Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi Kerja sama dan Kelembagaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ermanto Fahamsyah menyebutkan Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara dengan pasar konsumen halal terbesar di dunia.


“Kalau dikaitkan dengan konteks Indonesia, tentu sangat relatable dan manageable. Karena kita semua tahu bahwa Indonesia menduduki peringkat pertama sebagai negara pasar konsumen halal terbesar di dunia,” kata Ermanto dalam webinar Kewajiban Menyajikan Layanan Informasi Halal Bagi E-commerce Demi Terwujudnya Perlindungan dan Kenyamanan Konsumen yang diikuti di Jakarta, Kamis.


Ermanto menuturkan bila dikaitkan dengan Indonesia, peringkat tersebut merupakan hal yang yang wajar karena berhubungan dengan masyarakat Indonesia yang sebesar 80 persen penduduknya, merupakan penganut agama islam.


Lebih lanjut berdasarkan data Global Islamic Economy Report 2020-2021, dia menyebutkan besar jumlah konsumsi masyarakat muslim bahkan mampu mencapai 144 Miliar dolar AS.


Hal tersebut membuktikan selain sebagai peringkat pertama pasar konsumen halal dunia, dia menjelaskan Indonesia juga mampu menduduki peringkat keempat dalam indikator ekonomi islam global pada tahun 2020 hingga 2021.


Data tersebut ikut menunjukkan, sekitar 229 juta Muslim di Indonesia mewakili sebesar 30 persen dari populasi umat Muslim global.


“Ini menunjukkan suatu kolerasi Indonesia menduduki peringkat keempat dalam indikator ekonomi islam global tahun 2020 hingga 2021. Di mana di sana data menunjukkan sekitar 229 juta Muslim yang mewakili 30 persen dari populasi Muslim global, berada di Indonesia,” kata dia.


Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, mampu menggerakkan ekonomi halal di berbagai bidang kehidupan bangsa.


“Secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masih mayoritas Muslim sekitar 87,2 persen, dan ini membutuhkan produk halal, baik diminta maupun tidak diminta,” kata Tulus.


Menurut Tulus, produk-produk halal tersebut tidak hanya berhubungan dengan makanan ataupun minuman saja, tetapi juga selalu dibutuhkan dalam berbagai bidang seperti fashion, farmasi, jasa hingga pariwisata yang halal.


Ia mengatakan, banyaknya produk halal yang digunakan oleh umat Muslim memunculkan sebuah tren di mana setiap pihak yang menawarkan barang dan jasa membutuhkan sertifikat halal.

Baca juga: BPKN: MUI perlu kolaborasi dengan BPJPH soal jaminan produk halal

Baca juga: BPJPH: Semua produk yang diedarkan wajib bersertifikat halal



“Sertifikat halal juga sedang menjadi tren. Kita tahu saat ini Jepang menyediakan masjid berjalan karena banyak konsumen halal dari negara Muslim,” kata dia memberikan contoh.


Lebih lanjut Tulus menyebutkan, kontribusi makanan halal di Indonesia mencapai sebesar 170 miliar US dollar atau sebesar 13 persen di tingkat global.


Meskipun Indonesia memberikan prestasi, dia menyoroti masih banyak pelaku usaha yang tidak agresif mengajukan sertifikat halal dibandingkan pelaku usaha dari negara lain yang berdagang di Tanah Air.


Ia meminta semua penjual dapat lebih aktif melakukan sertifikasi dan mencantumkannya pada produk yang dijual sehingga dapat membantu masyarakat dalam menjaga keamanan produk yang dikonsumsi.


“Ini merupakan anomali di negara (yang mayoritas penduduknya) Muslim. Pelaku usahanya tidak serta merta melakukan sertifikasi halal, tapi negara non-Muslim dia akan berdagang di Indonesia, dia malah agresif mengajukan sertifikasi halal ke LPOM MUI,” ujar dia.

Baca juga: Kemenag luncurkan Program Sehati fasilitasi pelaku UMK agar naik kelas

Baca juga: MUI nilai sertifikasi halal untungkan produsen