Jakarta (ANTARA News)- Jamuan santap malam dua pekan lalu itu (20/2) seharusnya dinikmati dengan santai, tanpa formalitas atau terburu-buru.
Waktu itu, Ketua bidang kebijakan luar negeri Uni Eropa Catherine Ashton mengundang para menteri luar negeri Uni Eropa ke Dewan Eropa di Brussels, Belgia, guna membincangkan revolusi Afrika Utara dan pertumpahan darah di Libya.
Tetapi seperti selalu terjadi sebelum ini, santap malam itu berubah menjadi perdebatan panas. Masalahnya apa lagi kalau bukan kerusuhan berantai di Afrika Utara dan Timur Tengah, tetangga Eropa di sebelah selatan.
Hanya beberapa saat setelah Lady Ashton selesai melaporkan hasil pembicaraannya di Kairo dan Tunis, Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini berbicara tentang Libya yang katanya sangat dia kenal.
Ia mengklaim diktator Moammar Gaddafi adalah satu-satunya penjamin stabilitas di negeri itu. Yang terpenting sekarang, katanya, adalah menjaga integritas wilayah negara itu. Yunani dan Malta mengiyakan pandangan Italia ini.
Ruangan megah itu lalu tenggelam dalam keheningan. Pejabat senior Kementrian Luar Negeri Jerman Werner Hoyer yang hadir menggantikan Guido Westerwelle, Menteri Luar Negeri Jerman, menjadi orang pertama yang menimpali usul Italia tersebut.
"Jika itu adalah posisi yang kita ambil, maka itu akan menjadi kesalahan dan pengkhianatan terbesar terhadap nilai-nilai fundamental kita," timpal Hoyer seperti dikutip Der Spiegel.
"Alih-alih mencemaskan Gaddafi, kita seharusnya bergembira ketika dia hengkang," tegasnya.
Selama beberapa dekade, Eropa memang memelihara sebarisan diktator di Afrika Utara demi menjaga stabilitas wilayah itu. Lalu, setelah revolusi merebak di mana-mana, Eropa tertantang untuk mempertahankan komitmennya terhadap nilai demokrasi dan kemanusiaan yang selama ini diagung-agungkannya.
Setengah Hati
Berminggu-minggu gerakan demokrasi di Afrika Utara telah menjungkalkan para diktator lalim. Pertama Ben Ali di Tunisia, lalu Hosni Mubarak di Mesir, kemudian Libya tampaknya tinggal menunggu waktu.
Namun sayang selama aksi itu berlangsung, negara-negara Eropa hanya berdiam diri.
Ketika rezim Gaddafi memerintahkan militernya membantai rakyat mereka sendiri, tanggapan para pemimpin Eropa, mulai Brussels, Berlin, Paris, sampai Roma, sama saja. Tidak jelas, terpecah, dan tanpa rencana.
Mereka bingung apakah harus mengirim pasukan atau menghukum Libya. Mereka menakutkan banjir pengungsi dari Libya. Mereka juga ragu mengintervensi Libya karena khawatir itu malah memicu Libya masuk dalam perang saudara berkepanjangan.
Kemudian terlontar ide menggelarkan operasi bantuan ala "Marshall Plan" yang dilakukan AS dulu pasca Perang Dunia II. Namun mereka bingung memikirkan cara membiayai rencana itu.
Kini enam minggu sejak demonstrasi besar di Tunisia pecah, negara-negara Eropa masih tetap saja bingung dan tanpa kesepakatan.
Inggris, Jerman, dan Prancis memang berhasil membawa pulang warganya dari Libya, tetapi Eropa bahkan tak bisa bersepakat mengenai pembekuan rekening bank milik keluarga Gaddafi.
Untuk menerapkan sanksi malu-malu kucing terhadap Gaddapi saja, Eropa harus menunggu sampai Jumat (25/2) ketika banyak tentara Libya memutuskan berpaling dari Gaddafi.
Kemudian langkah agak tepat mereka tempuh. Menteri Luar Negeri Italia Frattini misalnya, mengumumkan penangguhan kesepakatan persahabatan Itali dan Libya yang ditandatangani pada 2008. Kesepakatan itu termasuk klausul untuk tidak saling menyerang.
Keesokan harinya, Senin 28 Februari, Prancis mengirim dua pesawat berisi bantuan kesehatan ke Benghazi, salah satu kota yang dikuasai anti-Gaddafi. PM Prancis Francois Fillon menyebut langkah itu sebagai "awal dari operasi bantuan kemanusiaan untuk mereka yang berada di wilayah terbebaskan".
Selasa 1 Maret, setelah Dewan Keamanan PBB menggelar pertemuan, sikap Eropa terhadap Libya semakin mengkristal.
DK PBB, dengan suara bulat, memutuskan membekukan semua aset Gaddafi dan keluarganya, mencekal Gaddafi dan keluarganya, serta menyelidiki kemungkinan pelanggaran kemanusiaan oleh Gaddafi yang bisa diajukan ke Mahkamah Internasional.
Sayang, keputusan cepat itu menjadi sekedar bukti betapa Uni Eropa gagal menanggapi perubahan cepat di wilayah selatan mereka.
"Ini aneh karena kita bisa mencapai hasil cepat dalam Dewan Keamanan, justru bersama Rusia dan China, ketimbang ketika dalam Dewan Eropa," ketus Hoyer.
Demi Minyak
Reaksi canggung dari Eropa menghadapi perubahan cepat di Afrika Utara dan Timur Tengah ini beralasan karena selama beberapa dekade negara-negara Eropa terus memanjakan rezim-rezim despostis di Afrika Utara.
Mengapa begitu? Karena para diktator itu menjanjikan Eropa minyak, melindungi dari banjir pengungsi Afrika, dan mencegah infiltrasi terorisme ke Eropa.
Eropa canggung karena di satu sisi mereka menyaksikan kaum muda Afrika Utara merindukan demokrasi yang dijiwai nilai-nilai yang justru sama dengan yang dianut Eropa.
Tetapi di sisi lain mereka cemas karena pergolakan itu akan membangkitkan rezim baru yang bisa mengancam kepentingan ekonomi mereka. Dan sayangnya revolusi di Timur Tengah ini memang tengah menghantam kepentingan paling sensitif Eropa, yakni minyak.
Awalnya, ketika demonstrasi baru mengguncang Tunisia, harga minyak tidak terpengaruh karena negara ini memang bukan penghasil minyak. Pun begitu ketika revolusi merambat ke Mesir, karena Mesir juga bukan produsen minyak.
Namun manakala demonstrasi prodemokrasi merasuki rakyat Libya, harga minyak tak tertolong lagi, langsung bergolak!
Libya adalah eksportis minyak utama Eropa di luar Rusia dan sejak demonstrasi membakar negara itu produksi minyak negara ini berkurang setengahnya.
Arab Saudi terpaksa meningkatkan produksinya hingga setengah juta barel per hari demi menjaga stabilitas pasar.
Eropa dan Amerika Serikat sadar semakin lama pasokan minyak tidak menentu, semakin besar potensi kehancuran ekonomi dunia.
Padahal ekonomi AS masih limbung setelah dihantam krisis pada 2008. Pengangguran sampai menyentuh level sembilan persen dan pasar perumahan melesu.
Monarki Saudi
Perekonomian Eropa juga tidak lebih baik. Lihat saja Jerman. Menurunnya produksi minyak Libya membuat harga bahan bakar di negeri merangsek menjadi 1,57 euro per liter dari hanya 1,49 ero bulan lalu. Dan ini akan terus naik.
Yang menakutkan adalah jika demonstrasi prodemokrasi merambat ke Arab Saudi yang kaya minyak. Pengamat memperkirakan harga minyak akan mencapai tingkat tertinggi dalam sejarah.
"Jika Arab Saudi mulai bergolak, maka harga minyak 120 dolar per barel pun akan terlihat murah," kata Thorbjørn Bak Jensen dari Global Risk Management seperti dikutip majalah Slate.
Asal Anda tahu, sekarang saja harga minyak sudah 112 dolar dan itu benar-benar mencemaskan dunia.
Sayang, skenario Tunis, Kairo dan Benghazi sepertinya akan sampai juga di Saudi setelah para aktivis di negara itu berencana merayakan 'Hari Kemarahan' pada Jumat 11 Maret nanti.
Ironisnya, AS malah bersumpah untuk setia kepada Kerajaan Arab Saudi. "Washington tidak ingin monarki Arab Saudi jatuh," tekan Rachel Bronson seperti dikutip Washington Post (27/2).
Jadi jangan heran jika Eropa dan AS nanti lebih memilih mengorbankan demokrasi ketimbang kehilangan sumur minyak mereka. (*)
Muka Dua Barat dalam Revolusi Arab
Oleh LIberty Jemadu
3 Maret 2011 09:27 WIB
Sebuah tank tentara Libya yang diawaki tentara menentang pemimpin Muammar Gaddafi dikelilingi demonstran di kota Zawiya, Minggu (27/2). (FOTO ANTARA/REUTERS/Ahmed Jadallah)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2011
Tags: