Akademisi: Pembentuk hukum di RI jadi reprensentasi aspirasi
27 Oktober 2021 11:29 WIB
Tangkapan layar - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat saat menjadi narasumber dalam 'webinar' nasional bertema “Institusionalisasi Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional” yang diunggah di kanal YouTube FHUB Official, dipantau dari Jakarta, Rabu (27/10/2021) ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat mengatakan pembentuk hukum di Indonesia, seperti Presiden dan DPR sepatutnya menjadi representasi aspirasi sebagaimana perwujudan nilai sila ke-4 Pancasila, yaitu musyawarah.
"Di dalam proses pembentukan hukum, law maker (pembentuk hukum) di negeri kita, seperti Presiden dan DPR dalam konteks musyawarah sebagaimana diamanatkan nilai dasar Pancasila harus menjadi representasi aspirasi, bukan representasi kuasa," kata Atip Latipulhayat saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertema "Institusionalisasi Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional" yang diunggah di kanal YouTube FHUB Official, dipantau dari Jakarta, Rabu.
Menurutnya, di dalam Pancasila tidak ditemukan kata demokrasi, tetapi digunakan kata musyawarah yang tercantum dalam sila ke-4, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Oleh karena itu, musyawarah memiliki substansi aspirasi. Dengan demikian, sesuatu yang dimusyawarahkan digunakan bagi kepentingan mereka yang berada di luar pihak bermusyawarah.
Baca juga: BPIP rangkul MMTC Yogyakarta susun materi digital pembinaan Pancasila
Baca juga: BPIP imbau Purnapaskibraka bertoleransi jaga persatuan
"Mereka (pembentuk hukum) itu berbicara bukan atas namanya sendiri, tapi atas nama yang diwakili. Makanya, yang dituliskan dalam sila ke-4 adalah permusyawaratan garis miring perwakilan. Jadi itu, representasi aspirasi," ucap Atip menjelaskan.
Dengan begitu, lanjut Atip, aturan hukum atau undang-undang yang dibentuk di Indonesia tidak mencerminkan norma-norma kekuasaan, tetapi cerminan norma-norma kerakyatan agar dapat mencapai cita hukum Pancasila yang tepat.
Ia pun menyimpulkan pengamalan nilai musyawarah oleh para pembentuk hukum menjadikan hukum di Indonesia ini berwajah rakyat, bukan berwajah kuasa.
Atip juga mengatakan jika saat ini bangsa Indonesia merasa hukum yang ada didominasi oleh representasi kuasa, itu berarti ada masalah dalam pembentukannya.
Guru besar ilmu hukum ini menilai salah satu penyebab munculnya masalah tersebut adalah keberadaan interaksi representasi kuasa yang lebih dominan dibandingkan aspirasi rakyat yang diamanatkan oleh sila ke-4.
Atip menambahkan pelaksanaan musyawarah di Tanah Air sepatutnya menerapkan sistem perwakilan. Dengan demikian, para peserta musyawarah adalah para wakil terpilih karena tidak semua orang bisa bermusyawarah.
"Yang bermusyawarah itu ibaratnya mereka yang memiliki karakter lebah, pengumpul madu. Ia selalu berada di tempat yang baik, selalu membawa kebaikan, dan kebaikan itu tidak pernah digunakan untuk dirinya sendiri, tapi diberikan kepada yang lain, bahkan yang tidak berkontribusi sekalipun," tutur Atip.
Menurut dia gambaran tersebut merupakan pembentukan hukum yang tepat agar tercapai cita hukum Pancasila di Indonesia.
"Di dalam proses pembentukan hukum, law maker (pembentuk hukum) di negeri kita, seperti Presiden dan DPR dalam konteks musyawarah sebagaimana diamanatkan nilai dasar Pancasila harus menjadi representasi aspirasi, bukan representasi kuasa," kata Atip Latipulhayat saat menjadi narasumber dalam webinar nasional bertema "Institusionalisasi Pancasila dalam Sistem Hukum Nasional" yang diunggah di kanal YouTube FHUB Official, dipantau dari Jakarta, Rabu.
Menurutnya, di dalam Pancasila tidak ditemukan kata demokrasi, tetapi digunakan kata musyawarah yang tercantum dalam sila ke-4, yaitu "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan".
Oleh karena itu, musyawarah memiliki substansi aspirasi. Dengan demikian, sesuatu yang dimusyawarahkan digunakan bagi kepentingan mereka yang berada di luar pihak bermusyawarah.
Baca juga: BPIP rangkul MMTC Yogyakarta susun materi digital pembinaan Pancasila
Baca juga: BPIP imbau Purnapaskibraka bertoleransi jaga persatuan
"Mereka (pembentuk hukum) itu berbicara bukan atas namanya sendiri, tapi atas nama yang diwakili. Makanya, yang dituliskan dalam sila ke-4 adalah permusyawaratan garis miring perwakilan. Jadi itu, representasi aspirasi," ucap Atip menjelaskan.
Dengan begitu, lanjut Atip, aturan hukum atau undang-undang yang dibentuk di Indonesia tidak mencerminkan norma-norma kekuasaan, tetapi cerminan norma-norma kerakyatan agar dapat mencapai cita hukum Pancasila yang tepat.
Ia pun menyimpulkan pengamalan nilai musyawarah oleh para pembentuk hukum menjadikan hukum di Indonesia ini berwajah rakyat, bukan berwajah kuasa.
Atip juga mengatakan jika saat ini bangsa Indonesia merasa hukum yang ada didominasi oleh representasi kuasa, itu berarti ada masalah dalam pembentukannya.
Guru besar ilmu hukum ini menilai salah satu penyebab munculnya masalah tersebut adalah keberadaan interaksi representasi kuasa yang lebih dominan dibandingkan aspirasi rakyat yang diamanatkan oleh sila ke-4.
Atip menambahkan pelaksanaan musyawarah di Tanah Air sepatutnya menerapkan sistem perwakilan. Dengan demikian, para peserta musyawarah adalah para wakil terpilih karena tidak semua orang bisa bermusyawarah.
"Yang bermusyawarah itu ibaratnya mereka yang memiliki karakter lebah, pengumpul madu. Ia selalu berada di tempat yang baik, selalu membawa kebaikan, dan kebaikan itu tidak pernah digunakan untuk dirinya sendiri, tapi diberikan kepada yang lain, bahkan yang tidak berkontribusi sekalipun," tutur Atip.
Menurut dia gambaran tersebut merupakan pembentukan hukum yang tepat agar tercapai cita hukum Pancasila di Indonesia.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2021
Tags: