Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Aditya Alta menyatakan bahwa langkah relaksasi hambatan perdagangan beras perlu dilakukan untuk memenuhi konsumsi beras di tengah masyarakat yang terus meningkat.
"Mengurangi hambatan perdagangan akan menjadi salah satu solusi untuk menurunkan harga di saat kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi, karena beras dari luar negeri lebih murah dan membuka kompetisi antar-importir," kata Aditya Alta dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, tingginya harga beras salah satunya diperburuk oleh tarif impor sebesar Rp450 per kilogram untuk semua jenis beras dan pembatasan kuantitatif bagi beras.
Selanjutnya, Undang-Undang Pangan Nomor 18/2012 memprioritaskan pengembangan produksi tanaman pangan domestik dan memuat larangan impor jika produksi dalam negeri cukup untuk memenuhi permintaan.
Dengan demikian, lanjutnya, impor hanya dapat dilakukan ketika permintaan domestik melebihi penawaran terbatas.
Ia berpendapat bahwa impor beras juga dihadapkan pada proses yang panjang, yang hanya dapat dilakukan setelah kesepakatan dicapai dalam rapat koordinasi antara beberapa kementerian.
Ia mengemukakan, Indonesia adalah salah satu konsumen beras terbesar di dunia dengan konsumsi beras nasional per kapita pada 2017 sebesar 97,6 kilogram dan diperkirakan meningkat 1,5 persen per tahun menjadi 99,08 kilogram per kapita pada tahun 2025. Peningkatan ini terjadi seiring dengan laju pertambahan penduduk. Jumlah penduduk Indonesia tercatat 264 juta orang pada 2018, meningkat sebesar 1,27 persen dari 2017.
"Memastikan ketersediaan dan keterjangkauan beras sangat penting untuk memenuhi kebutuhan populasi yang terus bertambah," ucapnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin berharap pemerintah berkomitmen untuk tidak melakukan impor beras, seiring dengan tersedianya stok beras dalam negeri yang disebut Kementerian Pertanian (Kementan) cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.
“Saya menaruh harapan besar kepada Kementan khususnya, meskipun anggarannya telah berkurang lebih setengah dibanding dari tahun 2015 silam, namun begitu strategisnya sektor ini, menjadi harapan bangsa ini seiring dengan kemampuan negara kita yang memiliki potensi besar sebagai penghasil pangan untuk seluruh masyarakat Indonesia," kata Akmal dalam siaran pers di Jakarta, Rabu (13/10).
Data Kementan menyebutkan ketahanan pangan di Indonesia meningkat selama pandemi, hingga ekspor beras meningkat 15,4 persen pada 2020, dan diperkirakan berlanjut pada 2021.
Akmal mengingatkan pemerintah agar berkomitmen tidak impor beras hingga dua tahun, karena pemerintah sendiri yang mengklaim ketersediaan pangan cukup dan solid untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Akmal mengatakan pemerintah perlu mengevaluasi tahun 2021 ini masih ada importasi beras yang terjadi, meski tidak dilakukan oleh Perum Bulog.
Baca juga: Bulog koordinasi dengan BKKBN siapkan pangan bergizi atasi stunting
Baca juga: Bulog akan bangun silo dan dryer di Sukabumi serap gabah petani
Baca juga: BUMN klaster pangan lakukan ekspor beras ke Arab Saudi
Peneliti: Relaksasi perdagangan upaya penuhi konsumsi beras masyarakat
3 November 2021 17:07 WIB
Tumpukan beras di gudang Bulog Divre Maluku di Ambon. ANTARA/John Soplanit.
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2021
Tags: