Penghentian TKI ke Arab Idealnya Dilakukan Indonesia
17 Februari 2011 19:46 WIB
Sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang melebihi batas izin tinggal (overstayers) tiba kembali di tanah air melalui Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Senin (14/2). Pemerintah Indonesia akhirnya memulangkan sebanyak 301 orang warga negara Indonesia (WNI) overstayers, terdiri dari 238 perempuan, 25 anak-anak dan 38 laki-laki yang sebagian merupakan TKI dan sempat terlantar di kolong jembatan Kandarah, Jeddah, Arab Saudi. FOTO ANTARA/Ismar Patrizki/hp/11.
Bandung (ANTARA News) - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat Netty Heryawan, menyatakan penghentian pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Saudi Arabia, idealnya menjadi inisiatif pemerintah Indonesia sebelum pemerintah Arab Saudi yang memutuskan.
"Saya berpendapat idealnya penghentian kebijakan pengiriman TKI ke Saudi itu datang dari pemerintah Indonesia. Mengapa, karena selama ini TKI yang menjadi korban kekerasan atau apapun di Saudi Arabia itu tidak jelas pertanggung jawabannya. Proses pengirimannya pun sangat tidak manusiawi," kata Netty Heryawan, saat ditemui di RSHS Hasan Sadikin Bandung, Kamis.
Ia mengatakan, jika dilihat dari kasus per kasus jumlah korban kekerasan TKI di Saudi Arabia sangat memprihatinkan.
Hal ini terjadi, kata Netty, karena belum jelasnya jaminan keamanan TKI dari pemerintah Indonesia.
"Bahkan, perjanjian bilateral yang mengarah terhadap perlindungan TKI dengan pemerintah Saudi hingga saat ini belum ada," ujarnya.
Ia berharap, pemerintah Indonesia seharusnya dapat mencari prioritas negara yang memanfaatkan TKI dengan adanya jaminan perlindungan keamanan dan kenyamanan kerja.
Sehingga, pada saat TKI bekerja tentunya tidak akan timbul masalah-masalah seperti halnya yang selama ini kerap dialami TKI.
"Kita harus berani mengarahkan prioritas negara mana yang akan menjamin keamanan. Tentunya negara yang memiliki komitmen yang jelas harus kita prioritaskan, " kata Netty.
Ia menambahkan, jika agen-agen tenaga kerja di Indonesia saat ini sangat lemah meberikan pembekalan terhadap calon TKI.
"Akibatnya, berbagai persoalan kerap dialami calon TKI karena tidak jelasnya proses pemberangkatan TKI," katanya.
Menurutnya, sekitar 70 persen TKI asal Jabar yang bermasalah, terjadi pada saat pra penempatan, 20 persen pada saat proses penempatan dan sisanya sekitar 10 persen pada saat purna kontrak.
"Ini juga harus dijadikan perhatikan bagi seluruh steakholder yang ada," katanya.
Ia menambahkan, adanya kebijakan penghentian TKI ke Saudi seharusnya jadi bahan instropeksi seluruh komponen.
Dikatakannya, permasalahan ini harus diurai mana yang menjadi tanggung jawab pusat dan mana yang harus diperkuat oleh daerah.
Selain itu, lanjut Netty, persiapan pra pemberangkatan dan pembekalan wawasan harusnya menjadi salah satu syarat penting bagi para calon TKI hingga mereka dapat dengan mudah beradaptasi. (ANT/K004)
"Saya berpendapat idealnya penghentian kebijakan pengiriman TKI ke Saudi itu datang dari pemerintah Indonesia. Mengapa, karena selama ini TKI yang menjadi korban kekerasan atau apapun di Saudi Arabia itu tidak jelas pertanggung jawabannya. Proses pengirimannya pun sangat tidak manusiawi," kata Netty Heryawan, saat ditemui di RSHS Hasan Sadikin Bandung, Kamis.
Ia mengatakan, jika dilihat dari kasus per kasus jumlah korban kekerasan TKI di Saudi Arabia sangat memprihatinkan.
Hal ini terjadi, kata Netty, karena belum jelasnya jaminan keamanan TKI dari pemerintah Indonesia.
"Bahkan, perjanjian bilateral yang mengarah terhadap perlindungan TKI dengan pemerintah Saudi hingga saat ini belum ada," ujarnya.
Ia berharap, pemerintah Indonesia seharusnya dapat mencari prioritas negara yang memanfaatkan TKI dengan adanya jaminan perlindungan keamanan dan kenyamanan kerja.
Sehingga, pada saat TKI bekerja tentunya tidak akan timbul masalah-masalah seperti halnya yang selama ini kerap dialami TKI.
"Kita harus berani mengarahkan prioritas negara mana yang akan menjamin keamanan. Tentunya negara yang memiliki komitmen yang jelas harus kita prioritaskan, " kata Netty.
Ia menambahkan, jika agen-agen tenaga kerja di Indonesia saat ini sangat lemah meberikan pembekalan terhadap calon TKI.
"Akibatnya, berbagai persoalan kerap dialami calon TKI karena tidak jelasnya proses pemberangkatan TKI," katanya.
Menurutnya, sekitar 70 persen TKI asal Jabar yang bermasalah, terjadi pada saat pra penempatan, 20 persen pada saat proses penempatan dan sisanya sekitar 10 persen pada saat purna kontrak.
"Ini juga harus dijadikan perhatikan bagi seluruh steakholder yang ada," katanya.
Ia menambahkan, adanya kebijakan penghentian TKI ke Saudi seharusnya jadi bahan instropeksi seluruh komponen.
Dikatakannya, permasalahan ini harus diurai mana yang menjadi tanggung jawab pusat dan mana yang harus diperkuat oleh daerah.
Selain itu, lanjut Netty, persiapan pra pemberangkatan dan pembekalan wawasan harusnya menjadi salah satu syarat penting bagi para calon TKI hingga mereka dapat dengan mudah beradaptasi. (ANT/K004)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2011
Tags: