Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Ahli ekonomi makro dari Universitas Harvard, Jeffrey Frankel, mengingatkan kemungkinan siklus krisis ekonomi global tiap 15 tahun.

"Implikasi krisis ini terutama melanda pasar-pasar bertumbuh pada 2012 nanti," katanya saat berbicara pada "Coping With Asia`s Large Capital Inflows In a Multi-speed Global Economy" di Nusa Dua, Bali, Jumat.

Forum para akademisi dan peletak kebijakan negara dan bank sentral di Kawasan Asia-Pasifik itu diprakarsai International Monetary Fund, Bank Indonesia, dan BPKM.

Kajian Frankel tentang krisis ekonomi global akibat aliran modal internasional terjadi sebanyak tiga kali, pertama pada 1975-1981 saat "anugerah" produksi minyak dunia berujung pada krisis keuangan dunia. Produk akhirnya terjadi pada 1982 berujung pada "generasi yang hilang" di Amerika Latin pada 1982-1989.

Siklus kedua terjadi akibat ledakan pasar-pasar bertumbuh pada 1990-1996. Indonesia dan Thailand menderita keguncangan besar politik dan ekonomi akibat krisis moneter yang juga disebabkan kebijakan salah IMF tentang cara penanganan beban hutang luar negeri Indonesia.

Pada siklus kedua ini, negara Amerika Latin, yaitu Brazil dan Argentina, bersama Turki dan Russia juga mengalami akibat lanjutan krisis moneter pada 1998-2002.

Yang terakhir pada 2003-2008 yang menunda krisis keuangan global pasca periode itu, yaitu pada 2008-2009. Siklus ketiga ini bisa dianggap berujung pada kelahiran siklus keempat pada 2010-2011.

"Akan tetapi waktu berubah. Sekarang banyak negara berkembang yang telah mengungguli perekonomian negara maju. Pada resesi 2008-2009, China, Indonesia, India tetap memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik, demikian juga posisi fiskal mereka," katanya.

Terlebih itu, posisi tabungan dana swasta negara-negara pasar bertumbuh juga semakin mantap yang disempurnakan dengan kebijakan fiskal dengan lebih mengeyampingkan mekanisme prosiklik.

Hasilnya, pemeringkatan kredit negara-negara pasar bertumbuh itu semakin baik. Singapura, China, Korea Selatan, Malaysia, dan India memiliki peringkat di atas Belgia, Jepang, Portugal, Irlandia, dan Yunani.

Masalah yang kemudian timbul akibat siklus dan pergerakan modal ini, katanya, adalah bagaimana bank-bank sentral mengelolanya. "Apakah melalui kendali modal, intervensi bank sentral, atau sterilisasi. Sedangkan bagi pemerintah tiap negara adalah apakah melalui kebijakan fiskal atau komoditas pertanian," katanya.

Khusus untuk bank-bank sentral, kendali modal bisa diterapkan jika terjadi kebijakan penalti harga yang lebih moderat ketimbang pelarangan semata. "Akan lebih baik jika itu dirancang untuk mengubah komposisi modal masuk selain untuk kepentingan jangka pendek, atau pinjaman bank," katanya.

(ANTARA/S026)