Kairo (ANTARA News) - Para demonstran Mesir yang marah bersumpah akan melancarkan protes paling spektakuler di Kairo, Jumat ini, untuk menyerukan pemunduran segera Presiden Hosni Mubarak dan wakil presiden yang baru ditunjuk.

Kamis kemarin, seperti dilaporkan AFP, puluhan ribu orag memenuhi Lapangan Tahrir di jantung ibukota Mesir dengan harapan mendengar penguasa berusia 82 tahun itu mundur.

Mobarak malah mengalihkan kekuasaan kepada Wakil Presiden Omar Suleiman.

Mubarak mengatakan, dia akan tetap bertanggungjawab secara terbatas sampai September dan bersumpah dia memilih mati di Mesir ketimbang di pengasingan, dan ini membuat sebal para pemrotes.

Pemimpin oposisi terkemuka Mesir Mohamed ElBaradei, melalui pesan yang diposting di situs mocroblog Twitter, memperingatkan bahwa Mesir akan "meledak" dan menyerukan militer "untuk menyelamatkan negara".

Harapan membuncah dari sekitar 200 ribu demonstran yang berkumpul di Lapangan Tahrir seketika berubah menjadi kemarahan dengan seruan-seruan mereka "Turun, Turun Mubarak" pada hari ke-17 demonstrasi besar-besaran meminta pengunduran diri orang terkuat Mesir itu.

Kebanyakan demonstran menyerukan pemogokan total dan dengan marah bertanya kepada militer yang menggelarkan sejumlah besar tentara dan tank di sekitar lapangan itu, "Militer Mesir, pilihanmu sekarang adalah rezim atau rakyat!"

Menyusul pidato Mubarak, massa mulai berpencar, namun kebanyakan bersumpah untuk kembali Jumat ini yang sudah dideklarasikan sebagai "Hari Kemarahan."

Kekuatan inti kaum demonstran tetap berada di perkemahan di lapangan yang sudah diduduki sejak 28 Januari tersebut.

"Kami tak akan pergi sampai dia pergi," kata akuntan berusia 32 tahun, Ayman Shawky. "Saya tak menganggap ini kebodohan, atau kecongkakan. Dia kehilangan peluang terakhirnya untuk pergi secara bermartabat."

Harapan membuncah tinggi bahwa Mubarak akan mundur segera setelah beberapa jam sebelumnya militer mengumumkan bahwa mereka akan campur tangan guna memastikan keamanan negara dan melihat tuntutan "sah" rakyat dipenuhi.

Tapi, di akhir pidatonya, Mubarak tak akan mundur, dan memutuskan untuk mengalihkan kekuasaan kepada wakil presiden sesuai konstitusi."

"Saya menyadari bahaya dari jalan ini...dan ini memaksa kita untuk memprioritaskan minat tertingi bangsa," katanya.

Dia menyerang Amerika Serikat dan negara-negara lain yang memaksanya untuk mempercepat peralihan menuju demokrasi dengan berkata, "Saya tidak pernah tunduk kepada diktasi asing."

Dalam pidato singkat sesudah Mubarak berbicara, Suleiman mengimbau demonstran untuk pulang.

Tetapi, begitu orang semakin memadati Lapangan Tahrir, slogan-slogan berubah semakin seram. "Ke istana tujuan kita sekarang, martir oleh jutaan orang!".

Sebelumnya, suasana lapangan itu seperti karnaval dengan puluhan ribu rakyat Mesir berkumpul merayakan apa yang mereka harapkan akan menjadi pidato akhir Mubarak dalam pemerintahan otokratis berusia tiga dekade.

Saat mereka menyadari dia menolak mundur, suasana berubah dan kemarahan mendalam seketika muncul ke permukaan.

Massa berterika, "Tidak Mubarak, tidak pula Suleiman!". sementara seorang perempuan tua berkata lirih, "Orang tua itu tak akan menyerahkan kekuasaannya."

"Dia terus berbicara kepada kita seolah-olah kita ini bodoh," kata Ali Hassan. "Dia itu jenderal yang kalah perang yang tidak akan mundur sebelum mengambail sebanyak mungkin korban yang bisa didapatkannya."

Duta Besar Mesir untuk Amerika Serikat Sameh Shoukry mengatakan kepada CNN bahwa Suleiman adalah "kepala negara de facto" dan mengendalikan militer.

Segera setelah pidato Mubarak, Presiden AS Barack Obama meminta pertemuan darurat dengan tim keamanan nasionalnya.

Obama menyaksikan pidato Mubarak saat menumpangi pesawat kepresiden Air Force One, beberapa jam setelah mengatakan kepada khalayak AS bahwa sejarah telah berubah di Mesir di tengah berita yang menyenbutkan orang terkuat di Arab itu akan mundur.

Belum ada komentar dari pejabat resmi AS mengenai pidato Mubarak, tetapi CNN mengutip seorang pejabat yang menolak menyebutkan namanya mewartakan itu "bukan apa yang kami katakan akan terjadi, dan bukan apa yang kami inginkan akan terjadi."

Sementara itu, Kepala Diplomat Uni Eropa Catherine Ashton, mengutuk lambannya langkah reformasi yang dijalankan Mubarak dengan menegaskan, "waktu untuk perubahan itu sekarang."

Sebelumnya, puluhan ribu pekerja Mesir mogok kerja secara nasional sehingga kian membengakkan barisan pengunjukrasa, sekaligus menambah peluang demonstrasi Jumat ini akan menjadi yang terbesar.(*) ENY