Denpasar (ANTARA) - Sosiolog Universitas Udayana, Bali Wahyu Budi Nugroho mengatakan merespons kasus pinjaman online (daring) ilegal yang kian marak, masyarakat memerlukan adanya literasi finansial untuk mengurangi kasus tersebut. "Untuk meredakan fenomena ini, jika masyarakat telah terliterasi finansial secara baik, termasuk soal problem kultur instan, pengguna jasa pinjaman online (pinjol) pun akan berkurang," kata Wahyu saat dihubungi di Denpasar, Minggu malam.

Ia mengatakan beberapa hal yang dapat membuat kasus pinjol berkurang jika kehidupan ekonomi masyarakat semakin membaik, mereka yang menggunakan jasa pinjol akan berkurang dari waktu ke waktu.

Baca juga: Ketua SWI: Masyarakat Bali segera lapor jika diteror pinjol ilegal
Jika berbagai lembaga perbankan konvensional dan legal mempermudah syarat pinjaman dana ke masyarakat, Wahyu meyakini masyarakat akan lebih memilih ini, karena risikonya jauh lebih kecil.

"Sebagaimana asumsi sosiologis, segala yang dibutuhkan masyarakat akan ada dengan sendiri, dan begitu pula sebaliknya, segala yang tidak dibutuhkan masyarakat akan hilang dengan sendirinya," katanya.

Selain itu, kasus pinjaman online ilegal ini tidak memandang soal golongan usia atau status sosial, tetapi lebih pada persoalan kultur instan di era modern.

Menurutnya, kehidupan modern menawarkan hal-hal yang sifatnya efisien, sehingga memunculkan kultur serba instan, padahal hal-hal yang instan seringkali menimbulkan lebih banyak risiko.

"Jadi, sebelum melakukan pinjol, menjadi keharusan untuk mengecek terlebih dahulu, apakah jasa pinjol terkait legal atau ilegal. Selain itu, pihak peminjam dan pinjol harus memahami dan mematuhi aturan OJK. Sehingga, kedua belah pihak memahami hak dan kewajiban masing-masing," ucap Wahyu.


Sebelumnya, Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Syamsi mengatakan Polda Bali masih menyelidiki 14 laporan terkait pinjaman online.

Baca juga: Basmi pinjol dengan hukum dan perlindungan data pribadi

Baca juga: Atasi pinjol ilegal, LaNyalla minta akses kredit perbankan dipermudah
"Ada 14 laporan dan semuanya masih dalam lidik. Untuk laporan tahun 2020 sejumlah 11 kasus dan 2021 tiga kasus," katanya.

Terdapat beberapa kasus di tahun 2020 yang hingga saat ini masih dalam penyelidikan, karena beberapa kesulitan. Salah satunya, pelaku menggunakan alamat kantor fiktif.

Faktor lainnya, karena terbentur dengan rahasia bank atau pemilik rekening bukan penggunanya langsung, aplikasi yang digunakan tidak terdaftar, sehingga sulit untuk dilakukan pelacakan.