Hari Burung Migrasi Sedunia, KEHATI dan Burung Indonesia amati raptor
30 Oktober 2021 13:33 WIB
Kegiatan mengamati burung pemangsa dalam rangka Hari Burung Migrasi Sedunia di bulan Oktober yang dilakukan Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI bersama Burung Indonesia di Puncak, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (30/10/2021). ANTARA/HO-Yayasan KEHATI.
Jakarta (ANTARA) - Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI bersama Burung Indonesia merayakan Hari Burung Migrasi Sedunia dengan mengamati jenis burung pemangsa atau raptor yang bermigrasi melintasi kawasan Puncak, Bogor, Jawa Barat.
“Pengamatan burung pemangsa ini sangat penting. Selain sebagai penyeimbang populasi satwa lain, mereka juga dapat dijadikan indikator kondisi alam yang menjadi daerah singgahan atau tujuan dari migrasinya. Data-data hasil pengamatan akan menjadi penguat analisis bagi tindakan konservasi yang akan dilakukan pihak-pihak terkait,” kata Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI Rika Anggraini dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Setiap bulan Mei dan Oktober warga dunia memperingati Hari Burung Migrasi Sedunia. Peringatan itu menjadi penting, bukan hanya untuk mengenal keaneragaman burung, namun juga sebagai indikator kondisi alam yang menjadi habitat satwa terbang tersebut.
Hal itu, kata Rika, semakin dikuatkan dengan tema tahun ini, yaitu "Nyanyikan, Terbang, Menjulang-seperti Burung!" (Sing, Fly, Soar-Like A Bird!) di mana warga dunia diharapkan dapat meyuarakan aspirasi mereka untuk kelestarian burung migrasi dan habitat tempat mereka tinggal.
Berbeda dengan pengamatan sebelumnya, di Bulan Mei yang mengamati burung air, di Bulan Oktober ini Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI bersama Burung Indonesia mengamati jenis burung pemangsa yang bermigrasi melintasi kawasan Puncak Bogor. Ia mengatakan, mengamati satwa migrasi yang berada di puncak piramida makanan itu memang selalu menarik, terutama hubungannya dengan kondisi dan kelestarian alam dan dampak yang bisa diberikan.
Sayangnya, kata dia, burung pemangsa itu memiliki keterancaman yang tinggi ketika bermigrasi, termasuk di wilayah Indonesia. Dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan dan lahan menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat dan sumber pakan mereka, selain juga adanya perburuan liar.
Menurut dia, hal pertama-tama yang bisa dilakukan masyarakat untuk ikut menyuarakan perlindungan adalah dengan melakukan pengamatan burung migran. Selain menyenangkan, melalui pengamatan bisa disisipkan edukasi tentang burung migran itu sendiri, termasuk burung pemangsa.
Beberapa fakta unik yang bisa diambil terkait burung migran pemangsa itu, ia mengatakan, antara lain, penantang maut dengan melakukan perjalanan dari Bumi utara ke belahan Bumi selatan, pengatur strategi yang brilian dengan mengetahui kapan mereka harus bermigrasi dengan mendeteksi perubahan suhu di daerah asalnya, terbang bagai pesawat canggih dengan kemampuan navigasi dan memori spasial yang kompleks.
Peneliti burung Gustav Kramer pada 1950 menyatakan agar dapat tiba di lokasi migrasi, selain mengandalkan orientasi arah, burung migrasi memiliki navigasi lainnya serupa kompas matahari. Dengan kemampuan navigasi itu, burung-burung migran dapat mengurangi risiko kehilangan arah dengan memperhitungkan pergerakan matahari.
Untuk menghemat energi, kata Rika, burung pemangsa menggunakan teknik terbang yang menakjubkan, menggunakan teknik soaring, mereka memanfaatkan arus panas Bumi sehingga mereka tidak harus mengepakkan sayap. Mereka juga memanfaatkan pantulan angin (slope soaring) dari lembah atau permukaan yang miring untuk meluncur.
Teknik itu juga yang dimanfaatkan manusia di industri penerbangan. Dengan mengetahui fakta tentang burung pemangsa migran itu, diharapkan masyarakat, terutama generasi muda, dapat semakin peduli dan terlibat dalam pelestarian burung yang berada di Indonesia.
“Pengamatan burung pemangsa ini sangat penting. Selain sebagai penyeimbang populasi satwa lain, mereka juga dapat dijadikan indikator kondisi alam yang menjadi daerah singgahan atau tujuan dari migrasinya. Data-data hasil pengamatan akan menjadi penguat analisis bagi tindakan konservasi yang akan dilakukan pihak-pihak terkait,” kata Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI Rika Anggraini dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Setiap bulan Mei dan Oktober warga dunia memperingati Hari Burung Migrasi Sedunia. Peringatan itu menjadi penting, bukan hanya untuk mengenal keaneragaman burung, namun juga sebagai indikator kondisi alam yang menjadi habitat satwa terbang tersebut.
Hal itu, kata Rika, semakin dikuatkan dengan tema tahun ini, yaitu "Nyanyikan, Terbang, Menjulang-seperti Burung!" (Sing, Fly, Soar-Like A Bird!) di mana warga dunia diharapkan dapat meyuarakan aspirasi mereka untuk kelestarian burung migrasi dan habitat tempat mereka tinggal.
Berbeda dengan pengamatan sebelumnya, di Bulan Mei yang mengamati burung air, di Bulan Oktober ini Biodiversity Warriors Yayasan KEHATI bersama Burung Indonesia mengamati jenis burung pemangsa yang bermigrasi melintasi kawasan Puncak Bogor. Ia mengatakan, mengamati satwa migrasi yang berada di puncak piramida makanan itu memang selalu menarik, terutama hubungannya dengan kondisi dan kelestarian alam dan dampak yang bisa diberikan.
Sayangnya, kata dia, burung pemangsa itu memiliki keterancaman yang tinggi ketika bermigrasi, termasuk di wilayah Indonesia. Dampak perubahan iklim, deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan dan lahan menyebabkan rusak dan berkurangnya habitat dan sumber pakan mereka, selain juga adanya perburuan liar.
Menurut dia, hal pertama-tama yang bisa dilakukan masyarakat untuk ikut menyuarakan perlindungan adalah dengan melakukan pengamatan burung migran. Selain menyenangkan, melalui pengamatan bisa disisipkan edukasi tentang burung migran itu sendiri, termasuk burung pemangsa.
Beberapa fakta unik yang bisa diambil terkait burung migran pemangsa itu, ia mengatakan, antara lain, penantang maut dengan melakukan perjalanan dari Bumi utara ke belahan Bumi selatan, pengatur strategi yang brilian dengan mengetahui kapan mereka harus bermigrasi dengan mendeteksi perubahan suhu di daerah asalnya, terbang bagai pesawat canggih dengan kemampuan navigasi dan memori spasial yang kompleks.
Peneliti burung Gustav Kramer pada 1950 menyatakan agar dapat tiba di lokasi migrasi, selain mengandalkan orientasi arah, burung migrasi memiliki navigasi lainnya serupa kompas matahari. Dengan kemampuan navigasi itu, burung-burung migran dapat mengurangi risiko kehilangan arah dengan memperhitungkan pergerakan matahari.
Untuk menghemat energi, kata Rika, burung pemangsa menggunakan teknik terbang yang menakjubkan, menggunakan teknik soaring, mereka memanfaatkan arus panas Bumi sehingga mereka tidak harus mengepakkan sayap. Mereka juga memanfaatkan pantulan angin (slope soaring) dari lembah atau permukaan yang miring untuk meluncur.
Teknik itu juga yang dimanfaatkan manusia di industri penerbangan. Dengan mengetahui fakta tentang burung pemangsa migran itu, diharapkan masyarakat, terutama generasi muda, dapat semakin peduli dan terlibat dalam pelestarian burung yang berada di Indonesia.
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: