"Hal ini juga menimbulkan adanya dominasi agama terhadap teknologi dan juga adanya perkembangan ide-ide keagamaan," kata Agus saat membuka acara Jakarta Geopolitical Forum V / 2021 yang diselenggarakan Lemhannas secara "offline" dan daring, di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, pemikiran "post modernism" telah terevolusi dan merevolusi pemikiran manusia, dimana membuat manusia menjadi berpikir secara lebih rasional dan pragmatis.
Baca juga: Lemhannas gelar Jakarta Geopolitical Forum V untuk membahas kebudayaan
Realita palsu bisa juga dibuat atau dipancing oleh teknologi yang membantu orang lebih memiliki imajinasi yang lebih kuat dengan adanya penggunaan teknologi "artificial".
"Jadi, kemajuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi punya dampak yang besar terhadap peradaban manusia," ucap Agus.
"Kita telah mencapai titik dimana kita harus menentukan masa depan kita apakah akan lebih bersatu atau lebih terpecah-pecah dan pilihan-pilihan yang ada di hadapan kita akan terkait dengan pencapaian tujuan universal melalui harmonisasi dua sudut pandang yang saling bertentangan," katanya lagi.
Untuk mengaitkan dua sudut pandang itu, kata Agus, harus ada analisis dan bukti bahwa kemanusiaan harus tetap menjadi prioritas di setiap kejadian.
"Toleransi harus menjadi konsep utama karena subyek dan obyek akan terus berinteraksi," kata Agus dalam siaran persnya.
Pada saat manusia bereaksi terhadap perubahan politik, kultural, dan teknologi, maka akan membawa disrupsi.
Baca juga: Agus Widjojo paparkan lima capaian Lemhannas tahun 2020
"Disrupsi harus menjadi katalisator untuk pencerahan demi masa depan yang lebih baik bagi manusia," ujarnya.
Oleh karena itu, teknologi tidak seharusnya dipandang sebagai sebuah peradaban itu sendiri, tapi seharusnya menjadi alat untuk kemajuan manusia dan kemanusiaan.
Hidup manusia akan terbantu oleh kemajuan teknologi dan kecepatan pengembangan teknologi, dimana telah membawa banyak konsekuensi positif maupun negatif.
"Kalau tidak kita kelola dengan baik hal ini bisa membahayakan peradaban," tutur Agus.
Serupa dengan itu, dogma-dogma agama juga bisa menghambat atau membahayakan peradaban.
Dia menambahkan, pemikiran arus utama atau "mainstream" dapat berujung pada musnahnya peradaban, sehingga memerlukan adanya pengelolaan yang baik terhadap budaya bangsa dan menjadi paradoks bahwa suatu bangsa memiliki budaya yang kaya di masa lalu tetapi kemudian peradaban bisa hancur karena adanya budaya-budaya atau nilai-nilai yang dibawa oleh budaya atau peradaban lain.
"Maka, manusia harus membangun dan mempertahankan, memelihara nilai-nilai budaya dari setiap peradaban dan seharusnya perkembangan peradaban manusia tidak menghancurkan budaya dari peradaban atau bangsa mana pun," kata Agus.