MAPPI: UU Penilai sangat mendesak untuk lindungi kepentingan publik
25 Oktober 2021 00:32 WIB
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan perumahan subsidi di Kabubaten Bogor, Jawa Barat , Selasa (5/10/2021).Kementerian pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyatakan, berdasarkan data per 30 September 2021, capaian Program Sejuta Rumah pada tahun ini tercatat telah menembus angka 763.127 unit rumah di seluruh wilayah Indonesia. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc. (ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) Muhamad Aidil Muttaqin mengatakan pembentukan undang-undang penilai sangat mendesak untuk melindungi kepentingan publik
“Karena kita belum memiliki payung hukum yang kuat setingkat Undang-Undang,” kata Muttaqin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Muttaqin menegaskan dalam prakteknya penilai telah menjalankan tugas dan fungsinya secara benar dengan berpedoman kepada Standar Penilaian Indonesia (SPI), Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI), dan Peraturan Perundangan yang ada. Namun, Penilai memiliki posisi yang lemah di mata hukum apabila timbul permasalahan terhadap hasil penilaian.
Muttaqin menjelaskan MAPPI dalam menjalankan profesinya hanya berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2014 tentang Penilai Publik, dan telah diubah sebanyak dua kali, yakni PMK Nomor 56/PMK.0l/2017 dan PMK Nomor 228/PMK.01/2019.
Maka dari itu, Muttaqin mengatakan perlu segera menyusun langkah strategis untuk mewujudkan Undang-Undang Penilaian sebagai payung hukum. Tujuannya, untuk melindungi kepentingan publik termasuk profesi Penilai serta mendukung perekonomian yang sehat, efisien, dan transparan.
Baca juga: Menteri LHK sebut UU Cipta Kerja alihkan beban Komisi Penilai Amdal
Baca juga: PUPR dorong Mappi berinovasi dukung pengadaan lahan infrastruktur
Muttaqin mengatakan penilai memiliki tanggungjawab sangat besar dalam mengemban kepercayaan masyarakat, untuk memberikan opini nilai secara independen dan berkualitas. Menurut dia, laporan penilaian menjadi pertimbangan penting dalam mengambil keputusan secara efisien, sehat dan meningkatkan transparansi serta mutu informasi dalam bidang keuangan.
“Seperti dalam hal kebijakan publik, investasi, dan pelaksanaan proyek strategis nasional, pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, tentu sejalan dengan pilar pemerataan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,” kata Muttaqin.
Ia mengatakan dengan kebutuhan jasa Penilai yang akan terus meningkat oleh lembaga pemerintah maupun swasta, maka Penilai sangat membutuhkan kepastian hukum dalam memberi jasanya sehingga tidak ada kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya kriminalisasi pada Penilai.
“Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dan sekaligus melindungi Penilai, Undang-Undang Penilai sangat dibutuhkan dan mendesak,” jelas Muttaqin.
Muttaqin menegaskan MAPPI siap untuk terus berkontribusi bersama-sama membangun Negeri Indonesia dengan seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada demi terwujudnya Undang-Undang Penilai.
Saat ini kata Muttaqin, para pemangku kepentingan terkait jasa penilai menjadi cukup beragam, diantaranya institusi pemerintahan (PPPK-Kementerian Keuangan, DJKN-Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian ATR/BPN, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Penjamin Simpanan dan lembaga lainnya), perbankan dan lembaga pembiayaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, korporasi BUMN dan swasta, lembaga pendidikan tinggi negeri dan swasta.
“Karena kita belum memiliki payung hukum yang kuat setingkat Undang-Undang,” kata Muttaqin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Minggu.
Muttaqin menegaskan dalam prakteknya penilai telah menjalankan tugas dan fungsinya secara benar dengan berpedoman kepada Standar Penilaian Indonesia (SPI), Kode Etik Penilai Indonesia (KEPI), dan Peraturan Perundangan yang ada. Namun, Penilai memiliki posisi yang lemah di mata hukum apabila timbul permasalahan terhadap hasil penilaian.
Muttaqin menjelaskan MAPPI dalam menjalankan profesinya hanya berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.01/2014 tentang Penilai Publik, dan telah diubah sebanyak dua kali, yakni PMK Nomor 56/PMK.0l/2017 dan PMK Nomor 228/PMK.01/2019.
Maka dari itu, Muttaqin mengatakan perlu segera menyusun langkah strategis untuk mewujudkan Undang-Undang Penilaian sebagai payung hukum. Tujuannya, untuk melindungi kepentingan publik termasuk profesi Penilai serta mendukung perekonomian yang sehat, efisien, dan transparan.
Baca juga: Menteri LHK sebut UU Cipta Kerja alihkan beban Komisi Penilai Amdal
Baca juga: PUPR dorong Mappi berinovasi dukung pengadaan lahan infrastruktur
Muttaqin mengatakan penilai memiliki tanggungjawab sangat besar dalam mengemban kepercayaan masyarakat, untuk memberikan opini nilai secara independen dan berkualitas. Menurut dia, laporan penilaian menjadi pertimbangan penting dalam mengambil keputusan secara efisien, sehat dan meningkatkan transparansi serta mutu informasi dalam bidang keuangan.
“Seperti dalam hal kebijakan publik, investasi, dan pelaksanaan proyek strategis nasional, pengadaan tanah untuk pembangunan infrastruktur, tentu sejalan dengan pilar pemerataan pembangunan menuju Indonesia Emas 2045,” kata Muttaqin.
Ia mengatakan dengan kebutuhan jasa Penilai yang akan terus meningkat oleh lembaga pemerintah maupun swasta, maka Penilai sangat membutuhkan kepastian hukum dalam memberi jasanya sehingga tidak ada kekhawatiran atas kemungkinan terjadinya kriminalisasi pada Penilai.
“Dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat dan sekaligus melindungi Penilai, Undang-Undang Penilai sangat dibutuhkan dan mendesak,” jelas Muttaqin.
Muttaqin menegaskan MAPPI siap untuk terus berkontribusi bersama-sama membangun Negeri Indonesia dengan seluruh stakeholder (pemangku kepentingan) yang ada demi terwujudnya Undang-Undang Penilai.
Saat ini kata Muttaqin, para pemangku kepentingan terkait jasa penilai menjadi cukup beragam, diantaranya institusi pemerintahan (PPPK-Kementerian Keuangan, DJKN-Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian ATR/BPN, Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaga Penjamin Simpanan dan lembaga lainnya), perbankan dan lembaga pembiayaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, korporasi BUMN dan swasta, lembaga pendidikan tinggi negeri dan swasta.
Pewarta: Fauzi
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2021
Tags: