Jakarta (ANTARA News) - Ngotot mengangkangi kekuasaan dengan mengatasnamakan "dicintai dan mencintai rakyat", pemimpin Libya Muamar Gaddafi memperlakukan cinta sebagai barang dagangan dan memerkosa kawula sebagai barang siap lego di pasar loak kekuasaan.
Cinta, di mata Gaddafi yang menjuluki diri sebagai "Kings of Kings", sebatas siapa yang menguasai dan siapa yang dikuasai. Ini virus cinta khas Gaddafi.
Pembacaannya, kalau cinta menghancurkan keterpisahan, maka Gaddafi menyingkapkan diri dan mengesankan diri sebagai sosok pecinta ulung rakyat setelah empat dasawarsa memerintah dan menguasai negerinya.
"Mereka semua mencintai aku. Semua rakyatku mendukung aku. Mereka semua mencintai aku. Mereka bersedia mati untuk melindungi aku," katanya dalam dalam satu wawancara dengan media Barat yang ditayangkan di jejaring berita BBC. Cinta tanah air diciutkan atau dimiskinkan sebagai cinta kepada penguasa.
Tampil flamboyan mendekati nyeleneh, Gaddafi memilih tinggal di tenda saat melakoni kunjungan luar negeri dan memilih pengawal perempuan bagi pertaruhan hidup mati. Dia membunyikan nada-nada kekuasaan sebagai keinginan berbela rasa bersama rakyat. Keren?
Lebih keren lagi, uang kerap melumasi cinta dan melumuri kekuasaan. Dan Gaddafi merengkuh dan memeluk kredo itu dengan menumpuk kekayaan di luar negeri sekitar 70 milyar dolar AS atau sekitar Rp618 triliun. Tampang dan uang bermetamorfosa jadi dua urusan yang menegaskan bahwa cinta akan kekuasaan menyentuh urusan amat privat.
Analoginya, ada kursi maka ada meja. Lagi-lagi, Gaddafi ingin "mencintai" rakyatnya. Ia berikrar tetap berada di Libya sebagai pemimpin besar revolusi. "Ini negaraku. Negaraku," katanya dengan berteriak dan sesekali mengepalkan tinjunya. "Rakyat Libya bersama saya," katanya dengan menyeru kepada para pendukungnya.
Klimaksnya, ia menyebut pengunjuk rasa sebagai hewan penghuni selokan. "Tangkap tikus-tikus itu," katanya. Virus cinta Gaddafi menimba air dari oase cinta yang serba absurd. Cinta telah meninabobokan pertimbangan rasional dan lebih membelai urusan emosional.
Filsuf perempuan Hannah Arendt menyebut absurditas cinta sebagai cinta a-politis. Bahasa gaulnya, aku mencintaimu karena aku ingin mendompleng dompet jabatanmu.
Padahal, cinta dan persahabatan tidak serta merta mengaduk keintiman atau kedekatan. Bahasa mesranya, ada cinta dari jarak jauh karena dua sejoli saling menghormati. Ada respek sebagai lawan dari virus cinta khas Gaddafi.
Di mata Gaddafi, respek kepada rakyat dibiarkan defisit. Padahal, respek memungkinkan suburnya cinta akan rakyat. Dengan membunuh ribuan rakyatnya sendiri, Gaddafi mencampakkan respek kepada sesama. Di mata filsuf Martin Buber, Gaddafi melihat manusia dari satu dimensi. Mengapa?
Gaddafi membendakan manusia dan menganggap manusia sebagai obyek semata (I-It). Manusia sekedar tombol yang siap dipencet kemudian dikomando untuk tugas suci dari institusi bernama "negara". Padahal, sesama manusia layak menerima perlakuan sebagai Anda dengan huruf besar (I-Thou). Pola "I-It" adalah pola hubungan antara tuan dan budak. Dan Gaddafi memerankan diri sebagai Tuan dengan huruf besar!
"Itu kedengaran seperti salah pengertian, ketika ia dapat bicara dan tertawa dengan seorang warga negara Amerika dan wartawan internasional sementara ia (Gaddafi) membunuh rakyatnya sendiri," kata duta besar AS untuk PBB Susan Rice di Gedung Putih. "Itu cuma menggarisbawahi betapa ia tak layaknya memimpin dan betapa ia terputus dari kenyataan."
Berbekal respek dan cinta akan rakyat Libya, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) menjatuhkan sanksi bagi Gaddafi, setelah 15 anggota Dewan Keamanan menggelar sidang sepanjang Sabtu di Markas Besar PBB, New York.
Resolusi itu berisi keputusan menerapkan sanksi pembekuan aset dan larangan bepergian terhadap Gaddafi dan kelima anaknya serta 10 orang terdekat. Dewan Keamanan juga menerapkan embargo senjata bagi Libya. DK-PBB meminta semua negara untuk tidak menyediakan persenjataan bagi Libya. Libya juga dilarang mengekspor senjata ke negara manapun.
Sanksi demi sanksi dunia internasional meninju Gaddafi. Gedung Putih meminta pemimpin Libya itu segera lengser, karena dinilai berkhianat kepada kebenaran (truth). Gedung Putih memainkan emosi dunia dengan mendominasi pluralitas opini. Padahal, klaim akan kebenaran kerap tidak menyediakan ruang bagi perdebatan bahkan menabukan ketidaksepakatan.
"Jika seorang pemimpin terus berkuasa dengan menggunakan kekerasan massal terhadap rakyatnya, dia telah kehilangan legitimasinya untuk memerintah," demikian pernyataan Gedung Putih. Bahkan, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton mengatakan, "Moammar Qadhafi telah kehilangan kepercayaan dari rakyatnya dan dia harus pergi tanpa tumpah darah dan kekerasan."
Tidak sebatas berwacana, Amerika Serikat memindahkan pasukan-pasukan angkatan laut dan udaranya ke posisi sekitar Libya, demikian diumumkan Pentagon.
Negara-negara Barat mempertimbangkan kemungkinan intervensi terhadap rezim Gaddafi. "Para perencana kami sedang menyusun berbagai rencana darurat. Kami menempatkan ulang pasukan untuk memudahkan hal itu jika keputusan telah diambil," kata juru bicara Pentagon Kolonel Dave Lapan.
Amuk negara-negara Barat akan virus cinta Gaddafi seakan dirujuk kepada ingatan historis akan pengadilan terhadap sosok Herman Goring.
Orang kepercayaan Hitler itu mengusung simbolisasi dari seorang yang setia melaksanakan birokrasi, tanpa mau merefleksikannya.
Dan Goring berujar, "Saya tidak mempunyai suara hati. Suara hati saya adalah Adolf Hitler". Drama mengenaskan hati bagi cinta akan kemanusiaan itu menggumpalkan pelajaran bahwa jadilah elite birokrasi yang berpikir agar di kemudian hari sejarah tidak menorehkan tinta kelam di lembar putih sejarah sebagai salah satu aktor dari banalnya kejahatan (The Banality of Evil).
Gaddafi lebih memilih lakon "Banality of Evil". Ia menyukai drama Perang Troya. Ia ingin menjadi pahlawan bukan karena keberanian untuk mati dan menderita dalam pertempuran, tetapi ia ingin menunjukkan diri kepada dunia dengan memulai sebuah cerita baru bagi dirinya.
(*)
Virus Cinta Gaddafi
1 Maret 2011 16:33 WIB
Pemimpin Libia Muamar Gaddafi. (FOTO ANTARA/REUTERS/Max Rossi/Files)
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
Tags: