol sebanyak-banyaknya adalah Rp15.000.000 dalam waktu satu tahun".

Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa "jumlah sumbangan dari setiap badan lainnya yang dapat diterima oleh partai politik sebanyak-banyaknya Rp150.000.000 dalam waktu satu tahun". Dan ayat (3) mengatur "sumbangan yang berupa barang dinilai menurut nilai pasar yang berlaku dan diperlukan sama dengan sumbangan yang berupa uang".

Lalu dipertegas pula dengan adanya keharusan parpol untuk memelihara data sumbangan yang diterimanya setiap tahun dan melaporkannya kepada Mahkamah Agung untuk kemudian diaudit oleh akuntan publik (Pasal 15 UU Nomor 2/1999 ayat (1) dan (2).

Sedangkan pasal 49 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 1999 yang mengatur tentang dana kampanye pemilu yang harus diaudit oleh akuntan publik, dan hasilnya dilaporkan oleh parpol peserta pemilu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), 15 hari sebelum hari pemungutan suara dan 25 hari sesudah hari pemungutan suara.

Bahkan telah diatur pula sanksi bagi parpol yang melanggar batas jumlah dana kampanye berupa sanksi administratif tidak boleh mengikuti pemilihan umum berikutnya. (V002/Z002/K004)