Pengamat: Syarat wajib PCR penumpang pesawat memberatkan
23 Oktober 2021 12:44 WIB
Warga menjalani tes COVID-19 berbasis 'Polymerase Chain Reaction' (PCR) di Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (21/8/2021). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/rwa. (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat transportasi Djoko Setidjowarno menilai syarat wajib PCR sangat memberatkan bagi penumpang pesawat yang akan melakukan perjalanan.
Selain memberatkan dari sisi biaya, pelayanan di bandara pun belum optimal.
"Syarat itu membuat orang enggan bepergian pakai angkutan udara, khususnya di Jawa," katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DPR menolak aturan wajib PCR penumpang pesawat
Menurut dosen Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, itu, syarat wajib PCR yang enggan dipilih konsumen tentu akan berdampak pada terus melesunya bisnis maskapai.
Konsumen, khususnya di Jawa, kemungkinan besar akan lebih memilih bepergian dengan kendaraan pribadi atau dengan kereta api. Terlebih, kini jalur Tol Trans Jawa sudah semakin nyaman digunakan.
"Di Jawa itu kalau tidak bawa mobil sendiri karena jalan tolnya sudah bagus, ya orang akan pilih naik kereta. Kereta yang sekelas pesawat (premium) itu pun cukup laris," katanya.
Djoko yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat juga meminta pihak bandara untuk memperbaiki layanan sebagaimana syarat penerbangan yang sudah ditentukan.
Misalnya saja, terkait aturan tes, pihak bandara dinilai tidak sigap menyiapkan fasilitas tes guna memudahkan penumpang.
"Jujur saja, pelayanan di bandara itu tidak jelas. Kalau di stasiun, untuk pemberangkatan jam 6 pagi, pelayanan tes sudah dibuka sejam sebelumnya. Kalau di bandara tidak jelas. (Tes) Genose saja antrenya panjang, bahkan saya pernah sampai satu jam. Ini membuat konsumen malas dan enggan bepergian (naik pesawat)," katanya.
Baca juga: Kemenhub rilis aturan terbaru syarat penerbangan, berlaku 24 Oktober
Belum lagi terkait biaya tes yang tidak sama antara di Jawa dan luar Jawa meski pemerintah sudah menetapkan harga tertingginya sebesar Rp495 ribu dan Rp525 ribu.
"Di luar Jawa itu Rp495 ribu mau berapa jam pun, semua sama. Tapi di Jawa, Rp495 ribu untuk hasil 24 jam. Kalau minta yang 12 jam, harganya sampai Rp750 ribu," ujarnya.
Djoko pun menilai kewajiban PCR bagi penumpang pesawat seharusnya bisa dihapuskan. Jika hal itu bisa dilakukan, ia meyakini bisnis angkutan udara bisa kembali membaik.
"Kalau mau perbaiki bisnis udara, ya hilangkan saja (syarat PCR) atau dibayarkan oleh pemerintah. Lagipula harganya beda-beda. Bahkan di beberapa tempat juga ditawari surat hasilnya. Tes PCR juga tidak tersedia di semua tempat," pungkasnya.
Dalam aturan terbaru surat keterangan hasil negatif RT-PCR maksimal 2x24 jam dijadikan syarat sebelum keberangkatan perjalanan dari dan ke wilayah Jawa-Bali serta di daerah yang masuk kategori PPKM level 3 dan 4.
Untuk luar Jawa-Bali, syarat ini juga ditetapkan bagi daerah dengan kategori PPKM level 1 dan 2, namun tes antigen tetap berlaku dengan durasi 1x24 jam. Sebelumnya, pelaku penerbangan bisa menggunakan tes antigen 1x24 jam dengan syarat calon penumpang sudah divaksin lengkap.
Selain memberatkan dari sisi biaya, pelayanan di bandara pun belum optimal.
"Syarat itu membuat orang enggan bepergian pakai angkutan udara, khususnya di Jawa," katanya saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.
Baca juga: Anggota DPR menolak aturan wajib PCR penumpang pesawat
Menurut dosen Unika Soegijapranata Semarang, Jawa Tengah, itu, syarat wajib PCR yang enggan dipilih konsumen tentu akan berdampak pada terus melesunya bisnis maskapai.
Konsumen, khususnya di Jawa, kemungkinan besar akan lebih memilih bepergian dengan kendaraan pribadi atau dengan kereta api. Terlebih, kini jalur Tol Trans Jawa sudah semakin nyaman digunakan.
"Di Jawa itu kalau tidak bawa mobil sendiri karena jalan tolnya sudah bagus, ya orang akan pilih naik kereta. Kereta yang sekelas pesawat (premium) itu pun cukup laris," katanya.
Djoko yang juga Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat juga meminta pihak bandara untuk memperbaiki layanan sebagaimana syarat penerbangan yang sudah ditentukan.
Misalnya saja, terkait aturan tes, pihak bandara dinilai tidak sigap menyiapkan fasilitas tes guna memudahkan penumpang.
"Jujur saja, pelayanan di bandara itu tidak jelas. Kalau di stasiun, untuk pemberangkatan jam 6 pagi, pelayanan tes sudah dibuka sejam sebelumnya. Kalau di bandara tidak jelas. (Tes) Genose saja antrenya panjang, bahkan saya pernah sampai satu jam. Ini membuat konsumen malas dan enggan bepergian (naik pesawat)," katanya.
Baca juga: Kemenhub rilis aturan terbaru syarat penerbangan, berlaku 24 Oktober
Belum lagi terkait biaya tes yang tidak sama antara di Jawa dan luar Jawa meski pemerintah sudah menetapkan harga tertingginya sebesar Rp495 ribu dan Rp525 ribu.
"Di luar Jawa itu Rp495 ribu mau berapa jam pun, semua sama. Tapi di Jawa, Rp495 ribu untuk hasil 24 jam. Kalau minta yang 12 jam, harganya sampai Rp750 ribu," ujarnya.
Djoko pun menilai kewajiban PCR bagi penumpang pesawat seharusnya bisa dihapuskan. Jika hal itu bisa dilakukan, ia meyakini bisnis angkutan udara bisa kembali membaik.
"Kalau mau perbaiki bisnis udara, ya hilangkan saja (syarat PCR) atau dibayarkan oleh pemerintah. Lagipula harganya beda-beda. Bahkan di beberapa tempat juga ditawari surat hasilnya. Tes PCR juga tidak tersedia di semua tempat," pungkasnya.
Dalam aturan terbaru surat keterangan hasil negatif RT-PCR maksimal 2x24 jam dijadikan syarat sebelum keberangkatan perjalanan dari dan ke wilayah Jawa-Bali serta di daerah yang masuk kategori PPKM level 3 dan 4.
Untuk luar Jawa-Bali, syarat ini juga ditetapkan bagi daerah dengan kategori PPKM level 1 dan 2, namun tes antigen tetap berlaku dengan durasi 1x24 jam. Sebelumnya, pelaku penerbangan bisa menggunakan tes antigen 1x24 jam dengan syarat calon penumpang sudah divaksin lengkap.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2021
Tags: