Peneliti: Bahasa asli daerah di Maluku terancam punah
3 November 2021 18:25 WIB
Dialog Interaktif "Bahasa dan Hukum: Bahasa Hukum dan Hukum Bahasa" digelar oleh Kantor Bahasa Provinsi Maluku sebagai upaya untuk perlindungan bahasa daerah dan mendorong penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik, Rabu (3/10/2021). ANTARA/Shariva Alaidrus.
Ambon (ANTARA) - Harlin Turiah, seorang peneliti bahasa, menyatakan beberapa bahasa daerah di Maluku terancam punah tergerus zaman akibat semakin sedikitnya jumlah penutur asli di kalangan muda, dan kurangnya upaya untuk pelestarian maupun revitalisasi.
"Beberapa bahasa daerah Maluku terancam punah. Ini seharusnya segera diantisipasi karena lama-lama bahasa yang seharusnya menjadi bagian dari kebudayaan menghilang begitu saja," kata Peneliti Bahasa dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Harlin Turiah di Ambon, Rabu.
Ia mengatakan dibandingkan dengan provinsi lainnya, terutama kawasan timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, bahasa asli daerah Maluku berada di urutan pertama yang terancam punah seiring perkembangan zaman.
Selain semakin sedikitnya jumlah penutur asli di kalangan muda, kurangnya upaya pemerintah dan masyarakat setempat untuk melestarikan dan melindungi bahasa mereka melalui pembelajaran sehari-hari menjadi faktor utama terhadap punahnya bahasa daerah.
Baca juga: Kantor Bahasa Provinsi Maluku: Lindungi bahasa daerah dari kepunahan
Baca juga: Rejang Lebong-Enggano, dua bahasa daerah di Bengkulu terancam punah
Harlin mencontohkan Bahasa Masarete dari Kabupaten Buru. Saat ini penutur asli bahasa tersebut hanya tersisa satu orang dan usianya sudah lebih dari 80 tahun. Jika pengetahuan berbahasa dan komunikasi Masarete dari penutur asli tidak segera ditransfer maka akan benar-benar punah, seperti halnya bahasa Lowon.
Bahasa Lowon dari Desa Latea, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, dinyatakan punah setelah satu-satunya penutur asli bahasa tersebut meninggal dunia dalam peristiwa bencana alam gempa bumi lima tahun lalu.
"Salah satu ancaman kebahasaan yang paling besar di Indonesia ada di Maluku, lebih cepat dibandingkan beberapa provinsi lain seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, karena tidak ada upaya untuk pelestarian maupun revitalisasi dari pemerintah dan masyarakat," kata dia.
Dikatakannya lagi, saat ini ada 62 bahasa asli daerah Maluku yang telah terdata di Peta Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di antaranya bahasa Alune, Ambalau, Asilulu, Balkewan, Banda, Barakay, Batulei, Bobar, Boing, Buru, Damar Timur dan Dawelor.
Kantor Bahasa Provinsi Maluku, setahun yang lalu, mengusulkan Bahasa Koa dengan penutur aslinya adalah Suku Mausu Ane di Kabupaten Maluku Tengah, Bahasa Emar dari Pulau Kesui dan Bahasa Taul dari Desa Atiahu, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur untuk menambah 62 bahasa daerah yang telah terdata.
Tahun ini, Kantor Bahasa Provinsi Maluku kembali mengusulkan dua bahasa lainnya kepada Kemendikbud, yakni Bahasa Teor dan Bati dari Kabupaten Seram Bagian Timur agar dimasukkan dalam Peta Bahasa.
"Sesama suku gunakanlah bahasa daerah, berbeda suku gunakan bahasa Indonesia, kalau berbeda negara maka gunakan bahasa asing. Penutur asli bertanggung jawab terhadap bahasa daerahnya jadi harus direvitalisasi dan dituturkan sehari-hari, baik secara formal maupun non formal di lembaga pendidikan atau di pertemuan adat," kata Harlin Turiah.*
Baca juga: Bahasa Pasan di Sulawesi Utara terancam punah
Baca juga: Penyelamatan bahasa Wolio juga tanamkan nilai luhur ke-Butonan
"Beberapa bahasa daerah Maluku terancam punah. Ini seharusnya segera diantisipasi karena lama-lama bahasa yang seharusnya menjadi bagian dari kebudayaan menghilang begitu saja," kata Peneliti Bahasa dari Kantor Bahasa Provinsi Maluku, Harlin Turiah di Ambon, Rabu.
Ia mengatakan dibandingkan dengan provinsi lainnya, terutama kawasan timur Indonesia seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, bahasa asli daerah Maluku berada di urutan pertama yang terancam punah seiring perkembangan zaman.
Selain semakin sedikitnya jumlah penutur asli di kalangan muda, kurangnya upaya pemerintah dan masyarakat setempat untuk melestarikan dan melindungi bahasa mereka melalui pembelajaran sehari-hari menjadi faktor utama terhadap punahnya bahasa daerah.
Baca juga: Kantor Bahasa Provinsi Maluku: Lindungi bahasa daerah dari kepunahan
Baca juga: Rejang Lebong-Enggano, dua bahasa daerah di Bengkulu terancam punah
Harlin mencontohkan Bahasa Masarete dari Kabupaten Buru. Saat ini penutur asli bahasa tersebut hanya tersisa satu orang dan usianya sudah lebih dari 80 tahun. Jika pengetahuan berbahasa dan komunikasi Masarete dari penutur asli tidak segera ditransfer maka akan benar-benar punah, seperti halnya bahasa Lowon.
Bahasa Lowon dari Desa Latea, Kecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, dinyatakan punah setelah satu-satunya penutur asli bahasa tersebut meninggal dunia dalam peristiwa bencana alam gempa bumi lima tahun lalu.
"Salah satu ancaman kebahasaan yang paling besar di Indonesia ada di Maluku, lebih cepat dibandingkan beberapa provinsi lain seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur, karena tidak ada upaya untuk pelestarian maupun revitalisasi dari pemerintah dan masyarakat," kata dia.
Dikatakannya lagi, saat ini ada 62 bahasa asli daerah Maluku yang telah terdata di Peta Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), di antaranya bahasa Alune, Ambalau, Asilulu, Balkewan, Banda, Barakay, Batulei, Bobar, Boing, Buru, Damar Timur dan Dawelor.
Kantor Bahasa Provinsi Maluku, setahun yang lalu, mengusulkan Bahasa Koa dengan penutur aslinya adalah Suku Mausu Ane di Kabupaten Maluku Tengah, Bahasa Emar dari Pulau Kesui dan Bahasa Taul dari Desa Atiahu, Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur untuk menambah 62 bahasa daerah yang telah terdata.
Tahun ini, Kantor Bahasa Provinsi Maluku kembali mengusulkan dua bahasa lainnya kepada Kemendikbud, yakni Bahasa Teor dan Bati dari Kabupaten Seram Bagian Timur agar dimasukkan dalam Peta Bahasa.
"Sesama suku gunakanlah bahasa daerah, berbeda suku gunakan bahasa Indonesia, kalau berbeda negara maka gunakan bahasa asing. Penutur asli bertanggung jawab terhadap bahasa daerahnya jadi harus direvitalisasi dan dituturkan sehari-hari, baik secara formal maupun non formal di lembaga pendidikan atau di pertemuan adat," kata Harlin Turiah.*
Baca juga: Bahasa Pasan di Sulawesi Utara terancam punah
Baca juga: Penyelamatan bahasa Wolio juga tanamkan nilai luhur ke-Butonan
Pewarta: Shariva Alaidrus
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2021
Tags: