Jakarta (ANTARA) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa, selain berimbas pada sektor kesehatan dan ekonomi, pandemi COVID-19 juga bisa mengakibatkan pandemi moral berupa nilai-nilai luhur, kearifan lokal, dan jati diri bangsa yang terpinggirkan.

"Selain menggencarkan vaksinasi kesehatan memutus mata rantai penyebaran virus COVID-19, MPR RI juga menggencarkan vaksinasi ideologi melalui Sosialisasi Empat Pilar MPR RI untuk mencegah sekaligus memutus mata rantai penyebaran radikalisme dan demoralisasi generasi bangsa," ujar Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan hasil survei MEDIAN yang dilakukan pada 30 Mei-3 Juni 2021, dan memperlihatkan sebanyak 49 persen responden berpandangan Pancasila belum dilaksanakan dengan baik dan benar.

Beberapa indikatornya adalah masih maraknya kasus korupsi (25 persen), kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan (15,4 persen), belum tegaknya hukum yang berkeadilan (3,6 persen), serta diskriminasi dan intoleransi (2,7 persen).

Paparan tersebut ia sampaikan dalam Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan MPR RI di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten, Senin.

Baca juga: Syarief Hasan katakan pembangunan harus punya keberpihakan
Baca juga: Wakil Ketua MPR: Semua agama hidup dalam bingkai Pancasila
Baca juga: Akademisi: Pancasila bisa menjadi tolok ukur penyalahgunaan kekuasaan


"Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, dari sekitar 1.298 koruptor yang ditangkap KPK, sebanyak 86 persen atau sekitar 1.116 koruptor merupakan lulusan perguruan tinggi. Sangat ironis. Bisa jadi hal ini tidak lepas karena ketiadaan kurikulum Pancasila sebagai mata pelajaran wajib yang diajarkan dari mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi,” ucap dia.

MPR RI bersama BPIP, kata Bamsoet, mendesak Kemendikbud untuk memasukan kembali Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menambahkan, hasil survei Komunitas Pancasila Muda dengan responden kaum milenial dari 34 provinsi yang dilaksanakan pada Mei 2020 mencatat masih ada 19,5 persen responden yang merasa tidak yakin bahwa nilai-nilai Pancasila relevan dalam kehidupan mereka.

Pancasila dianggap sekedar istilah yang tidak dipahami maknanya.

Padahal, kata Bamsoet, saat ini bangsa Indonesia telah menginjakkan kaki pada periode bonus demografi dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 akan mencapai 319 juta jiwa.

“Dari jumlah tersebut, sekitar 70 persennya, atau sebanyak 223 juta jiwa adalah kelompok usia produktif yang didominasi kaum muda, yang akan menjadi tulang punggung pembangunan nasional,” kata Bamsoet.

Kepala Badan Bela Negara FKPPI ini menjelaskan, fenomena lain dari pandemi moral yang dihadapi adalah hadirnya efek samping dari kemajuan teknologi dan arus globalisasi.

Hingga akhir Maret 2021, tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 76,8 persen, di mana jumlah pengguna internet telah mencapai 212,35 juta pengguna. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa 85,62 persen pemuda Indonesia adalah pengguna aktif internet.

"Tingginya angka penetrasi internet generasi muda ini belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai gambaran, menurut catatan Kementerian Tenaga Kerja tahun 2018, sekitar 90,61 persen generasi muda menggunakan internet hanya untuk bermedia sosial. Menjadikan literasi teknologi yang mereka kuasai sebagai sebuah kemubaziran," ujar Bamsoet menjelaskan.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini menerangkan, tingginya angka penetrasi internet juga tidak diimbangi dengan tingkat 'keadaban' yang memadai.

Hasil riset Digital Civility Index yang dirilis tahun 2021, menyebutkan etika dan tingkat keadaban warganet di Indonesia semakin rendah. Indonesia berada di peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei.

Faktor yang memperburuk skor Digital Civility Index Indonesia adalah berita bohong (hoax) dan penipuan di internet (sebesar 47 persen), ujaran kebencian (27 persen), serta diskriminasi (13 persen).

"Lebih buruk lagi, tingginya tingkat penetrasi internet juga berbanding lurus dengan peningkatan kejahatan siber. Sebagai perbandingan, pada periode Januari hingga Agustus 2019, jumlah serangan siber di Indonesia mencapai 39,3 juta. Sedangkan pada periode Januari hingga Agustus 2021, naik drastis menjadi hampir 190 juta serangan siber. Artinya, pada masa pandemi COVID-19, kejahatan siber naik lebih dari 4 kali lipat," kata Bamsoet.