Manila (ANTARA News) - Pekan ini, Filipina merayakan 25 tahun revolusi people power yang menumbangkan diktator Ferdinand Marcos, sebuah model pemberontakan sosial yang kini menyapu dunia Arab.

Kenikmatan sosial akibat gerakan sosial itu kini tengah menghinggapi negara-negara seperti Mesir dan Tunisia, tapi Filipina juga menawarkan sebuah peringatan seiring perjuangan kerasnya melawan stagnasi ekonomi, korupsi dan kisruh politik yang terus terjadi.

"Revolusi kami menginspirasi banyak peristiwa serup di dunia, banyak yang membawa isyarat gerakan damai kami dalam menggulingkan diktator," kata Ramon Casiple, mantan aktivis yang kini mengepalai Institute for Political and Electoral Reform yang berbasis di Manila.

"Namun 25 tahun setelah kami menang melawan Marcos, demokrasi kami tetaplah sangat lemah. Kami memiliki semua institusi politik, tetapi semua itu senjang isi dan muatan."

Dia melanjutkan, "Untuk negara-negara seperti Mesir, mereka juga akan menyadari bahwa menggulingkan diktator itu lebih mudah ketimbang membangun dan meletakkan kembali proses demokrasi di tempatnya sehingga bisa berjalan."

Pada Februari 1986, jutaan warga Filipina tumpah ruah ke jalanan guna mengakhiri kekuasaan Marcos yang berumur dua dekade dan brutal tersebut. Sebagaimana halnya pada momen tergulingnya Presiden Hosni Mubarak bulan ini, satu langkah krusial adalah ditarikya dukungan AS kepada rezim Marcos.

Tetapi mereka yang terlibat dalam gerakan sosial itu dan para pakar mengatakan bahwa negara di Asia Tenggara yang sedang berjuang memperkuat demokrasinya sampai mapan itu memberikan sebuah pelajaran yang seharusnya dihindari oleh negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara.

Casiple mencatat bahwa Filipina yang berpenduduk 94 juta jiwa itu hingga kini masih saja diselimuti masalah kemiskinan, korupsi dan kejahatan umum lainnya.

Ia mengatakan --sebagaimana terjadi semasa pemerintahan Marcos-- semua militer, polisi dan politisi yang mengendalikan tentara bayaran, terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran.

Kendati Marcos dipaksa mengasingkan ke Hawaii di mana dia meninggal di sana, keluarganya tempat bisa kembali ke kekuasaan dengan istrinya yang anggota DPR dan seorang anaknya yang menjadi senator, kini mengincar kursi kepresidenan pada Pemilu 2016.

Tidak ada seoranga pun dinasti Marcos benar-benar diadili, sementara pemerintah sendiri gagal mengambil kemnbali jutaan dolar uang negara yang dirampok dari kas negara oleh keluarga Marcos yang lalu mereka simpan di rekening-rekening rahasia di luar negeri.

Saat bersamaan, pemberontakan komunis dan radikal Islam yang membahana semasa pemerintahan Marcos juga terus berlanjut dan mengambil banyak nyawa setiap tahun.

Kelompok-kelompok HAM mengatakan budaya kekebalan hukum juga masih kuat dipegang sehingga para pejabat bebas melanggar hukum dan merencanakan pembunuhan para aktivis atau jurnalis.

Sedangkan pihak militer juga enggan melepaskan kendalinya untuk bermain politik, terlihat dari sejumlah upaya kudeta terhadap rezim-rezim sesudah era Marcos seperti satu agak sering terjadi beberapa tahun belakangan.

Kini banyak orang yang menggantungkan harapan kepada kepemimpinan Benigno Aquino Jr yang naik berkuasa dalam dalam pemilu yang disebut curang tahun lalu, dengan memanfaatkan kharisma ibundanya, sang pahlawan people power, Corazon Aquino.

Setelah suaminya tewas terbunuh yang diduga dilakukan orang-orang suruhan Marcos, Cory Aquino seketika berubah dari seorang ibu rumah tangga yang bersahaja menjadi pemimpin revolusi dan pelopor pemberontakan sosial pada 1986.

Aquino lalu didaulat menjadi presiden setelah Marcos dan ditugasi mengawal amandemen konstitusi, satu dokumen hukum yang dikenal karena integritasnya namun diabaikan oleh para penguasanya kini.

Benigno Aquino Jr sendiri, yang kini Presiden Filipina, menandaskan bahwa banyak tiran di seluruh dunia yang tumbang oleh gerakan damai sejak 1986.

"Rakyat Filipina membuat itu menjadi mungkin. Dan selagi kita membuat kemungkinan itu terjadi untuk dunia, kemungkinan lain yang begitu lama kita abaikan adalah menggali potensi besar bangsa kita," ujarnya pekan ini.

James Ross, direktur hukum dan kebijakan pada Human Rights Watch yang berbasis di New York sepakat bahwa peristiwa di Mesir jauh dari riak riak seperti revolusi Filipina.

"Peristiwa di Mesir --seteleah sebelumnya di Polandia, Indonesia dan Tunisia-- seharusnya membuat Filipina bangga atas sumbangsih mereka bagi kebebasan manusia di seantero dunia," katanya.

Ross, seorang pengacara muda yang tengah menyiapkan gugatan terhadap rezim Marcos, mengatakan kekuasaan sipil yang orisinil harus menjadi akar kekuasaan jika negara-negara yang kini dilanda demam revolusi dapat menghindari salah langkah Filipina pasca revolusi.

"Jalan yang akan dilalui (negara-negara yang tengah mengadakan revolusi) itu teramat panjang dan berbahaya," demikian Ross. (*)

AFP/Yudha Pratama