Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, hubungan antara pers dan kekuasaan tidak harus dilihat dalam konteks saling menakuti.

Presiden saat menyampaikan sambutan dalam acara ulang tahun ke-40 Majalah Tempo, Rabu malam, menyatakan, kekuasaan memang harus berjalan dalam mekanisme kontrol oleh pihak lain.

Berikut pidato presiden selengkapnya, seperti dimuat dalam laman remsi www.presidenri.go.id:

Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Salam sejahtera untuk kita semua,
Mas Goenawan Mohamad, Bung Bambang Harimurti dan keluarga besar Tempo yang saya cintai,
Hadirin sekalian yang saya hormati.

Alhamdulillah, malam hari ini kita dapat bersama-sama berbagi rasa syukur dan ikut berbahagia bersama-sama keluarga besar Tempo dalam memperingati Hari Ulang Tahun Tempo yang ke-40. Saya ingin memulai sambutan singkat saya ini dengan mengucapkan selamat berulang tahun kepada keluarga besar Tempo. Semoga Tempo semakin berjaya di masa depan.

Kita mengetahui bahwa perjalanan Tempo adalah perjalanan yang panjang, penuh dengan pasang surut seiring dengan dinamika dan pasang surut kehidupan politik dan demokrasi di negeri ini. Oleh karena itu, saya percaya bahwa Tempo pada usianya yang ke-40 tahun ini bisa melakukan refleksi dan kontemplasi dan yang bisa melakukan hanya Tempo karena Tempo-lah yang ketika mendirikan media ini memiliki cita-cita, idealisme, dan nilai-nilai yang hendak dijunjung tinggi dan dikembangkan. Tentu Tempo akan terus melakukan refleksi dalam perjalanan sejarahnya.

Hadirin yang saya hormati.

Saya berjanji tidak ingin membicarakan yang itu-itu, artinya yang sudah banyak diketahui oleh orang dan setiap ada hajat media massa, Hari Pers Nasional selalu dibicarakan, misalnya tentang freedom of the press, the responsibility of the press, kode etik jurnalisme, pemberitaan yang balance, cover both sides dan sebagainya. Kita sudah tahu dan tentunya itu menjadi bagian dalam kehidupan pers dan menjadi bagian dalam demokrasi sekarang ini. Saya juga tidak berniat untuk menggurui Tempo, karena Tempo sudah menjadi guru tersendiri dalam pasang surut dan romantika kehidupan pers di negeri tercinta ini.

Yang ingin saya sampaikan adalah satu topik yang menurut saya akan tetap relevan dan ini bagus kalau saya sampaikan pada kesempatan reflektif malam hari ini, yaitu hubungan pers dengan kekuasaan. Orang tahu bahwa hubungan antara yang memiliki otoritas dengan pers itu adalah hate and love relation. Juga sering dimaknai, terutama di banyak keadaan siapa yang lebih kuat, apakah pers atau yang memegang kekuasaan, siapa yang lebih powerful. Tentu berbeda-beda di sebuah negara yang sangat otoritarian, dengan yang semi otoritarian, dengan yang betul-betul demokratis.

Dulu pers takut kepada penguasa. Saya tidak tahu barangkali sekarang penguasa takut kepada pers. Tetapi masalahnya apakah hubungan antara pers dengan kekuasaan itu dibangun atas dasar ketakutan, siapa takut kepada siapa. Tentu saja bukan itu power relation yang harus kita maknai dalam demokrasi yang tengah mekar di negeri ini.

Beberapa saat yang lalu di Kupang dalam Hari Pers Nasional, saya juga memberikan sambutan. Saya ingin mengulangi secara singkat dalam suasana yang lebih santai ini tentang the concept of power. Paling tidak ada tiga pertanyaan penting yang harus kita jawab dengan jernih. Pertama, siapa power holder dalam demokrasi? Jawabannya sangat mudah, yang memegang kekuasaan, yaitu pimpinan dan segenap jajaran eksekutif, juga legislatif, juga yudikatif, juga pers, juga NGO dan banyak tempat yang dalam alam demokrasi mereka semua sesungguhnya adalah power holders.

Pertanyaan kedua, bagaimana power itu digunakan? Ini berkaitan dengan the exercise of power dalam politik, dalam demokrasi. Tentu mudah digambarkan bahwa kekuasaan itu akan digunakan sesuai dengan X atau aturan atau undang-undang dan rules yang berlaku.

Sedangkan pertanyaan yang ketiga adalah bagaimana agar tidak ada abuse of power? Ini tetap relevan sepanjang masa di negara mana pun, termasuk di negeri kita, yang sekali lagi, demokrasi kita makin hidup dan berkembang.

Menjawab tiga pertanyaan kritis ini, barangkali kita diingatkan sebuah teori lama yang bisa kita maknai secara lebih longgar, in a wider context kembali kepada prinsip checks and balances. Kita tahu power should not go unchecked, power must be checked by another power. Yang kedua, kita juga pernah mendengar ada satu norma, boleh disebut etika, boleh disebut aturan dalam hal seperti itu atau untuk apa power itu digunakan, siapa pun yang memegang power itu. Pertama-tama, sering disebut ada obligasi, there is an obligation bagi power holder untuk menggunakan power-nya itu untuk kebaikan tentunya.

Yang kedua, ada prinsip necessity. Power itu digunakan tentu untuk sebuah keperluan, bukan asal-asalan, tidak untuk main-main. Kemudian yang ketiga adalah yang disebut dengan teori kepatutan atau proportionality. Konon kata orang bijak, kalau kita semua, termasuk saya yang juga memiliki power, kekuasaan ini, memegang teguh tiga prinsip itu, konon hampir tidak ada konflik apa pun dalam diri kita, dalam menggunakan kekuasaan itu.

Paling tidak hadirin sekalian, teman-teman, itulah pikiran dan pandangan saya tentang the concept of power, tentang power relation antara yang memegang otoritas dengan pers.

Saya bersyukur sebagai presiden dengan telah dilakukan perubahan atas undang-undang dasar kita, empat kali perubahan karena sekarang ini kekuasaan presiden tidak sangat kuat. Sehingga insya Allah bagi presiden siapa pun tidak akan tergoda untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan karena di samping kekuasaan itu sendiri sudah menjadi ramping, banyak yang dilucuti dalam era reformasi dengan tujuan yang baik untuk sebuah checks and balances.

Maka kontrol terhadap kekuasan yang ada itu pun sangat tetap dalam tanda kutip, agar sekali lagi, tidak ada abuse of power. Kita tahu power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely. Tentu ini pesan bijak yang saya akan terus ingat dan semua presiden-presiden yang akan datang pun tentu akan ingat dan hakekatnya juga siapa pun yang memegang kekuasaan.

Meskipun dalam keseharian saya, saya kerap menerima SMS, telpon, orang berbicara langsung, mengirim surat, yang saya pahami masih memiliki mindset yang lama. Dalam pikiran beliau, para sahabat itu, meskipun niatnya baik, dipikirkan presiden itu bisa melakukan apa saja. Ini mendasar dan tentu bapak presiden tidak bisa melakukan apa saja. Ini juga berlaku bagi semua power holders, pemegang kekuasaan karena kita, kita semua juga tidak bisa melakukan apa saja. Dan di sinilah indahnya self control untuk kita semua, agar semua itu bisa digunakan untuk kebaikan kita semua, kebajikan bangsa dan negara yang kita cintai ini.

Begitulah refleksi singkat dari saya. Selamat sekali lagi, Tempo, semoga Tempo terus mengisi ruang demokrasi, makin hidup, makin kritis, makin berjaya.

Sekian.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.(*)

(F008*A017/S025)