Cisarua, Bogor (ANTARA News) - Lembaga konservasi di luar habitat (ex situ) satwa Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah memasuki penerapan era medik konservasi, kata pejabat lembaga itu.

"Langkah yang diambil dalam upaya mengimplementasikan konsep medik konservasi dalam pengelolaan satwa liar Indonesia adalah dengan melakukan revitalisasi Rumah Sakit Satwa di tiga lokasi, yaitu TSI Bogor, Jawa Barat, TSI Prigen, Jawa Timur dan TSI Gianyar, Bali," kata Direktur TSI Cisarua, Drs Jansen Manansang MSi, di Bogor, Minggu.

Dalam kaitan itu, kata dia, guna mengantisipasi fenomena pemanasan global yang berdampak pada perubahan pola biologis mahluk hidup dan munculnya penyakit hewan baru (new emerging diseases) yang bersifat zoonotik, para dokter hewan yang terikat dengan jejaring Taman Safari Indonesia melakukan lokakarya untuk menerapkan konsep medik konservasi pada 24 Februari 2011.

Ia menjelaskan, bentuk revitalisasi ini pada prinsipnya dilakukan dengan memadukan konsep medik konservasi dan konsep rumah sakit hewan modern dalam suatu bentuk manajemen rumah sakit satwa.

Jansen mengakui, tidak mudah untuk melakukan revitalisasi ini, karena memerlukan sinergisme dari pihak pemerintah, pihak masyarakat, terutama para pengunjung TSI, pihak profesi dokter hewan dan pihak manajemen internal.

Tetapi yang jelas, kata dia, implementasi medik konservasi ini antara lain dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat atas keberadaan satwa-satwa ini sekaligus jaminan kepada pemerintah bahwa TSI tetap komit dengan program konservasi satwa liar Indonesia.

Pada lokakarya yang dipandu dosen Fakultas Kedokteran Institut Pertanian Bogor (IPB), drd RP Agus Lelana Sp.MP, MSi itu, dihadirkan pembicara Prof drh Dondin Sajuthi MST, PhD selaku Direktur Rumah Sakit IPB sekaligus Ketua Asosiasi Rumah Sakit Hewan Indonesia.

Selain itu, Prof Dr Ir Sri Soepraptini Mansjoer MS selaku konsultan Pusat Studi Satwa Primata IPB sekaligus sebagai Pengsuh Mata Kuliah Falsafah Sains di Sekolah Pascasarjana IPB.

Dalam paparannya Dondin menjelaskan bahwa prinsip kerja rumah sakit satwa adalah kerja kolektif yang berbasis pada keahlian dan kompetensi di bidang kedokteran hewan.

Menurut dia, modalitas kesuksesan rumah sakit satwa adalah menjaga status kesehatan dan kesejahteraan satwa dengan pendekatan medik konservasi baik yang bersifat preventif, kuratif, rehabilitatif maupun promotif yang ditunjang dengan budaya rumah sakit yang baik.

Dondin selaku koordinator kerja sama antara IPB dengan TSI menjelaskan bahwa untuk melaksanakan implementasi medik konservasi di TSI pihaknya akan melakukan secara intensif. Minimal setiap bulan akan dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap perkembangan tersebut.

Sri Soepraptini menjelaskan bahwa kemampuan untuk membuat laporan ilmiah sebagai rangkaian implementasi medik konservasi sangat strategis bagi perkembangan Iptek maupun dalam memosisikan kemampuan dokter hewan Indonesia di mata dunia.

Jika dilihat dari data yang dimiliki pihak Rumah Sakit Satwa dan rencana untuk memublikasikan dalam jurnal ilmiah, Sri Soepraptini optimistis TSI dalam waktu dekat menjadi pionir dalam medik konservasi di Indonesia.

"Oleh sebab itu, pelatihan penulisan ilimiah bagi para dokter hewan TSI dapat menjembatani cita-cita tersebut," katanya.

Sedangkan, Agus Lelana ketika memandu lokakarya dalam menyusun kebijakan mutu Rumah Sakit Satwa menjelaskan bahwa dari lokakarya ini, rumah sakit satwa telah memutakhirkan visi, misi, tujuan strategis, pernyataan mutu, kebijakan umum dan kebijakan mutu.

"Sehingga, pada tahun 2016 TSI unggul dalam pengembangan medik konservasi di Asia. Untuk itu, para dokter hewan akan menyusun rincian pedoman-pedoman dari kebijakan mutu yang telah disusun," katanya.
(A035/E001)