Medan (ANTARA News) - Seorang mahasiswa Universitas Sumatera Utara menerbitkan buku berjudul "Melawan Tirani Lokal" yang merupakan kumpulan tulisannya di beberapa media dan materi-materi yang disampaikannya pada berbagai seminar dan pelatihan.

"Saya hanya ingin terus membuat perubahan demi kemakmuran dan keadilan di sekeliling kita. Ide buku ini datang dari teman-teman agar pemikiran dan segala yang sudah saya ungkapkan terkait kemakmuran kita sebagai bangsa menjadi monumen yang dapat dilihat lagi di masa datang," ujar Ansor Harahap pada peluncuran dan bedah bukunya itu di Medan, Kamis.

Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sumut Prof Nur Ahmad Fadhil Lubis menanggapi buku itu mengatakan, perubahan sosial biasanya dipelopori pemuda dan kalangan pemuda yang paling menonjol adalah mahasiswa.

Oleh karenanya suara mahasiswa sangat strategis dan patut dicermati, terutama yang dapat diabadikan dengan berbagai cara, misalnya buku dan opini di media.

Ansor mampu menunjukkan konsistensinya sebagai pemuda sekaligus mahasiswa yang terus bersuara lantang mengkritik pemerintah maupun pihak-pihak yang melakukan penyimpangan melalui bukunya ini, ujarnya.

Ansor juga dinilai berhasil mengabadikan pemikirannya yang "terserak" di sejumlah media massa dan ruang-ruang diskusi menjadi sebuah monumen kokoh yang disebut buku.

"Buku kecil berjudul `Melawan Tirani Lokal` yang diterbitkan secara independen ini merupakan ungkapan salah satu figur gerakan mahasiswa kontemporer di daerah ini," katanya.

Dalam buku setebal 260 halaman itu, Ansor mengupas secara lugas dampak otonomi setengah hati dan "money politic" yang dirasakan sebagai dampak otonomi daerah dewasa ini bukan sesuatu yang berdiri sendiri.

Seorang kandidat bupati/wali kota, misalnya, harus menyiapkan dana hingga ratusan miliar rupiah untuk memenangkan pilkada, apalagi kalau berlangsung dua putaran. Apabila terpilih, maka setiap tahunnya dia harus menabung Rp30-50 miliar.

"Dari mana dapat uang itu. Sangat mudah ditebak, ileggal logging, menelantarkan lingkungan, konsesi tanah ulayat, hutan, penambangan, penyeludupan hingga `melelang` jabatan di kabupaten/kota," katanya.

Menurut Wakil Ketua DPRD Sumut HM Affan, dalam buku tersebut ada semangat pergerakan yang tinggi untuk sebuah kebangkitan daerah, serta suasana idealisme yang menyatu dengan kepribadian penulis.

"Buku ini bisa jadi referensi untuk melihat potret buram kedaerahan kita dan intrik-intrik lainnya dalam kehidupan berkebangsaan di tengah makin redupnya suara gerakan dan hiruk pikuk pragmatisme," katanya.

"Penulis buku ini harus terus bersuara seiring dengan gagasan intelektualnya," katanya.

Mantan Sekjen Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Ahmad Nasir Siregar mengatakan, buku itu menggambarkan bagaimana penulisnya mempunyai konsentrasi dan fokus pada satu hal, yakni kritis terhadap pembangunan daerah yang semakin jauh dari rasa keadilan.

"Inilah nilai plus dari seorang penulis yang juga pelaku langsung. Penulis berani mempertaruhkan idealismenya dengan memimpin pemuda-pemuda daerah untuk melawan tirani, baik tirani dari pihak penguasa maupun pengusaha yang sudah jauh dari cita-cita perwujudan kesejahteraan rakyat," katanya. (JRD/R014/K004)