Jakarta (ANTARA News) - Kita bicara serius sekarang, bukan soal kentut yang wangi seperti kolom Srimulatan saya sebelum ini. Kita bicara soal negara gagal, sesuatu yang terasa gawat sekali.

Mungkinkah Indonesia terjerumus ke apa yang sering diistilahkan oleh Buya Ahmad Syafii Maarif "limbo sejarah" sebagai negara gagal?

Bahwa Pak Sofyan Effendi, mantan rektor Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam pertemuan tokoh lintas agama dengan Forum Rektor dan beberapa LSM lainnya di Jakarta, Jumat (4/2/2011), mengatakan bahwa Indonesia sudah mendekati parameter negara gagal. Indikatornya Indonesia menduduki posisi 61 dari 177 negara menurut fail state index.

Kita dudukan saja pernyataan Pak Sofyan sebagai semacam interupsi, untuk memperbincangkan apakah memang hasil-hasil yang telah dicapai selama ini dapat melorot dengan drastis hingga ke titik negara gagal, dan seberapa besar optimisme yang tersisa.

Tak usah pula kita larut dalam dualisme "saya yang LSM vis a vis anda yang pemerintah" atau sebaliknya. Yang jelas, kita punya problem yang sama sebagai bangsa yang punya seabrek masalah: dari soal Gayus, PSSI, naiknya harga cabai, nestapa para TKI, peristiwa penyerangan yang memunculkan korban jiwa atas anggota Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, hingga anarki berlatar isu agama di Temanggung.

Kita punya banyak catatan yang membuat langsung pesimis. Tetapi, kita juga punya catatan yang membuat kita optimis. Yang jadi soal adalah bagaimana supaya kegeraman kita sebagai ekspresi keprihatinan atas banyak hal tidak masuk ke dalam arus yang menyeretnya ke sungai negativitas.

Energi kita dalam berbangsa harus terakumulasi sedemikian rupa di tengah rupa-rupa dinamika.

Kita bersyukur bahwa hingga kini bangsa ini masih bisa bertahan. Dulu, beberapa tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Bung Karno mengatakan puji syukurnya kepada Tuhan bahwa bangsanya masih bisa eksis. Kesannya, bahkan Bung Karno pun seolah-olah tak percaya bahwa bangsa Indonesia bisa mengada dan terus berjalan.

Dalam sebuah diskusi belum lama ini Profesor Salim Said mengatakan bahwa banyak keajaiban yang kita alami sebagai bangsa. Beberapa peristiwa sejarah kita memang menunjukkan bahwa kita lebih banyak by accident, ketimbang by design.

Para pendiri bangsa berani memproklamasikan kemerdekaan dan memperjuangkan Indonesia sebagai negara-bangsa, tanpa harus menunggu jumlah sarjana dipandang mencukupi dan sudah sangat siap untuk membangun sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Yang penting merdeka. Sebab di situ, menurut Bung Karno, terdapat jembatan emas, yang akan melontarkan kita kepada perwujudan cita-cita nasional.

Barangkali, kita dapat bertahan sebagai bangsa hingga saat ini, antara lain karena improvisasi kita semua yang memang sudah benar-benar siap untuk menghadapi apapun kondisi yang terjadi. Kita punya modal sosial yang baik. Kita punya SDA. Kita punya, dalam batas-batas tertentu, tokoh-tokoh yang tanpa pamrih.

Kita bangsa yang masih bisa tertawa. Bayangkan kalau tertawa saja susah. Tentu yang dimaksud tertawa di sini bukan dalam konotasi tidak serius atau menghina orang lain –tapi tertawa yang orisinal-otentik sebagaimana tertawanya orang kecil (wong cilik tansah gumuyu). Tertawa itu penting dalam urusan daya tahan suatu bangsa. Tertawa kadang mencerminkan spirit bertahan, spirit untuk tetap bisa eksis di tengah kondisi apapun.

Bahwa tertawa yang orisinal-otentik itu lebih baik ketimbang marah alias membiasakan diri sebagai gerombolan orang-orang marah. Bahwa kalau segenap komponen bangsa yang plural ini, bisa lebih bersikap rileks, tidak tegang, tidak grusa-grusu, toleran, dialogis, tidak mengedepankan curiga ini dan itu, bisa lebih bersikap lapang dada, rasional, solider dan saling menyapa, maka energi positif lebih banyak terhimpun.

Kita punya pengalaman dalam hal ini. Walaupun kita juga punya pengalaman sebaliknya: bahwa di balik senyum ramah kita ada kosakata yang membuat para turis waspada: run amok.

***
Kembali ke soal negara gagal. Sejauhmana kegawatannya?
Sebuah situs pengetahuan umum mencatat istilah failed stated secara umum ditandai oleh pertama, lepasnya kontrol fisik atas kedaulatan wilayah (teritorial). Kedua, adanya erosi legitimasi penentu kebijakan. Ketiga, ketidakmampuan pemerintah mengelola pelayanan-pelayanan publik. Keempat, ketidakmampuan negara dalam memainkan peran dalam komunitas internasional.

Di atas semua itu, failed nation tercermin dari kegagalan sosial, politik dan ekonomi. Apakah peristiwa-peristiwa bentrokan sosial yang fatal di lapisan akar rumput kita masih bisa diatasi secara tegas oleh negara? Apakah negara masih bisa efektif melindungi warganya dari tindak kekerasan?

Juga, apakah politik kita, baik sistemnya maupun perilaku pelaku-pelakunya akan semakin efektif mengarah pada stabilitas dan kemaslahatan publik? Apakah ekonomi kita akan semakin ok, atau justru sebaliknya?

Para ahli bisa memperdebatkan banyak hal, dan dari situ kita bisa mencatat jalan tengah atau jalan keluarnya. Perlu ada solusi bersama. Titik temu bersama semua elemen. Pemerintah sebagai otoritas pengambil kebijakan harus lebih antisipatif dan tegas agar efektif dalam mengarahkan percepatan terwujudnya kepentingan pencapaian nasional di segala bidang.

Pemerintah adalah garda depan yang punya kesempatan utama dan pertama dalam mengantisipasi gejala pergerakan negara gagal. Di era demokrasi elektoral multipartai yang seringkali memusingkan, siapa saja yang menjadi rezim demokratis yang memerintah akan dihadapkan pada upaya menyeimbangkan kekuasaan, sebelum membuat gebrakan.

Pemerintah bisa membuat gebrakan-gebrakan atau terobosan-terobosan. Tetapi, hal tersebut bisa menjadi tidak efektif, manakala tersandera oleh kebutuhan-kebutuhan politik jangka pendek. Daya hidup rezim pemerintah demokratis, tidak dapat dipungkiri seringkali, justru diperlemah oleh sandera-sandera kepentingan politik.

Yang menjadi pertanyaan, setelah banyak orang semakin sering mengatakan bahaya pragmatisme-politik adalah apakah fenomena itu akan mempercepat Indonesia ke arah negara gagal? Apakah peristiwa-peristiwa politik kita dewasa ini sudah demikian mencemaskannya, setidaknya apabila kita bandingkan dengan praktik demokrasi liberal tahun 1950-an yang diwarnai konflik ideologis, tetapi kini yang menonjol lebih pada konflik pragmatis?

***
Anda boleh mengatakan, ala zaman revolusi kemerdekaan tempo dulu: tenang Pak, Bu, Mas, Bang, Uda, Kang, Cak, Om, Tante, Belanda masih jauh! Kita masih punya waktu untuk berbenah.

Bukankah, Indonesia disebut-sebut sebagai kekuatan ekonomi potensial pada masa depan? Bukankah ia diprediksikan akan segera menyusul China dan India yang pertumbuhan ekonominya pada saat ini cukup spektakuler?

Tetapi, tentu saja sejumlah persyaratan harus dipenuhi terlebih dahulu.

Misalnya, potensi sumberdaya alam (SDA) kita tidak akan efektif menyumbangkan peran bagi pertumbuhan ekonomi, manakala tak tersentuh oleh inovasi. Proses memberi nilai tambah itu memerlukan kecanggihan sumberdaya manusia (SDM) dan kebijakan yang tepat.

Formula klasiknya jelas: agar manusia Indonesia canggih, maka kualitas pendidikan harus digenjot guna memaksimalkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi itu saja tidak cukup: kalau kebijakan yang kondusif tak menyertainya. Berapa persen manusia berkualitas unggul yang tidak kerasan di negeri kita, dan pilih “mengabdi” di manca negara?

Maka, kebijakan menjadi penting. Kalau kita bicara kebijakan, maka mau tidak mau kita akan bicarakan politik. Kalau bicara politik, maka jangan curiga dulu, karena makna politik itu bermacam-macam: dari politik sebagai seni kemungkinan merebut dan mempertahankan kekuasaan, sebagai upaya untuk menanamkan kebaikan bersama, juga sebagai ilmu.

Politik sebagai upaya untuk menanamkan kebaikan bersama, sebagaimana diyakini filosof Aristoteles itu penafsirannya mengarah kepada esensi kebijakan publik. Yang membuat kebijakan publik itu adalah para politisi dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Mereka adalah para elected politician, yang terlegitimasi dalam pemilu demokratis.

Oleh karenanya, kepemimpinan politik sangat signifikan dalam menentukan pilihan-pilihan kebijakan yang berdampak luas bagi masyarakat dan masa depan bangsa.

***
O iya, soal kita masih punya waktu berbenah di atas, ok, kita memang harus terus berbenah. Cuma, mari kita renungkan alur pikir Bung Hatta, dalam sebuah pidatonya pada 1948, bahwa kita, Bangsa Indonesia ini jangan terbius jargon “biar lambat asal selamat”, tetapi kita “harus cepat dan selamat”!

Betul Bung, kita butuh percepatan, bukan perlambatan!
(***)

M Alfan Alfian, Esais Politik, Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas nasional, Jakarta