Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah stasiun televisi menyiarkan berita akan lenyapnya berbagai film asing dari bioskop di tanah air. Media cetak pun banyak yang menjadikannya berita utama. Bahkan, ada laporan “Beban Pajak Film Nasional Lebih Besar Dari Impor 10 Kali”
Pada saat media massa muncul dengan persoalan pengenaan pajak film khusus bagi film impor, maka sebenarnya soal pajak film bukan merupakan hal baru bagi insan-insan perfilman. Beberapa kali pemerintah telah membuat program pajak semacam tax holiday, tax incentive, dan bahkan subsidi pembayaran pajak (pajak yang ditanggung pemerintah).
Industri film nasional nyaris tidak pernah menikmati semua kebijakan atau program pajak film trersebut. Bahkan, beberapa kali perfilman nasional telah dirugikan, karena suatu ketika tarif bea masuk dan besaran bea masuk bahan baku film lebih tinggi dari bea masuk film jadi.
Selain itu, tarif dan bea masuk peralatan produksi dan pemutaran film di bioskop (kamera dan proyektor film) lebih besar dari kamera untuk end user/individu amatir dan alat pemutar film di rumah-rumah dalam piranti alat pemutar cakram digital (VCD/DVD player).
Para insan perfilman nasional umumnya mengapresiasi pernyataan Hanung Bramantyo dalam rubrik “Kompas Muda” dan Harian Kompas 21 Desember 2010 yang berjudul “Film nasional telah dibunuh oleh pemerintahnya sendiri”. Pendapat Hanung tersebut agaknya berhasil mengangkat permasalahan kebijakan fiskal yang tidak adil yang dialami oleh industri film nasional yang selama bertahun-tahun terpendam jauh di kedalaman tumpukan permasalahan, sehingga perfilman nasional tidak kunjung menjadi besar dan makin besar, karena orang film sendiri tidak pernah “mau” atau “berani” menyuarakannya.
Hanung berpendapat faktanya, menunjukkan bahwa pajak untuk membuat film lebih besar daripada pajak untuk membeli film impor. Pernyataannya merupakan jawaban atas pertanyaan Candra Aji dari Yogyakarta bagaimana cara mendorong para sineas untuk membuat film yang tidak hanya berorientasi pasar (market oriented), tetapi lebih berorientasi bermutu dan bernilai (quality and value oriented) atau bahkan menjadi penentu pasar (market oriented), agar film nasional tidak menjadi tren musiman saja.
Kebijakan pajak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah memberikan komitmennya untuk membesarkan industri film nasional telah terusik. Dalam Sidang Kabinet pada 23 Desember 2010, Presiden memerintahkan untuk secepatnya membenahi kebijakan pajak film.
Bahkan, Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, dalam konferensi pers setelah sidang kabinet mengemukakan, perfilman nasional telah banyak dibebani berbagai fungsi menjadi media pendidikan bahkan harus dapat menjadi benteng budaya bangsa, sehingga beban fungsi perfilam nasional baiknya jangan dibebani lagi oleh masalah pajak yang memberatkan.
Besar pajak produksi film nasional saat ini sekira 10% dari keseluruhan pagu anggaran produksi sebuah film. Kalau sebuah film nasional berbiaya produksi Rp5 miliar, misalnya, maka besarnya pajak produksinya Rp500 juta. Sementara itu, pajak untuk film impor sekitar 1/10 dari pajak produksi dalam negeri karena hanya membayar pajak bea masuk ditambah Pajak Pertambahan Nilai (BM + PPN) untuk release copy sekitar Rp50 juta (untuk 20 copies).
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, dalam konperensi pers akhir tahun pada 28 Desember 2010 menegaskan, Presiden telah mencatat adanya kemajuan di industri perfilman. Kalau memang masih terdapat ketidakadilan beban pajak film nasional dengan film impor, maka Menbudpar diperintahkan agar berkoordinasi dengan Menteri Keuangan guna mengurangi beban pajak film nasional, bahkan kalau mungkin dinolkan, dan bila perlu menaikkan pajak film impor. Diharapkan kebijakan tersebut akan lahir di bulan Januari 2011.
Penelusuran yang dilakukan oleh Delta Film menunjukkan bahwa sebenarnya pada 22 Desember 2010 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 241, yang mengatur tarif beberapa bahan baku film dan peralatan film telah dinolkan. Namun, tarif untuk film impor belum disesuaikan atau dinaikkan.
Beberapa media massa pada 11 Januari 2011 memberitakan bahwa Pemerintah menyetarakan beban pajak film impor dengan film nasional. Menteri Keuangan, Agus Martowardoyo, yang didampingi Direktur Peraturan Perpajakan I, Suryo Utomo, mengemukakan bahwa pajak impor dikenakan secara merata (flat).
Kebijakan pajak atas film impor ini menetapkan pajak impor film senilai 0,43 dolar Amerika Serikat (AS) per meter rol film yang berlaku untuk semua jenis film. Selain pajak tersebut, Suryo menjelaskan bahwa film impor juga dikenakan pajak atas royalti atau PPN dan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 26. Untuk menentukan besarannya, semua kebijakan itu masih dalam kajian. Disebutkan bahwa kebijakan tersebut dituangkan dalam surat edaran nomor SE-03/PJ/2011 tentang PPh atas penghasilan berupa royalti dan perlakuan PPN atas pemasukan film impor.
Hal itu berarti bahwa bea masuk film impor yang selama ini hanya 0,043 dolar AS per meter rol film meningkat menjadi 0,43 dolar AS per meter, atau naik 10 kali lipat, walaupun masih lebih rendah dari tarif di Thailand yang senilai 30 baht per meter atau lebih dari sedolar AS per meter rol film. Kebijakan itu sempat menghebohkan.
Kemudian pemerintah memberikan penegasan mengenai kewajiban membayar PPN dan PPH atas pembayaran royalti dan pembayaran bagi hasil edar film impor di mana ketentuan itu bukan hal baru karena memang sudah seharusnya importir film adalah wajib bayar atau wajib pungut atas pajak PPN dan PPH tersebut. Untuk besaran bea masuk yang wajib dibayar oleh importir film belum diubah atau disesuaikan.
Bulan Januari telah berakhir, insan-insan perfilman nasional masih terus mempertanyakan, apakah pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan fiskal yang adil setelah bulan Januari sebagaimana pernyataan Menbudpar? Tentu saja pemerintah tidak bermaksud atau secara sengaja “membunuh” produk film nasionalnya sendiri, namun adalah suatu fakta bahwa selama Indonesia merdeka, film nasional tidak pernah tumbuh menjadi besar atau sangat besar. Kebijakan pemerintah dalam perfilam nasional tidak mampu mendongkrak industri film nasional menjadi besar, tumbuh atau mati segan hidup tak mau, kemudian industri perfilmam nasional menjadi mati suri.
Insan film nasional Indonesia, saat ini seharusnya berganti posisi. Insan film nasonal Indonesia harus lebih jeli dan harus serius dan tekun serta berani meminta agar pemerintah harus berbuat sesuatu dalam waktu yang tidak lama, dan jangan menunggu industri film nasional menjadi sakit berat atau bahkan mati suri lagi karena masalah beban pajak yang tinggi dan memberatkan.
Pembiaran terhadap kebijakan fiskal yang tidak pro-film nasional telah terjadi dalam waktu sangat lama. Oleh karena itu, sangat cocok untuk melukiskan keadaan ini dengan ungkapan dialek Medan, Sumatera Utara, yang dipopulerkan oleh Deddy Mizwar dalam filmnya Nagabogar, dan kemudian dijadikan slogan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak: “Apa Kata Dunia”, jika kebijakan pajak yang tidak pro film nasional ini terus dibiarkan dan mengganggu pertumbuhan film nasional.
Akibat murahnya atau rendahnya pajak film, maka membuat impor film menjadi usaha yang menarik karena modal yang ditanamkan untuk mendatangkan film impor tidak sebesar kalau memproduksi film nasional sendiri. Dengan membeli film impor, maka berarti pula membeli film yang sudah jadi, sehingga praktis lebih mudah memprediksi nilai jualnya dibandingkan memproduksi film nasional yang dimulai dengan suatu ide, berproses dengan melibatkan banyak pihak, sehingga hasil akhirnya pun tergantung pada kepiawaian dan komitmen dalam berkarya para karyawan dan artis film.
Fenomena gairah untuk impor film lebih besar daripada gairah memproduksi film nasional, tergambar juga dari data Lembaga Sensor Film (LSF) yang menunjukkan angka, tahun 2005 jumlah film impor yang masuk Indonesia 201 judul, sementara film nasionalnya 33 judul. Tahun 2006, film impor 165 judul, film nasional 33 judul, tahun 2007 film impor 207 judul, film nasional 53 judul, tahun 2008 film impor 180 judul dan film nasional 87 judul, dan tahun 2009 film impor 155 judul dan film nasional 78 judul.
Fakta dan kondisi keterbatasan lain juga masih harus dihadapi oleh insan perfilman nasional, seperti sedikitnya jumlah gedung bioskop dan masih minimnya penghasilan masyarakat Indonesia, serta tersedianya alternatif hiburan yang murah atau bahkan gratis, seperti hiburan dari cakram digital film bajakan berkualitas sama dengan yang asli, dan tayangan film di siaran televisi telah membuat tersedotnya sejumlah penonton bioskop untuk menonton film impor. Kenyataan ini ikut memperburuk situasi sulit bagi masa depan perfilman nasional.
Masalah lain yang dihadapi perfilam nasional adalah soal tata edar yang sampai saat ini belum ada. Ini pula tantangan lain bagi semua pihak untuk selalu menyuarakan permasalahan sekaligus mencari alternatif positif membenahi kebijakan pemerintah yang menyangkut perfilman nasional. (*)
*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi, dan Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo).
Pajak Film dan Masalah Nasional
Oleh Petrus Suryadi Sutrisno
23 Februari 2011 10:25 WIB
LINDUNGI FILM NASIONAL. Seorang pekerja mencat pada pembuatan poster kain film di Studio Cahya, di kawasan Lenteng Agung, Jakarta, Senin (21/2). (ANTARA News/Rosa Panggabean)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011
Tags: