Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) M Mufti Mubarok mengusulkan empat langkah solusi penyelesaian sengketa “surat ijo" di Surabaya.

Menurut Mufti Mubarok dalam Webinar Indonesia Consumer Club bertopik “Negara Harus Hadir, Penyelesaian Surat Ijo”, Rabu, empat langkah solusi itu yakni, pertama perubahan Perda Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 tentang Pelepasan Tanah Aset Pemerintah Kota Surabaya.

“Perda soal pelepasan tanah aset ini sebenarnya sudah ada, tapi sangat memberatkan warga,” kata Mufti Mubarok.

Hal yang memberatkan warga penghuni tanah "surat ijo” tercantum dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b UU Nomor 16 Tahun 2014, “Pemohon diwajibkan untuk membayar uang kompensasi yang jumlah dan cara pembayarannya sesuai dengan yang ditetapkan.”

Berdasarkan istilah pertanahan, “surat ijo” merupakan aset pemerintah kota yang dialihfungsikan menjadi lahan bangunan, rumah warga, ataupun lahan usaha lainnya sehingga penggunanya harus membayar retribusi kepada pemerintah.

Baca juga: Kepala Komite 1 DPD RI: Kendala hukum surat ijo harus segera diatasi
Baca juga: Ahli Utama Kementerian ATR: hati-hati tangani masalah "surat ijo"
Baca juga: Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya minta bantuan La Nyalla


Dalam penjelasan terhadap undang-undang itu, pembayaran kompensasi disesuaikan dengan nilai jual objek pajak atau harga umum setempat.

Karena pertimbangan terhadap banyaknya warga yang keberatan, BPKN mengatakan Perda Kota Surabaya Nomor 16 Tahun 2014 perlu direvisi. Sebaiknya, warga tidak berkewajiban membayar kompensasi.

Kedua, diperlukan pula perubahan Perda Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2016 tentang Izin Pemakaian Tanah. Menurut Mufti Mubarok, itu harus dihapus, terlebih karena adanya kewajiban para penghuni “tanah surat ijo” membayar retribusi sesuai ketentuan di dalamnya.

Selanjutnya yang ketiga, dibutuhkan keterlibatan dan koordinasi antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Kota Surabaya.

“Saya kira yang paling penting adalah koordinasi antara kementerian terkait,” ucap Mufti Mubarok.

Yang keempat, dibutuhkan Instruksi Presiden untuk membuat payung hukum koordinasi lintas kementerian dan lembaga serta pemerintah provinsi dan kota.

Menurut Mufti Mubarok, langkah keempat tersebut adalah langkah mutlak yang akan menjadi penyelesaian akhir sengketa “surat ijo Surabaya”.

Dia berharap setelah diadakan acara diskusi menanggapi masalah “surat ijo” yang tidak kunjung terselesaikan ini, tim teknis hukum segera dibentuk mengingat adanya kekhawatiran kendala hukum meskipun Pemerintah Kota Surabaya telah bersedia melepaskan tanah itu.

Mufti Mubarok mengatakan negara wajib menyelesaikan “surat ijo” Surabaya menjadi hak milik warga karena pelepasan tanah negara menjadi milik mereka demi kesejahteraan masyarakat.