Kemenperin: Insentif tarif pungutan ekspor CPO dorong investasi
20 Oktober 2021 16:28 WIB
Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika. ANTARA/HO-Biro Humas Kemenperin/am.
Jakarta (ANTARA) - Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika mengatakan insentif tarif pungutan ekspor secara progresif berdasarkan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) internasional dan rantai nilai industri telah mendorong investasi di sektor industri hilir pengolahan minyak sawit di dalam negeri.
"Adapun tarif pungutan ekspor progresif terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan/levy dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan," katanya lewat keterangannya di Jakarta, Rabu.
Menurut Putu, dengan kebijakan tarif levy ditambah bea keluar yang progresif, beberapa perusahaan perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki kebun, saat ini telah dan sedang membangun industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri.
Hal tersebut merupakan langkah Kemenperin yang dipertahankan sebagai upaya hilirisasi berbasis CPO dan crude palm kernel oil (CPKO).
Sebab, lanjut Putu, tarif pungutan ekspor untuk bahan baku CPO/CPKO jauh lebih tinggi daripada produk intermediate dan produk hilir. Upaya itu disebut sebagai insentif bagi industri pengolahan dalam negeri.
Langkah lainnya, Kemenperin juga menyiapkan kawasan industri sebagai lokus investasi baru/perluasan industri hilir kelapa sawit, mengusulkan pemberian harga khusus gas bumi untuk industri oleokimia dan memfasilitasi promosi investasi industri hilir sawit di berbagai ajang internasional seperti tahun ini di Hannover Messe, Jerman, dan Dubai Expo.
Putu menambahkan sampai saat ini, hanya produk ekspor biodiesel dari minyak sawit yang masih menghadapi hambatan trade remedies, khususnya dari Uni Eropa.
Sejak 2016, Kemenperin telah aktif dalam working group untuk menyiapkan data industri sebagai bahan litigasi sidang WTO.
Lalu, pada 2017, Kemenperin juga mengirimkan delegasi untuk mengikuti sidang dispute settlement body (DSB) terkait antidumping biodiesel dari minyak sawit di Kantor Pusat WTO, Jenewa.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa Kemenperin sangat berkepentingan untuk menyelesaikan isu trade remedies dalam rangka mengamankan kinerja industri dan ekspor produk biodiesel dari minyak sawit dalam negeri," tutur Putu.
Sepanjang Januari-Juli 2021, total ekspor nasional mencapai 120,58 miliar dolar AS. Sementara itu, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya menembus 19,4 miliar dolar AS atau berkontribusi sebesar 16,09 persen terhadap total ekspor Indonesia tersebut.
Nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya itu mengalami kenaikan 55,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar 12,44 miliar dolar AS.
Bahkan, selama lima tahun terakhir, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 1,98 persen.
Putu mengemukakan telah banyak berkembang investasi baru atau perluasan usaha di sektor industri oleofood, oleokimia, dan biofuel.
Peningkatan investasi ini didorong oleh kebijakan kemudahan investasi (ease of doing business), kebijakan pengamanan bahan baku CPO/CPKO di dalam negeri, kebijakan harga gas industri, serta pemberian insentif perpajakan berupa tax allowance dan tax holiday.
Contoh investasi tersebut, yakni Unilever Oleochemical Indonesia (Unilever) yang berlokasi di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumut.
Sepanjang 2012-2020, telah melakukan investasi sebesar Rp2,5 triliun untuk pengoperasian pabrik oleokimia yang menggunakan bahan baku CPKO dari PTPN III.
"Setelah diberikan kebijakan harga gas bumi tertentu, efisiensi produksinya meningkat, sehingga Unilever berencana untuk memperluas investasi di lokasi yang sama dengan nilai Rp2,5 triliun. Jadi, pada akhir 2024, total investasi Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei akan mencapai lebih dari Rp5 triliun, yang menghasilkan produk personal wash untuk diekspor ke berbagai negara," sebut Putu.
Baca juga: Kemenperin sebut industri sawit mampu hasilkan 160 produk hilirisasi
Baca juga: Industri berharap harga gas enam dolar per MMBTU segera dijalankan
Baca juga: Tingkatkan devisa, Kemenperin pacu hilirisasi industri CPO
"Adapun tarif pungutan ekspor progresif terdiri atas tarif pungutan dana perkebunan/levy dan tarif bea keluar yang ditetapkan dinamis sesuai harga referensi bulanan," katanya lewat keterangannya di Jakarta, Rabu.
Menurut Putu, dengan kebijakan tarif levy ditambah bea keluar yang progresif, beberapa perusahaan perkebunan yang sebelumnya hanya memiliki kebun, saat ini telah dan sedang membangun industri pengolahan minyak sawit di dalam negeri.
Hal tersebut merupakan langkah Kemenperin yang dipertahankan sebagai upaya hilirisasi berbasis CPO dan crude palm kernel oil (CPKO).
Sebab, lanjut Putu, tarif pungutan ekspor untuk bahan baku CPO/CPKO jauh lebih tinggi daripada produk intermediate dan produk hilir. Upaya itu disebut sebagai insentif bagi industri pengolahan dalam negeri.
Langkah lainnya, Kemenperin juga menyiapkan kawasan industri sebagai lokus investasi baru/perluasan industri hilir kelapa sawit, mengusulkan pemberian harga khusus gas bumi untuk industri oleokimia dan memfasilitasi promosi investasi industri hilir sawit di berbagai ajang internasional seperti tahun ini di Hannover Messe, Jerman, dan Dubai Expo.
Putu menambahkan sampai saat ini, hanya produk ekspor biodiesel dari minyak sawit yang masih menghadapi hambatan trade remedies, khususnya dari Uni Eropa.
Sejak 2016, Kemenperin telah aktif dalam working group untuk menyiapkan data industri sebagai bahan litigasi sidang WTO.
Lalu, pada 2017, Kemenperin juga mengirimkan delegasi untuk mengikuti sidang dispute settlement body (DSB) terkait antidumping biodiesel dari minyak sawit di Kantor Pusat WTO, Jenewa.
"Hal tersebut menunjukkan bahwa Kemenperin sangat berkepentingan untuk menyelesaikan isu trade remedies dalam rangka mengamankan kinerja industri dan ekspor produk biodiesel dari minyak sawit dalam negeri," tutur Putu.
Sepanjang Januari-Juli 2021, total ekspor nasional mencapai 120,58 miliar dolar AS. Sementara itu, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya menembus 19,4 miliar dolar AS atau berkontribusi sebesar 16,09 persen terhadap total ekspor Indonesia tersebut.
Nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya itu mengalami kenaikan 55,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020 sebesar 12,44 miliar dolar AS.
Bahkan, selama lima tahun terakhir, nilai ekspor kelapa sawit dan produk turunannya mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 1,98 persen.
Putu mengemukakan telah banyak berkembang investasi baru atau perluasan usaha di sektor industri oleofood, oleokimia, dan biofuel.
Peningkatan investasi ini didorong oleh kebijakan kemudahan investasi (ease of doing business), kebijakan pengamanan bahan baku CPO/CPKO di dalam negeri, kebijakan harga gas industri, serta pemberian insentif perpajakan berupa tax allowance dan tax holiday.
Contoh investasi tersebut, yakni Unilever Oleochemical Indonesia (Unilever) yang berlokasi di Kawasan Industri Sei Mangkei, Sumut.
Sepanjang 2012-2020, telah melakukan investasi sebesar Rp2,5 triliun untuk pengoperasian pabrik oleokimia yang menggunakan bahan baku CPKO dari PTPN III.
"Setelah diberikan kebijakan harga gas bumi tertentu, efisiensi produksinya meningkat, sehingga Unilever berencana untuk memperluas investasi di lokasi yang sama dengan nilai Rp2,5 triliun. Jadi, pada akhir 2024, total investasi Unilever di Kawasan Industri Sei Mangkei akan mencapai lebih dari Rp5 triliun, yang menghasilkan produk personal wash untuk diekspor ke berbagai negara," sebut Putu.
Baca juga: Kemenperin sebut industri sawit mampu hasilkan 160 produk hilirisasi
Baca juga: Industri berharap harga gas enam dolar per MMBTU segera dijalankan
Baca juga: Tingkatkan devisa, Kemenperin pacu hilirisasi industri CPO
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: