Jakarta (ANTARA News) - Almarhum Ignatius Wibowo pernah mengulas soal fenomena bandit-bandit demokrasi, dalam sebuah artikelnya yang kemudian dihimpun kembali dalam buku "Negara dan Bandit Demokrasi" (2011).

Ia meminjamnya dari tesis Mancur Olson dalam "Power and Prosperity" (2000), bahwa ada dua jenis bandit yang menyebabkan kemakmuran suatu negara tak kunjung datang setelah adanya pemerintahan yang buruk.

Dua jenis bandit itu, roving bandits alias para bandit yang mengembara, dan satunya lagi yang menetap alias stationary bandits. Melengkapi Olson, saya kira perlu ditambah satu jenis bandit lagi, in between bandits, alias bandit yang setengah menetap setengah mengembara.

Sekilas, istilah-istilah itu mengingatkan kita pada ulasan sejarawan Eric Hobsbawm, the social bandits. Bahwa perbanditan sebagai fenomena sosial telah lazim sejak lama. Bandit merupakan istilah yang dilekatkan para aksi kriminal, suatu tindakan melawan hukum, yang dilakukan dengan menjarah harta benda para korbannya.

Tapi, istilah itu kemudian berkembang. Ketika aksi-aksi perbanditan tak lagi sekedar sporadis, tetapi tertata rapi organisasinya, sistemnya, skenario dan eksekusi aksi-aksinya, maka orang lebih suka membahasnya dalam konteks mafioso alias praktik-praktik mafia kejahatan.

Istilah bandit demokrasi, tentu lekat dengan konteks politik-kekuasaan. Bandit-bandit demokrasi menggunakan power, money, media, dan instrumen-instrumen tambahan lainnya untuk membajak demokrasi demi kepentingan kelompok mereka.

Roving bandits bekerja secara canggih, bahkan seven samurai pun tak mampu melacak, menangkal dan melawannya. Seven Samurai adalah film klasik sutradara Jepang Akira Kurosawa. Film ini sering disebut-sebut sebagai salah satu film terbaik, dan salah satu dari sedikit film Jepang yang berhasil dikenal secara luas di dunia Barat untuk waktu yang lama.

Film yang dirilis 1954 itu konon mengilhami film Barat The Magnificent Seven (1960). Para samurai digantikan dengan para gunslinger. Film-film koboi Barat lantas menciptakan tokoh-tokohnya. Si pahlawan biasanya seorang lone ranger, datang ke satu tempat, melawan bandit-bandit, setelah situasi aman, pergi lagi. Seolah merupakan kebalikannya roving bandits.

Seven Samurai sendiri menceritakan tentang para petani di sebuah desa yang menyewa tujuh orang ronin (samurai tak bertuan) untuk melawan roving bandits alias rombongan bandit yang akan segera kembali setelah panen.

Pencuri, penyamun, perampok, pencopet, bandit, mafia, koruptor, maling, pengutil, apapun sebutannya, bermakna menghilangkan hak orang lain. Mereka menyabot kesempatan orang banyak untuk sejahtera, kesempatan bangsa untuk maju. Bandit demokrasi, tentu saja memakai demokrasi untuk kepentingan kebanditannya.

Demokrasi bisa kolaps oleh tingkah laku para bandit itu. Wibowo mencatat roving bandits lebih buas ketimbang stationary bandits. Walaupun sama-sama ber-mindset menjarah, mengambil dan merampas kekayaan negara, roving bandits lebih atraktif dalam mengerahkan aji mumpung. Bahwa mumpung masih berkuasa, menjarah sepuasnya.

Stationary bandits mengambilnya pelan-pelan. Tapi daya rusaknya tak kalah mengerikan. Sementara bandits in between, saya kira, lebih luwes dalam berpraktik.

Walaupun kaitannya lebih ke politik, bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan sedemikian rupa, bandit-bandit demokrasi adalah bandit-bandit segala bidang yang membuat banyak orang dimiskinkan, karena tidak ada perbaikan sistem menjadi lebih baik. Tidak ada jaminan bahwa rakyat banyak memperoleh hak-hak hidup mereka secara layak.

Perbanditan itu memiskinkan, rakyatnya, bangsanya.

Sebagaimana disinyalir Hobsbawm, fenomena perbanditan akan selalu ada dan berkembang. Bandit-bandit itu akan menjarah dan menjarah, pelan-pelan atau cepat, halus atau kasar. Sistem hadir mencegah, aparat hukum menindak terlepas dari efektif tidaknya.

Barangkali karena itu Sastrawan Anton Chekov, yang cerpennya banyak yang lucu-lucu itu, tidak terlampau khawatir dengan perbanditan, toh yang dijarah cuma materi barangkali. Sebagaimana dikutip di depan, Chekov bilang dunia tidak binasa oleh bandit dan kebakaran, tapi dari kebencian, permusuhan, dan semua percekcokan kecil.

Kalau begitu, dalam logika Chekov, yang berbahaya lagi adalah para bandit penebar kebencian dan permusuhan. (***)

M Alfan Alfian, Esais Politik, Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta.