Umat Hindu Gelar Prosesi Melasti Terkait Nyepi
1 Maret 2011 08:06 WIB
Sejumlah umat Hindu mengikuti upacara Melasti.Upacara yang diikuti ratusan umat Hindu tersebut bertujuan untuk menyucikan alam dan diri merupakan rangkaian perayaan Hari Raya Nyepi tahun Baru Caka 1933.(ANTARA/Wahyu Putro A)
Denpasar (ANTARA News) - Umat Hindu Dharma di Bali mulai menggelar prosesi ritual "Melasti", yakni membersihkan "pratima" atau benda yang disakralkan, mengawali perayaan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1933 yang jatuh pada hari Sabtu, 5 Maret 2011.
"Prosesi Melasti berdasarkan pedoman dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dapat dilakukan sesuai kondisi setempat antara hari Selasa (1/3) hingga Jumat (4/3)," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, kegiatan ritual yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disucikan itu, dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai, atau ke danau bagi masyarakat di daerah pegunungan dan sumber mata air setempat bagi masyarakat yang jauh dari laut maupun danau.
Pelaksanaan upacara Melasti disesuaikan dengan kesempatan dan tradisi desa yang diatur oleh prajuru desa adat masing-masing.
Masing-masing desa adat di Bali dapat memilih salah satu dari empat hari baik yang ditetapkan untuk melaksanakan ritual Melasti tersebut, tutur Ngurah Sudiana.
Masyarakat Desa Adat Ole dan Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, memilih hari Selasa (1/3) untuk melaksanakan ritual Melesti ke Danau Beratan, Bedugul, Kecamatan Baturiti yang berjarak sekitar 15 km ke arah utara dari desa adat bersangkutan.
Desa Adat Ole yang berpenduduk 287 kepala keluarga (KK) melaksanakan Melasti pada hari pertama sesuai ketentuan PHDI tersebut, sedangkan desa adat di sekitarnya baru akan melakukan ritual serupa pada hari Rabu (2/3), tutur Jero Bendesa Adat Ole I Wayan Dana.
Memilih hari pertama untuk melaksanakan Melasti itu, didasarkan atas pertimbangan, warga masyarakat mempunyai kesibukan yang sangat padat untuk menggelar kegiatan ritual pada peralihan tahun saka dari 1932 ke 1933.
Sebagian besar warga masyarakat Ole tampak ikut ambil bagian dalam kegiatan ritual itu, dengan menggunakan belasan kendaraan maupun sepeda motor menuju lokasi yang berjarak sekitar 15 km arah timur laut dari desa adat bersangkutan.
Ratusan warga berbondong-bondong mengikuti rangkaian upacara Melasti sambil membawa sesaji dan peralatan suci, diiringi alunan musik tradisional Bali (gamelan) yang bertalu-talu. Kegiatan ritual tersebut berlangsung dari pagi hingga sore, baik di danau maupun di lingkungan Desa Adat Ole.
Sementara desa adat lainnya di Bali selain ada juga yang memilih hari pertama, juga bisa hari kedua, ketiga atau keempat sesuai pedoman majelis tertinggi umat Hindu di Bali.
Umat Hindu di Bali dalam memperingati pergantian tahun saka dari 1932 ke tahun baru 1933 melakukan serangkaian upacara keagamaan yang diawali dengan Melasti.
Selesai Melasti dilanjutkan dengan melaksanakan upacara "Tawur Kesanga" pada hari Jumat (4/3), sehari menjelang Nyepi, dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa adat hingga rumah tangga masing-masing.
Kegiatan tersebut menurut Ngurah Sudiana bermakna untuk meningkatkan hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tawur Kesanga yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bertujuan untuk menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala", yakni roh atau makluk jahat yang tidak kelihatan secara kasat mata.
Keesokan harinya, Sabtu (5/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1933 dengan melaksanakan Tapa Berata penyepian.
Dalam Tapa Berata umat wajib mematuhi empat pantangan, meliputi tidak menyalakan lampu/api (Amati Geni), tidak melakukan aktivitas (Amati Karya), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi atau bersenang-senang (Amati Lelanguan).
"Pelaksanaan Catur Brata penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang), di bawah koordinasi prajuru banjar setempat," ujar Ngurah Sudiana. (I006/P004/K004)
"Prosesi Melasti berdasarkan pedoman dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali dapat dilakukan sesuai kondisi setempat antara hari Selasa (1/3) hingga Jumat (4/3)," kata Ketua PHDI Provinsi Bali Dr Drs I Gusti Ngurah Sudiana MSi di Denpasar, Selasa.
Ia mengatakan, kegiatan ritual yang bermakna membersihkan "pratima" atau benda yang disucikan itu, dapat dilakukan ke laut bagi masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai, atau ke danau bagi masyarakat di daerah pegunungan dan sumber mata air setempat bagi masyarakat yang jauh dari laut maupun danau.
Pelaksanaan upacara Melasti disesuaikan dengan kesempatan dan tradisi desa yang diatur oleh prajuru desa adat masing-masing.
Masing-masing desa adat di Bali dapat memilih salah satu dari empat hari baik yang ditetapkan untuk melaksanakan ritual Melasti tersebut, tutur Ngurah Sudiana.
Masyarakat Desa Adat Ole dan Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, memilih hari Selasa (1/3) untuk melaksanakan ritual Melesti ke Danau Beratan, Bedugul, Kecamatan Baturiti yang berjarak sekitar 15 km ke arah utara dari desa adat bersangkutan.
Desa Adat Ole yang berpenduduk 287 kepala keluarga (KK) melaksanakan Melasti pada hari pertama sesuai ketentuan PHDI tersebut, sedangkan desa adat di sekitarnya baru akan melakukan ritual serupa pada hari Rabu (2/3), tutur Jero Bendesa Adat Ole I Wayan Dana.
Memilih hari pertama untuk melaksanakan Melasti itu, didasarkan atas pertimbangan, warga masyarakat mempunyai kesibukan yang sangat padat untuk menggelar kegiatan ritual pada peralihan tahun saka dari 1932 ke 1933.
Sebagian besar warga masyarakat Ole tampak ikut ambil bagian dalam kegiatan ritual itu, dengan menggunakan belasan kendaraan maupun sepeda motor menuju lokasi yang berjarak sekitar 15 km arah timur laut dari desa adat bersangkutan.
Ratusan warga berbondong-bondong mengikuti rangkaian upacara Melasti sambil membawa sesaji dan peralatan suci, diiringi alunan musik tradisional Bali (gamelan) yang bertalu-talu. Kegiatan ritual tersebut berlangsung dari pagi hingga sore, baik di danau maupun di lingkungan Desa Adat Ole.
Sementara desa adat lainnya di Bali selain ada juga yang memilih hari pertama, juga bisa hari kedua, ketiga atau keempat sesuai pedoman majelis tertinggi umat Hindu di Bali.
Umat Hindu di Bali dalam memperingati pergantian tahun saka dari 1932 ke tahun baru 1933 melakukan serangkaian upacara keagamaan yang diawali dengan Melasti.
Selesai Melasti dilanjutkan dengan melaksanakan upacara "Tawur Kesanga" pada hari Jumat (4/3), sehari menjelang Nyepi, dilaksanakan secara berjenjang mulai dari tingkat Provinsi Bali yang dipusatkan di Pura Besakih, kemudian tingkat kabupaten/kota, kecamatan, desa adat hingga rumah tangga masing-masing.
Kegiatan tersebut menurut Ngurah Sudiana bermakna untuk meningkatkan hubungan yang harmonis dan serasi sesama umat manusia, lingkungan dan Tuhan Yang Maha Esa.
Tawur Kesanga yang berakhir pada petang hari itu dilanjutkan dengan "Ngerupuk" yang bertujuan untuk menetralkan semua kekuatan dan pengaruh negatif "bhutakala", yakni roh atau makluk jahat yang tidak kelihatan secara kasat mata.
Keesokan harinya, Sabtu (5/3), umat Hindu merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1933 dengan melaksanakan Tapa Berata penyepian.
Dalam Tapa Berata umat wajib mematuhi empat pantangan, meliputi tidak menyalakan lampu/api (Amati Geni), tidak melakukan aktivitas (Amati Karya), tidak bepergian (Amati Lelungan) serta tidak mengadakan rekreasi atau bersenang-senang (Amati Lelanguan).
"Pelaksanaan Catur Brata penyepian diawasi secara ketat oleh petugas keamanan desa adat (pecalang), di bawah koordinasi prajuru banjar setempat," ujar Ngurah Sudiana. (I006/P004/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011
Tags: