Jakarta (ANTARA) - Penelitian dari Universitas Tennessee di Amerika Serikat tahun 2013 yang menyatakan bahwa lebih dari 80 persen bisnis gagal saat masuk tahun ke-3, makin menegaskan bahwa masih banyaknya pebisnis startup belum memahami bahwa membangun kekayaan melalui bisnis itu harus melalui proses, cara yang benar dan tak dapat instan.

Mengelola bisnis tentu tak cukup hanya fokus pada pemasarannya, tetapi juga pada pengaturan keuangan, tim pendukung (sumber daya manusia), dan bagaimana efektifitas dalam pengelolaan operasional kerjanya.

Salah satu pemicu utama hancurnya bisnis menurut penelitian tersebut terjadi karena persoalan buruknya kompetensi sang pengelola.

Sehingga, ketika kekeliruan yang terjadi tidak dapat dipahami oleh sang pengampu bisnis untuk segera dibenahi, hal ini akan berdampak pada kesalahan dalam pengambilan keputusan yang cukup strategis yang nantinya dapat mengakibatkan kerugian secara beruntun dan akhirnya berakibat fatal bagi kelangsungan bisnis tersebut.

Rendahnya kompetensi para pengelola bisnis yang berbanding lurus dengan rendahnya literasi tentang aturan dalam jual beli yang benar, juga seolah ikut berkontribusi terhadap munculnya bisnis bodong yang tumbuh subur dimana-mana dan seringkali mendapat sambutan pada sebagian masyarakat.

Meskipun bisnis tersebut sifatnya musiman yakni booming karena menjanjikan keuntungan yang berlipat-lipat pada waktu singkat padahal bodong, ironisnya masih banyak orang yang tanpa berpikir panjang untuk serta merta menanamkan uangnya dengan cara menjual asetnya atau cara-cara lainnya yang sering tak dapat dicerna secara logika.

Intinya, buruknya kompetensi pada para pebisnis maupun masyarakat secara umum tentang aturan jual beli menjadi indikator penting mengapa masih banyak orang yang memiliki keyakinan serampangan untuk ingin berhasil dan kaya dalam sekejap tanpa menghitung risiko besar yang dapat terjadi di kemudian hari.

Mematangkan Gagasan

Lalu kompetensi apa yang diperlukan oleh sang founder startup agar bisnis yang didirikannya ini akan mampu survive dan terus bertumbuh dengan baik?

Pertama adalah kompeten dalam perencanaan atau gagasan. Gagasan atau ide bisnis bisa kita temukan kapan saja dan di mana saja, namun yang jadi permasalahan utama sebenarnya adalah proses eksekusi dari ide yang telah dipikirkan.

Oleh karena itu, pastikan ide bisnis memiliki potensi untuk menyelesaikan masalah sosial. Cobalah mulai cari ide dari lingkungan sekitar dan perhatikan hal apa yang sering kali mengganggu masyarakat sekitar. Dari situ coba telisik dan cari beberapa kemungkinan solusinya.

Secara umum ada tiga tahapan yang perlu dilakukan dalam mematangkan gagasan yakni mencari permasalahan, mencari orang-orang yang dirugikan dengan adanya permasalahan tersebut, kemudian mengkomunikasikan solusi yang dimiliki untuk bisa menyelesaikannya.

Baca juga: D.Camp Gangnam, membangun mimpi para startup Korea

Dari ketiga hal ini, kita akan dapat menyimpulkan apakah ide atau gagasan bisnis tersebut layak untuk dieksekusi atau tidak.

Setelah mendapat ide, cara membangun bisnis startup selanjutnya adalah menjabarkan tujuan dalam sebuah rencana bisnis yang terdiri dari beberapa tahap dan dikerjakan selama beberapa waktu ke depan.

Berusahalah mengerjakan daftar rencana sesuai waktu yang telah ditetapkan. Yang diperlukan dalam membuat rencana bisnis hanyalah sebuah konsep yang sederhana dan cobalah memikirkan hal-hal apa saja yang dibutuhkan.

Strategi yang sederhana dan dilakukan dengan target pasar yang tepat hasilnya ditambah visi bisnis yang bertujuan menyelesaikan masalah sosial, insya Allah outputnya akan membuat bisnis startup menjadi sukses dan terus bertumbuh. Hal ini dapat terjadi karena orang-orang akan terus membutuhkan solusi yang ditawarkan secara efektif dan efisien dalam menyelesaikan masalah mereka.

Kedua, biasanya di masa awal membangun startup, dengan siapa kita berdiskusi menjadi hal krusial untuk proses ke depannya. Orang-orang yang memiliki visi serupa akan banyak membantu kita di proses awal ini.

Mereka tak harus menjadi orang yang selalu setuju dengan semua gagasan kita. Karena se-visi di sini berarti orang-orang itu memiliki visi (tujuan besar) yang sama untuk membangun startup dan ikut berkontribusi bagi masyarakat luas.

Mereka bisa saja memiliki pendekatan dan insight yang berbeda. Hal ini justru harus kita syukuri karena mereka bisa menyumbang ide dan inovasi untuk memperbaiki startup.

Di masa awal terbentuknya startup, jangan lupa pula untuk berdiskusi dengan penasihat hukum, akuntan, dan penasihat keuangan. Ketiga orang ini akan sangat membantu menetapkan pondasi kuat untuk bisnis ke depan.

Ketiga, banyak orang yang memiliki ide bisnis seringkali ragu untuk menjalankannya karena takut gagal dengan adanya keterbatasan modal.


Modal Bisnis

Padahal usaha bisa dimulai dengan modal terbatas tanpa harus mengajukan utang ke bank, koperasi, atau lembaga keuangan lainnya asal kita bersungguh-sungguh dan memiliki kompetensi dalam mengelola dan menyiasati kondisi keuangan startup.

Kata kuncinya adalah dengan berkolaborasi. Sedangkan kolaborasi dapat berarti sebuah upaya mempertemukan berbagai potensi dan energi (termasuk modal) yang dimiliki masing-masing pihak yang bermitra untuk digunakan bersama-sama sehingga tercapai tujuan bersama bagi para pihak dalam meraih sukses.

Modal yang dikolaborasikan pun bisa beragam. Ada yang memiliki modal berwujud harta, ada pula yang memiliki modal dalam wujud pengetahuan dalam berbisnis.

Baca juga: Resep membangun startup dari CEO Bukalapak

Dalam kolaborasi pastinya pihak-pihak yang akan kita ajak bergabung dalam membiayai startup, memiliki aturan main yang disepakati bersama agar kerjasama bisnis menjadi langgeng dan bertumbuh.

Prinsipnya, kompeten dalam menyiapkan modal bisnis akan berbanding lurus dengan tingkat integritas sang founder startup dan kompetensinya dalam memahami aturan jual beli.

Keempat dan menjadi yang paling penting dalam membangun startup adalah kompetensi untuk mengeksekusi ide bisnis. Sebab banyak orang mengira bahwa yang terpenting adalah ide.


Ide dan eksekusi

Ide yang keren tentu akan lebih mudah menghasilkan kesuksesan dibandingkan dengan ide yang biasa-biasa saja. Menambah pengetahuan dengan membaca-baca buku atau mengikuti berbagai materi terkait dengan entrepreneurship sepertinya juga mendorong hal ini. Disruptive idea, brilliant idea atau lainnya kini menjadi kata-kata yang sering digunakan.

Namun coba kita perhatikan perusahaan-perusahaan teknologi dunia. Apakah ide adalah bagian terpenting yang menjadikan mereka menjadi sebesar ini?

Mari kita lihat bagaimana Facebook menjadi aplikasi media sosial dimana ide-nya adalah untuk menghubungkan orang-orang, padahal ide ini sesungguhnya sudah dilakukan oleh media sosial sebelumnya seperti Friendster, Myspace, dan lainnya.

Begitu pun dengan Instagram sebagai sebuah aplikasi media sosial yang ditujukan untuk mengunggah gambar agar bisa di-like atau dikomentari orang lain.

Aplikasi media sosial ini pun dapat dikatakan bukanlah yang pertama dengan tujuan mengunggah gambar atau dianggap punya ide keren. Sebab untuk membuat aplikasi seperti Instagram ini, banyak sekali orang di dunia ini yang diyakini dapat melakukannya.

Lantas apa yang menjadikan Instagram sukses? Instagram menjadi sangat unggul baik dari sisi user experience (simpel, bagaimana cara mereka menghubungkan penggunanya, bikin pengguna betah berlama-lama mengakses, dll) dan teknologi (sekian juta atau bahkan miliaran foto yang diunggah setiap saat tak membuat aplikasi tersebut bermasalah).

Baca juga: "Startup" yang dinamis jadi pilihan incaran para pekerja muda

Gagasan perusahaan-perusahaan seperti Facebook dan Instagram ini sebetulnya sudah pernah dibuat oleh aplikasi lain sebelumnya. Ide atau gagasan mereka bukan berarti tidak baik, melainkan ide mereka ini bukanlah sesuatu yang sama sekali baru.

Kehebatan mereka justru bukan pada idenya, melainkan bagian terpenting yang membuat mereka menjadi sebesar ini adalah kompeten untuk mengeksekusi.

Apakah itu berarti ide menjadi tidak penting? Tidak juga. Tentu ide yang tidak bagus akan membuat startup kita tidak menarik bagi konsumen. Namun hanya memiliki ide yang bagus saja, tidak akan cukup untuk membesarkan startup kita.

Di tahap awal, memiliki ide yang baik membuat startup kita akan lebih mudah dilirik orang. Namun yang menentukan keberhasilan di dalam jangka panjang adalah eksekusi itu sendiri.

Bahkan, startup dengan ide yang biasa saja namun jika dieksekusi dengan sangat baik, bisa saja lebih berhasil dibandingkan startup dengan ide yang baik namun dieksekusi seadanya.

Kita akan sering temukan kasus di mana orang sangat berfokus kepada ide. Mereka membuat perencanaan bisnis yang tebal dan menganalisis business model canvas dengan sangat detail.

Namun, mereka seringkali kurang bahkan tidak memperhatikan bagaimana output/eksekusi dari ide tersebut. Hal ini terlihat dari startup yang dibuat seadanya dan tak relevan dengan business plan yang dibuat.

Oleh karena itu dalam membangun startup, buatlah business plan, business model canvas, dan lainnya sebaik dan selengkap mungkin untuk mempertajam ide startup.

Namun, jangan lupa pula habiskan waktu lebih banyak untuk menguji ide tersebut kepada konsumen dan buatlah aplikasi yang relevan untuk bisa mengimplementasi ide tersebut.

*) Baratadewa Sakti Perdana, Praktisi Keuangan Keluarga dan Pendamping Bisnis UMKM dari Shafa Consulting