Kuala Lumpur (ANTARA) - Seorang pekerja migran Indonesia (PMI) yang bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Malaysia mengaku tidak digaji oleh majikannya selama 12 tahun dan malah dituntut ganti rugi RM500 (Rp1,7 juta) karena melarikan diri.

Ketika ditemui di Kuala Lumpur pada Jumat, wanita asal Malang berinisial SB (43 tahun) itu mengaku mulai bekerja di Malaysia sejak 2009 di sebuah keluarga warga Malaysia. Majikannya disebutnya bukan warga sembarangan karena menyandang gelar terhormat.

SB mengatakan selama 12 tahun bekerja di keluarga itu, dirinya hanya sekali mengirimkan uang ke Indonesia senilai RM300.

"Pada awal bekerja, majikan menjanjikan gaji per bulan RM500. Namun setiap kali saya meminta gajinya, selalu ditolak dengan alasan takut hilang," kata dia.

SB juga mengaku dilarang berkomunikasi dengan keluarganya di Malang. Dia pernah dimarahi majikannya karena ketahuan mencoba menghubungi keluarganya dengan meminjam telepon genggam milik seorang rekan PMI yang bekerja di tempat yang sama.

SB dan rekannya melarikan diri dari rumah majikan mereka untuk meminta perlindungan Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur pada Februari 2021.

Karena melarikan diri tanpa memberitahu majikannya, SB dituntut untuk membayar ganti rugi sebesar RM500.

Dubes RI untuk Malaysia, Hermono, menunjukkan kegeramannya setelah mengetahui ada PMI yang dituntut RM500 karena meminta perlindungan ke KBRI sementara majikannya tidak membayar gaji selama 12 tahun.

"Ini di luar nalar manusia beradab. SB melarikan diri dari karena haknya sebagai ART tidak dipenuhi oleh majikan selama bertahun-tahun," ujar Hermono.

KBRI Kuala Lumpur telah mencoba melakukan mediasi namun ditolak oleh majikan yang meminta kasus ini diselesaikan melalui pejabat tenaga kerja.

KBRI menolak permintaan itu karena akan dinilai akan merugikan SB.

Sesuai UU Kadaluarsa Malaysia (Akta Had Masa 1953), pembayaran tuntutan ganti rugi tidak boleh melebihi masa enam tahun.

Artinya, kalau diselesaikan melalui Dinas Ketenagakerjaan Malaysia, SB hanya akan mendapatkan hak gajinya maksimal enam tahun masa kerja, sementara sisanya tidak dapat dibayarkan.

KBRI memilih penyelesaian melalui pengadilan perdata dan telah menyewa pengacara untuk memperjuangkan hak-hak SB.

Hermono mengatakan dalam kurun waktu satu tahun sejak menjabat sebagai duta besar di Kuala Lumpur, dia banyak menjumpai kasus pelanggaran terhadap hak-hak PMI, khususnya yang bekerja sebagai ART.

Selain kasus gaji tidak dibayar bertahun-tahun, larangan berkomunikasi dan kekerasan fisik adalah kasus yang paling banyak dialami oleh PMI yang bekerja di sektor rumah tangga.

Selama tahun ini saja, KBRI Kuala Lumpur berhasil memperjuangkan gaji PMI senilai total sekitar Rp4,75 miliar.

Hermono ini mengharapkan Nota Kesepahaman tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Sektor Domestik yang telah dinegosiasikan pemerintah Indonesia dan Malaysia sejak 2016 dapat segera diselesaikan.

"Kami meminta adanya jaminan perlindungan dan mekanisme penyelesaian kasus yang efektif terhadap pelanggaran seperti ini. Tanpa adanya jaminan perlindungan yang memadai, pengiriman PMI sektor domestik ke Malaysia, saya kira perlu dikaji ulang," kata Hermono.