Jakarta (ANTARA) - Sejak wacana amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bergulir di tengah masyarakat, terdapat berbagai pandangan yang menimbulkan sebuah pertanyaan. Perlukah pemerintah melakukan amendemen UUD NRI Tahun 1945?

Para pemegang kekuasaan mengklaim bahwa mereka perlu melakukan amendemen UUD 1945 untuk mengakomodasi kepentingan rakyat dengan lebih maksimal, terlebih untuk menyesuaikan konstitusi Indonesia dengan perkembangan zaman saat ini.

Di sisi lain, sebagian besar rakyat, yang haknya akan diperjuangkan oleh para pemegang kekuasaan, justru menunjukkan bahwa amendemen kelima UUD 1945 tidak perlu dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana yang ditampilkan dalam hasil dari beberapa survei terkait dengan amendemen kelima UUD 1945.

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menunjukkan bahwa 78 persen rakyat Indonesia tidak menginginkan adanya amendemen. Hal yang senada juga ditampilkan oleh hasil survei Indikator yang menunjukkan 69 persen dari kelompok elite dan 55 persen responden publik yang menyatakan bahwa belum saatnya amendemen UUD 1945.

Dengan demikian, apakah amendemen UUD 1945 benar-benar perlu untuk dilakukan oleh pemerintah? Bagaimana cara memastikan amendemen kelima UUD 1945 dapat memenuhi kebutuhan masyarakat?

Baca juga: Survei SMRC: 78 persen masyarakat tidak inginkan amendemen UUD 1945

Faktor Pendorong

Dalam pidato pembukaan Sidang Tahunan MPR, DPR, DPD RI yang dibacakan oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo pada tanggal 16 Agustus 2021, terdapat pernyataan bahwa perubahan secara terbatas terhadap UUD 1945 perlu guna menambahkan wewenang MPR untuk menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

PPHN, kata Bambang Soesatyo, akan menjadi payung ideologi dan konstitusional dalam penyusunan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang bersifat teknokratis.

Bamsoet, sapaan akrab Bambang Soesatyo, menekankan pentingnya MPR memiliki wewenang untuk menetapkan PPHN guna memastikan potret wajah Indonesia Masa Depan, 50—100 tahun yang akan datang, yang penuh dengan dinamika perkembangan nasional, regional, dan global sebagai akibat revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.

Perubahan secara terbatas, Bamsoet meyakini tidak memungkinkan untuk membuka kotak pandora.

Selain itu, dari sisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), terdapat agenda untuk menguatkan kelembagaan DPD RI sebagai lembaga perwakilan dalam sistem bikameral.

Apabila penguatan kelembagaan DPD RI dapat melalui amendemen kelima UUD 1945, kata Ketua DPD RI AA La Nyalla Mahmud Mattalitti, lembaga tersebut dapat menampung berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus dapat menjamin keputusan di tingkat nasional mengakomodasi kepentingan daerah.

Penguatan DPD RI akan berimplikasi pada Pemerintah yang menciptakan keputusan melalui mekanisme double check untuk menjamin tersalurkannya aspirasi kepentingan daerah.

Melalui penjelasan dari La Nyalla, kepentingan DPD untuk mendorong agenda amendemen kelima UUD 1945 berpusat pada penyaluran kepentingan daerah dalam setiap kebijakan di tingkat nasional. Penguatan kelembagaan DPD dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masing-masing daerah di Indonesia.

Akan tetapi, selain memperjuangkan penguatan kelembagaan, DPD RI juga berusaha untuk membuka kesempatan bagi para putra dan putri Indonesia, calon pemimpin bangsa, agar dapat menjadi calon presiden independen tanpa diusung oleh partai politik.

Di dalam UUD 1945 yang berlaku saat ini, calon presiden hanya bisa ditentukan oleh partai politik. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Sementara itu, menurut Wakil Ketua III DPD RI Sultan Bachtiar Najamudin, bangsa Indonesia memiliki potensi pemimpin yang begitu besar. Akan tetapi, tidak semuanya menjadi bagian dari partai politik.

Hal serupa juga pernah diungkapkan oleh anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini. Ia mengatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang independen terkendala ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.

Oleh karena itu, menurut DPD, amendemen kelima UUD 1945 dapat membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia untuk dapat mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden.

Faktor-faktor tersebut telah menunjukkan antusiasme para pemegang kekuasaan untuk mengamendemen UUD 1945. Lantas mengapa sebagian besar masyarakat menolak amendemen kelima UUD 1945?

Baca juga: Membangun budaya di tengah konflik konstitusional

Pandangan Masyarakat

Sejumlah politikus dan akademikus yang tergabung dalam Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) menyatakan penolakannya terhadap wacana amendemen UUD 1945 di Forum Diskusi Salemba ILUNI UI Ke-61.

Adapun berbagai alasan yang melatarbelakangi penolakan tersebut adalah anggapan bahwa amendemen UUD 1945 belum mendesak dan membutuhkan evaluasi serta kajian yang lengkap atas hasil perubahan sebelumnya.

Ketua Fraksi Partai Demokrat MPR RI Benny K. Harman mengatakan bahwa Pemerintah harus membuktikan permasalahan amendemen keempat UUD 1945 secara komprehensif sebelum merumuskan perubahan kelima UUD 1945.

Selanjutnya, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menegaskan bahwa upaya membentuk PPHN melalui amendemen UUD 1945 tidak kompatibel dengan sistem ketatanegaraan.

Membentuk PPHN menjadi tidak kompatibel karena MPR tidak lagi menempati posisi sebagai lembaga tertinggi di Indonesia. MPR tidak memilih presiden dan wakil presiden sehingga tidak dapat memberi mandat seperti GBHN.

Beranjak menuju hasil survei Saiful Mujadi Research and Consulting, sebanyak 66 persen responden menilai bahwa UUD 1945 merupakan rumusan terbaik dan tidak boleh diubah atas alasan apa pun bagi Indonesia yang lebih baik.

Sebanyak 12 persen menilai bahwa UUD 1945 buatan manusia karena itu mungkin ada kekurangan. Namun, sejauh ini UUD 1945 yang sedang berlaku dianggap paling pas bagi kehidupan Indonesia yang lebih baik.

Berbagai pandangan masyarakat tersebut telah menunjukkan bahwa agenda-agenda yang diangkat oleh pihak berwenang masih belum mengakomodasi kepentingan mayoritas rakyat Indonesia.

Padahal, mengamendemen konstitusi merupakan tindakan yang penting guna memastikan UUD 1945 dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat seiring dengan perkembangan zaman.

Dunia yang begitu dinamis, terlebih dengan perkembangan teknologi dan pola interaksi antarmasyarakat, mengakibatkan Indonesia membutuhkan dasar aturan terkini untuk menjamin keharmonisan bangsa dan negara.

Berkaca pada negara lain, mengamendemen konstitusi bukan merupakan tindakan yang tabu. Akan tetapi, sebaiknya tidak terburu-buru.

Oleh karena itu, guna memastikan amendemen dapat memenuhi kebutuhan rakyat, para pemegang kekuasaan harus merangkul para peneliti untuk mengevaluasi amendemen keempat UUD 1945 dan mengkaji berbagai permasalahan bangsa ini yang tidak dapat diakomodasi oleh amendemen keempat UUD 1945.

Hasil kajian dapat digunakan untuk menjadi dasar pemerintah dalam merumuskan amendemen kelima UUD 1945.

Selanjutnya, pemerintah juga harus mendengar masukan-masukan dari masyarakat, khususnya melalui organisasi masyarakat sipil yang berasal dari berbagai bidang, untuk mengetahui apa yang benar-benar dibutuhkan oleh rakyat.

Kesempatan tersebut juga dapat digunakan oleh Pemerintah untuk berbagi hasil kajian dan mengetahui respon masyarakat tentang agenda apa saja yang akan menjadi pembahasan dalam amendemen kelima UUD 1945.

Tindakan terpenting adalah melakukan sosialisasi untuk memastikan tidak ada isu-isu miring yang berkembang di tengah masyarakat, apalagi isu yang dapat memicu ketidakstabilan politik.

Dengan demikian, amendemen kelima UUD 1945 dapat dilakukan dan dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat Indonesia dengan maksimal.

Baca juga: Hamdan Zoelva: Konflik konstitusional soal PPHN munculkan tanda tanya