Jakarta (ANTARA) - Menteri Keuangan Sri Mulyani, dalam Pertemuan Koalisi Menkeu Dunia untuk Aksi Iklim di Washington, AS, Selasa (12/10/2021), menilai pendekatan multilateral sangat penting agar upaya seluruh negara terkait perubahan iklim bisa bersatu.

Persatuan tersebut nantinya bisa memberikan pesan yang kuat mengenai pentingnya mengarusutamakan iklim ke dalam kebijakan ekonomi dan keuangan, serta mendesain transisi hijau yang adil dan terjangkau untuk setiap negara.

"Koalisi berperan penting dan nyata karena memfasilitasi komunikasi, pembagian pengalaman antaranggota termasuk dalam pertemuan ini," kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Rabu.

Menurut dia, Koalisi Menkeu mengakui pentingnya aksi iklim yang berarti dan perlunya perubahan sistemik dalam kebijakan ekonomi dan keuangan, mengingat perubahan iklim merupakan ancaman bagi umat manusia.

Pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam kebijakan akan menyelamatkan dunia dan mendorong pertumbuhan yang lebih baik dan berkualitas, sehingga Kementerian Keuangan memiliki peran penting karena mempunyai instrumen untuk memerangi perubahan iklim dan memfasilitasi transisi hijau yang adil dan terjangkau.

Ia melanjutkan kebijakan untuk mendukung transisi yang adil dan terjangkau sangat penting agar aksi iklim dapat berdampak nyata pada pertumbuhan, yang berkelanjutan, stabilitas keuangan dan fiskal, peningkatan lapangan kerja, serta pengurangan kesenjangan.

"Untuk negara berkembang, transisi ini dapat mendorong keberhasilan pembangunan," ucap Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebutkan perspektif tersebut tercermin dalam program kerja yang dilaksanakan oleh tiap negara anggota Koalisi Menkeu yang mengacu pada enam prinsip Helsinki yang menjadi prinsip koalisi, yaitu menyelaraskan kebijakan dengan persetujuan paris, berbagi pengalaman, dan keahlian, serta mempromosikan nilai ekonomi karbon.

Kemudian, pengarusutamaan iklim dengan kebijakan ekonomi, memobilisasi pembiayaan iklim, serta terlibat dalam implementasi Nationally Determined Contribution (NDC).

Namun demikian, Sri Mulyani menuturkan masih terdapat tantangan dalam mencapai keuangan berkelanjutan di dunia, karena saat ini hanya ada sepertiga dari 185 inisiatif keuangan berkelanjutan yang menggunakan metodologi akuntabel, sehingga kepatuhan dampak iklim secara nyata belum dapat diukur secara akurat.

Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dan pendekatan multilateral agar setiap upaya penanganan perubahan iklim di dunia dapat optimal, apalagi penguatan kapasitas seperti alat pengukuran, metodologi dan akuntabilitas membutuhkan upaya kolektif agar upaya yang telah dilakukan membawa dampak yang lebih besar.

Upaya lain yang dilakukan dalam penanganan iklim, menurut Sri Mulyani, yaitu penerapan pajak karbon, di mana saat ini terdapat 64 instrumen harga karbon yang telah berjalan dan tiga dijadwalkan untuk diimplementasikan.

Di Indonesia, pemerintah baru saja menetapkan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang salah satunya mengenalkan pajak karbon, sehingga implementasi pajak karbon mengukuhkan posisi Indonesia sebagai salah satu dari sedikit negara yang memiliki skema pajak karbon di dunia.

Selain pajak karbon, upaya lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam melakukan transisi hijau yaitu pemberian insentif pajak untuk sektor energi terbarukan, subsidi bagi sektor energi dan transportasi yang lebih ramah lingkungan, dan penandaan anggaran.

Dalam pertemuan tersebut, negara-negara anggota koalisi juga mengesahkan Pernyataan Bersama Menteri dan Laporan Tahunan 2021, di dalamnya para menkeu berharap agar anggota koalisi dapat bekerja sama dengan mitra kelembagaan dan pemangku kepentingan untuk lebih memahami tantangan teknis dan politik dalam menerapkan prinsip Helsinki. Para menkeu juga akan berkontribusi pada COP26 pada November 2021.

Selain melakukan diskusi, koalisi juga menyambut lima negara anggota baru yaitu, Estonia, Hungaria, Peru, Slovakia, dan Ukraina yang bergabung dalam koalisi sejak Pertemuan Tingkat Menteri pada April 2021.

Saat ini, terdapat 65 negara anggota koalisi yang mewakili wilayah geografis dengan tingkat perkembangan ekonomi yang berbeda. Secara kolektif, negara anggota koalisi menyumbang 39 persen dari emisi gas rumah kaca global dan 63 persen dari PDB global pada 2018.

Baca juga: Menkeu: 1,5 miliar pekerja akan terpengaruh risiko perubahan iklim
Baca juga: Menkeu: Penurunan emisi karbon RI sangat ditentukan lima sektor
Baca juga: Menkeu: Kebutuhan RI atasi perubahan iklim naik jadi Rp3.779 triliun