Jakarta (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengklaim tren restrukturisasi kredit yang dilakukan oleh industri perbankan di Tanah Air yang sempat mencapai hampir senilai Rp1.000 triliun kini terus melandai, seiring membaiknya situasi pandemi.

"Restrukturisasi kredit posisi terakhir mencapai Rp744,75 triliun di mana tren restrukturisasi kredit terus melandai dan bahkan kita harapkan angka terakhir sudah lebih rendah dari itu, kira-kira sudah mencapai Rp720 triliun," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam Capital Market Summit & Expo (CMSE) 2021 di Jakarta, Kamis.

Wimboh pun menilai hal tersebut tak lepas dari sinergi kebijakan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan selama masa pandemi ini, khususnya melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

"Itu merupakan payung hukum kita semua dalam menangani pandemi COVID-19 bagi perekonomian kita dan sektor keuangan. Kebijakan-kebijakan tersebut juga kita lakukan dengan sangat hati-hati dan terintegrasi seluruh sektor," ujar Wimboh.

Ia menambahkan berbagai upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah, otoritas keuangan, dan berbagai pihak, juga menunjang kembalinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke posisi pra pandemi.

Baca juga: OJK perpanjang relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2023

"Pada 8 Oktober 2021, IHSG tercatat pada level 6.481,77 atau tumbuh signifikan 8,41 persen year to date dengan aliran dana nonresiden tercatat masuk sebesar Rp28,38 triliun year to date. Seiring dengan perkembangan yang menggembirakan tersebut, tercatat pula preferensi investor asing dari SBN kita di mana ini merupakan indikasi bukan saja domestik tapi juga global, sudah memberikan sinyal positif terhadap Indonesia," kata Wimboh.

Hal itu, lanjut Wimboh, juga dibuktikan dengan penghimpunan dana melalui pasar modal hingga 5 Oktober 2021 telah mencapai Rp266,82 triliun dari 35 emiten baru yang melakukan penawaran umum. Capaian tersebut melampaui penghimpunan dana pada 2020 yang hanya Rp118 triliun.

Selain itu, pasar modal juga telah mencatatkan lonjakan pertumbuhan investor ritel yang signifikan di mana hingga September 2021 ada 6,4 juta investor atau tumbuh 100,51 persen secara tahunan.

Di tengah fluktuasi ekonomi global, OJK juga terus mengamati kondisi domestik, khususnya terkait pemulihan mobilitas dan juga konsumsi masyarakat, di mana Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebanyak 55,07 persen berasal dari konsumsi rumah tangga sehingga strategi percepatan perekonomian ke depan harus difokuskan pada beberapa hal.

"Pertama keberhasilan penanganan pandemi melalui akselerasi vaksinasi nasional dan kesiapan fasilitas kesehatan sebagai langkah yang preventif dan antisipatif. Dan ini akan terus dilakukan. Kedua, arah kebijakan fiskal dan moneter di negara maju dan normalisasi ini jadi perhatian kita sehingga kita harus bisa memitigasi dampak potensi negatif supaya kita bisa tetap resilient meski ada normalisasi kebijakan moenter di beberapa negara maju," ujar Wimboh.

Baca juga: OJK ungkap faktor restrukturisasi kredit diperpanjang

Ketiga, upaya mendorong permintaan domestik. Menurut Wimboh, upaya tersebut penting di mana dengan mobilitas yang lebih longgar diharapkan bisa menjadi sumber pertumbuhan yang paling besar dalam perekonomian nasional. Di samping itu, ujar Wimboh, upaya mendorong produksi produk yang berorientasi ekspor perlu tetap terus dilakukan.

"Tekstil demand-nya cukup besar di global. Kami mengharapkan produksi tekstil di Indonesia tidak terganggu sehingga ini potensi yang besar bagi kita baik pembiayaan-pembiayaan maupun bagaimana kebijakan kita arahkan agar kita punya competitive advantages dari produk tekstil yang permintaannnya di global luar biasa," kata Wimboh.

Berikutnya, pemulihan ekonomi pada sektor yang terdampak langsung oleh pandemi juga akan terus dipantau oleh OJK dan restrukturisasi akan terus dilakukan.

"Dan bagaimana kita bisa memberikan top up pinjaman terhadap sektor tersebut sehingga pada saatnya apabila sektor pariwisata ini sudah bangkit kembali, kita siap melayani dari berbagai transportasi hotel, kafe, dan servis-servis lain. Jangan sampai begitu pariwisata normal, ternyata kita tidak siap men-serve adanya potensi besar dari pariwisata tersebut," ujar Wimboh.

Baca juga: OJK: Sebanyak 72 persen debitur restrukturisasi kredit merupakan UMKM