Bali (ANTARA) - Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan pemerintah masih mendalami teknis tarif pajak untuk harta yang dilaporkan wajib pajak (WP) pada program Pengungkapan Sukarela Pajak (PSP), termasuk untuk harta repatriasi yang diinvestasikan.

"Untuk harta yang direpatriasi dan diinvestasikan, instrumen fasilitasnya sedang kita atur, bentuk seperti apa yang paling tepat. Ini sedang dalam proses pencarian, termasuk dengan kementerian dan lembaga lain terkait harta yang dihilirisasi," kata Yon dalam Media Gathering di Bali, Rabu.

Ia mengatakan pemerintah sedang mencari subsektor industri pengolahan dan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) apa saja yang dapat dimanfaatkan WP untuk mendapat fasilitas.

Sebagaimana diketahui, dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah mengatur bahwa WP OP yang mengikuti program SPS mulai 1 Januari 2022 berpotensi mendapatkan tarif terendah apabila WP tersebut merepatriasi hartanya dan menginvestasikannya ke dalam Surat Berharga Negara (SBN), sektor pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dan EBT.

Untuk investasi SBN, WP setidaknya mesti menginvestasikan harta yang direpatriasi tersebut selama lima tahun.

Dalam kesempatan yang sama, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo kembali menekankan bahwa program SPS tidak sama dengan tax amnesty atau pengampunan pajak yang dilaksanakan pada 2016 lalu. Dalam program kali ini, pemerintah sebetulnya telah memiliki data terkait siapa saja WP yang belum melaporkan hartanya dengan benar.

"Jadi WP yang akan ikut program ini adalah WP yang betul-betul ingin patuh karena cepat atau lambat akan diuji validitas dan kebenaran pelaporannya. Pasalnya, saat ini pemerintah telah memiliki akses kepada informasi (harta WP)," kata Prastowo.

Di samping itu, tarif bagi harta yang dilaporkan pada program SPS lebih rendah dari tarif pada program tax amnesty 2016. Pada tax amnesty, tarif bagi harta yang dilaporkan mencapai sebesar 30 persen, sementara tarif terbesar pada program PSP hanya 18 persen untuk harta WP OP di luar negeri yang belum mengikuti Tax Amnesty 2016.

"Dikasih tarif rendah karena keadaannya COVID-19. Kalau mereka dipaksa bayar 30 persen tentu berat di tengah kondisi ini," terangnya.

Pemerintah menurutnya, akan mengambil tindakan hukum bagi WP OP yang tidak patuh dan tidak mengikuti program SPS. Ia optimis program ini akan membuat penerimaan lebih baik, optimal, dan berkelanjutan.

Baca juga: Indef: Masyarakat di media sosial sambut baik tarif PPh berkeadilan
Baca juga: Apindo sarankan pelaku usaha segera ikut Program Pelaporan Sukarela
Baca juga: Dirjen Pajak: Program Pengungkapan Sukarela berbeda dengan Tax Amnesty