Pelayanan komprehensif pasien stroke masih didominasi kota besar
28 Oktober 2021 15:35 WIB
Tangkapan layar dari sebaran fasilitas pelayanan pasien stroke di Indonesia yang dipaparkan Dokter spesialis saraf Dodik Tugasworo saat menyampaikan keterangan pers terkait Hari Stroke Sedunia yang diikuti dari YouTube Kemenkes RI di Jakarta, Kamis (27/10/2021). (ANTARA/Andi Firdaus)
Jakarta (ANTARA) - Dokter spesialis saraf Dodik Tugasworo mengatakan pelayanan komprehensif bagi pasien penderita stroke di Indonesia masih didominasi sejumlah rumah sakit swasta di kota besar.
"Pada 2020 tot rumah sakit yang melayani kelainan sistem saraf baik publik maupun swasta berjumlah total 292 unit dengan jumlah neurointervensi kurang dari 60 unit," kata Dodik Tugasworo saat menyampaikan keterangan pers terkait Hari Stroke Sedunia yang diikuti dari YouTube Kemenkes RI di Jakarta, Kamis.
Dodik mengatakan sebaran neurointervensi di Indonesia didominasi oleh DKI Jakarta sebanyak 14 unit fasilitas pelayanan kelainan sistem saraf, sementara provinsi lainnya kurang dari delapan fasilitas pelayanan.
Baca juga: Usia produktif diimbau waspadai serangan tiba-tiba berujung "madesu"
Dokter dari Rumah Sakit Columbia Asia Semarang itu mengatakan keterbatasan fasilitas pelayanan bagi pasien stroke salah satunya dipicu keterbatasan jumlah dokter spesialis neurologi di Tanah Air.
Dari total 271 juta lebih populasi di Indonesia, kata Dodik, jumlah dokter spesialis neurologi berkisar 2.500 orang, jumlah spesialis neurointervensi sekitar 60 orang dan 200 orang merupakan dokter spesialis bedah saraf.
"Neurolog itu satu berbanding 108 pasien, neurointervensi satu berbanding 4.500 pasien dan neurosurgeon satu berbanding 1.350 pasien," katanya.
Menurut data dari WHO pada tahun 2018, kata Dodik, kematian akibat stroke di Indonesia mencapai 252.473 jiwa atau 14,83 persen dari total angka kematian nasional.
"Angka kematian di Indonesia mencapai 147,19 per 100 ribu populasi. Penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Indonesia ditempatkan ranking ketujuh di seluruh dunia," katanya.
Menurut Dodik fasilitas pelayanan yang belum merata juga memicu fasilitas pencitraan (CT/MRI) di Indonesia jumlahnya masih terbatas. "Stroke adalah kematian sel otak, medulla spinalis dan retina yang disebabkan oleh iskemia maupun perdarahan, harus dibuktikan dengan pencitraan," katanya.
Keterlambatan deteksi dini stroke dapat memengaruhi upaya penanganan terhadap pasien sebab gejala yang timbul bisa semakin berat.
"Jika sumbatan tidak segera dibuka, setiap menit 1,9 juta sel saraf otak mati di area sumbatan, dan tidak ada pertumbuhan sel baru penggantinya," katanya.
Baca juga: Hoaks! Berdiri dengan satu kaki dapat deteksi stroke
Baca juga: Kenali gangguan irama jantung dan pentingnya pemantauan
"Pada 2020 tot rumah sakit yang melayani kelainan sistem saraf baik publik maupun swasta berjumlah total 292 unit dengan jumlah neurointervensi kurang dari 60 unit," kata Dodik Tugasworo saat menyampaikan keterangan pers terkait Hari Stroke Sedunia yang diikuti dari YouTube Kemenkes RI di Jakarta, Kamis.
Dodik mengatakan sebaran neurointervensi di Indonesia didominasi oleh DKI Jakarta sebanyak 14 unit fasilitas pelayanan kelainan sistem saraf, sementara provinsi lainnya kurang dari delapan fasilitas pelayanan.
Baca juga: Usia produktif diimbau waspadai serangan tiba-tiba berujung "madesu"
Dokter dari Rumah Sakit Columbia Asia Semarang itu mengatakan keterbatasan fasilitas pelayanan bagi pasien stroke salah satunya dipicu keterbatasan jumlah dokter spesialis neurologi di Tanah Air.
Dari total 271 juta lebih populasi di Indonesia, kata Dodik, jumlah dokter spesialis neurologi berkisar 2.500 orang, jumlah spesialis neurointervensi sekitar 60 orang dan 200 orang merupakan dokter spesialis bedah saraf.
"Neurolog itu satu berbanding 108 pasien, neurointervensi satu berbanding 4.500 pasien dan neurosurgeon satu berbanding 1.350 pasien," katanya.
Menurut data dari WHO pada tahun 2018, kata Dodik, kematian akibat stroke di Indonesia mencapai 252.473 jiwa atau 14,83 persen dari total angka kematian nasional.
"Angka kematian di Indonesia mencapai 147,19 per 100 ribu populasi. Penyebab kematian terbanyak di Indonesia. Indonesia ditempatkan ranking ketujuh di seluruh dunia," katanya.
Menurut Dodik fasilitas pelayanan yang belum merata juga memicu fasilitas pencitraan (CT/MRI) di Indonesia jumlahnya masih terbatas. "Stroke adalah kematian sel otak, medulla spinalis dan retina yang disebabkan oleh iskemia maupun perdarahan, harus dibuktikan dengan pencitraan," katanya.
Keterlambatan deteksi dini stroke dapat memengaruhi upaya penanganan terhadap pasien sebab gejala yang timbul bisa semakin berat.
"Jika sumbatan tidak segera dibuka, setiap menit 1,9 juta sel saraf otak mati di area sumbatan, dan tidak ada pertumbuhan sel baru penggantinya," katanya.
Baca juga: Hoaks! Berdiri dengan satu kaki dapat deteksi stroke
Baca juga: Kenali gangguan irama jantung dan pentingnya pemantauan
Pewarta: Andi Firdaus
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: