"Contoh ketika Pilpres 2019 lalu, pembelahan politiknya luar biasa. Bahkan, sampai ada perceraian akibat perbedaan pilihan Capres. Jadi pernikahan yang merupakan wahana ibadah dalam Islam, bisa porak poranda akibat pilihan politik. Ini akibat dari politisasi agama," ujar Mahfudz dalam Webinar Moya Institute bertajuk "Umat Islam Indonesia: Ummatan Wasathan" secara daring, di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, "Ummatan Wasathan" merupakan konsep masyarakat harmonis, moderat dan berdiri di tengah-tengah sehingga dapat diterima oleh semua pihak.
Baca juga: Mahfudz: Ada yang ingin jadikan TWK KPK panggung besar
Sedikit saja bergeser dari dua nilai tersebut, maka akan menjauh dari masyarakat Ummatan Wasathan, bahkan bisa membuat umat Islam menjelma menjadi faktor yang destruktif.
Terkait faktor Pemahaman, Mahfudz mencontohkan pengalaman 3 tahun lalu, ketika dirinya meminta pengurus mushalla di dekat rumahnya mengecilkan suara pengeras suara karena di riumahnya ada balita sakit.
"Namun isu yang muncul kemudian adalah ada 'orang politik yang melarang azan di mushalla, isu yang membuat saya harus memberi klarifikasi," ujar Mahfudz.
Baca juga: Anis Matta: Persoalan besar pandemi adalah ketidakpastian informasi
Indonesia, lanjut dia, bisa menjadi contoh bagaimana Islam bisa kompatibel dengan nasionalisme, kebangsaan dan demokrasi.
"Dan sudah saatnya memang, Indonesia berani tampil sebagai pemimpin dunia Islam, di tengah kerusakan yang timbul akibat 'power politics' negara-negara besar di negeri-negeri Muslim seperti Afghanistan, Libya, Suriah, Irak dan Yordania," ujar Imron Cotan.
Dalam kesempatan yang sama, Pengacara sekaligus Politisi PDIP Kapitra Ampera menegaskan, umat pertengahan atau Ummatan Wasathan ini adalah doktrin yang ada dalam ajaran Islam.
Namun, lanjutnya, harus dibedakan antara doktrin beragama dengan perilaku beragama.
Baca juga: Anis Matta: Persoalan besar pandemi adalah ketidakpastian informasi